Minggu, 07 Februari 2016

Resiko POLISI

Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial

KITA kerapkali menghujat Polisi, tapi di lain sisi kita sangat membutuhkan keberadaan Polisi, terutama dalam upaya pengamanan, pencegahan, pemberantasan kriminalitas dan Narkoba. Sayangnya, resiko tugas Polisi seringkali kita abaikan. Sekali-kali cobalah melihat Polisi dengan “mata hati”, jangan melulu dengan “mata kaki”.

———-

TIGA hari lalu, saat sedang dalam taksi menuju Plaza Indonesia, handphone saya berdering, ternyata sebuah panggilan dari sahabat karib saya, yakni anggota Satnarkoba Polres Bangka. “Yak, walaupun Pok sekarang tinggal di Jakarta, tapi Pok ngikutin pemberitaan di media lokal nggak, sekarang lagi ramai pemberitaan kita?”  lantas saya pun bertanya: “Iya, selalu ngikutin. Pemberitaan yang mana? Apa soal kematian salah satu gembong Narkoba yang menyeret kawan-kawan Polisi diperiksa akibat kematiannya?”.

“Iya, itulah Yak” jawabnya. “Perlu ayak ketahui, kami tidak pernah menembak apalagi menyayat tubuhnya seperti yang diberitakan. Kami Polisi bukan PKI. Saya sedih sekali membaca pemberitaan di media massa lokal yang menyudutkan kami dari pihak kepolisian. Padahal niatan kami adalah menyelamatkan masyarakat dari Narkoba yang lah sangat nue di Bangka-Belitung ne. Tapi ternyata tidak didukung oleh pihak media bahkan masyarakat. Sebagai adik, ko ne nek curhat kek ayak……………” panjang lebar sahabat karib yang sudah saya anggap sebagai saudara kandung ini menceritakan isi hatinya mengenai ramainya pemberitaan di media massa lokal yang juga menyakut dirinya sebagai anggota Tim penyergapan salah satu gembong Narkoba di wilayah Bangka.

Seperti yang kita ketahui, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini aparat kepolisian di wilayah Babel sangat gencar dalam melakukan pemberantasan terhadap peredaran Narkoba. Hal ini patut kita berikan apresiasi karena Narkoba adalah musuh bersama, bukan hanya musuh Polisi. Pengaruh buruk Narkoba bisa menyerang siapa saja, tak terkecuali Polisi sekalipun. Oleh karenanya, Polisi sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan Narkoba sepatutnya kita dukung. Pernahkah kita sekali-kali merenung bahwa Polisi sebagai garda terdepan pencegahan dan pemberantasan peredaran Narkoba serta ratusan jenis kejahatan kriminal lainnya harus menanggung resiko yang sangat besar?

Melihat Polisi Dengan Mata Hati
HAMPIR 400 ribu Anggota Polri bertugas di seluruh Nusantara, sampai ke tingkat desa dalam lingkup organisasi ujung tombang disebut sebagai Kepolisian Sektor (Polsek). Peran Polri dalam melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat bersentuhan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Sikap inilah yang seharusnya mewarnai pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas dalam negeri.

Tugas Polri penuh dengan resiko. Seperti warga negara lainnya, anggota Polri memiliki keluarga, rumah tangga, dan persoalan pribadi. Namun dalam kondisi demikian, seorang Polisi dituntut untuk tetap melaksanakan tugas tak mengenal waktu dan tak mengenal masalah pribadi disaat mengemban tugas, semuanya harus “siap Ndan!”. Tantangan kehidupan yang penuh resiko inilah selayaknya mendapat apresiasi dari pemerintah dan terlebih lagi dari masyarakat seperti kita.

Menurut Prof. Tjipto, Pekerjaan Polisi sulit diatur hukum karena bergelimang interaksi dengan manusia (masyarakat) secara langsung, yakni “penegak hukum jalanan”. Polisi sebagai penegak hukum jauh berbeda dengan Jaksa dan Hakim yang mungkin lebih pantas kita sebut sebagai “penegak hukum gedongan”. Polisi adalah petugas (officer) lapangan, bekerja “tanpa sarung tangan” dan “tidak dibelakang loket”, berada langsung ditengah orang baik maupun orang jahat. Makanya, resiko Polisi dikalungi celurit, ditembak saat penggerbekan jauh lebih besar ketimbang Jaksa atau Hakim yang rasa-rasanya tak mungkin diclurit di ruang sidang sebesar apapun tuntutan dan vonis yang diberikan.

Oleh karenanya, bagi Polisi menjalankan Hukum Pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi penuh dengan pergulatan sosiologis dan kemanusiaan. Karena itu, secara agak dramatis kita boleh mengatakan, sebagian “nasib Indonesia” terletak di tangan Polisi. Hukum menyediakan banyak peluang untuk Polisi menjadi pahlawan bagi bangsanya, namun di lain pihak peluang itu juga ternyata dapat menjerumuskan Polisi ke jurang kenistaan dengan menjadi Polisi korup, suka melakukan kekerasan tanpa alasan jelas, pemerasan dan lain sebagainya.

Kadangkala masyarakat dan media pun seringkali bersikap tidak adil terhadap Polisi. Misalnya, berita tewasnya seorang Polisi saat menjalankan tugas bukanlah berita utama dan masyarakat tak perlu berbela sungkawa, komentator-komentator hilang suara. Pasalnya hal tersebut dianggap sebagai berita biasa dan publik sepertinya digiring untuk sekedar berkata “mun tu lah resiko e” atau “dak tau ngapelah, sape suruh jadi Polisi”. Namun jika hal sebaliknya terjadi, Polisi harus menanggung resiko sendiri.

Oleh karenanya, adagium yang menyebutkan Polisi itu diibaratkan orang yang menempatkan satu kakinya di kuburan dan satu lagi di penjara. Adagium ini sudah menyatu, terutama bagi Polisi di garda terdepan, misalnya Reserse. Mau tidak mau ia harus sadar bahwa tugas yang dihadapi adalah sebagai crime hunter atau pemburu kejahatan. Ia berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari penjahat kelas teri hingga kelas kakap. Ia harus siap berduel secara fisik dengan penjahat yang sudah nekat untuk mati. Ia harus sangat siap untuk mengorbankan satu-satunya nyawa. Di sisi lain, apabila dalam proses penangkapan, penahanan, penyitaan, introgasi dan sebagainya terjadi kesalahan formal atau material, seorang Polisi harus siap digugat di Pengadilan dan mempertanggungjawabkan didepan sidang disiplin, kode etik, sampai pada sidang peradilan umum yang bisa mengantarkannya ke penjara. Di saat seperti itu, adakah masyarakat yang membela?

Lalu, bagaimana sikap negara? Pernahkah terpikirkan oleh negara bahwa Polisi di garda depan seperti Reserse, tim Narkoba, dan sebagainya mendapat gaji yang lebih dari Polisi lainnya? Secara khusus negara belum memberikan tunjangan khusus terhadap mereka, bahkan asuransi pun tidak menyentuh diri mereka dan keluarga. Padahal terhadap profesi yang berresiko tinggi sangat diperlukan jaminan-jaminan tersebut. Oleh karenanya, sudah saatnya negara memberikan ruang kesejahteraan kepada para Polisi yang bertugas di garda terdepan mencegah dan memberantas kriminalitas di negeri ini, apalagi persoalan Narkoba yang sangat merusak generasi bangsa. Tapi yang paling dibutuhkan oleh Polisi tersebut adalah perlindungan hukum dan perlindungan jiwa mereka. Karena bagaimana pun Polisi tidak lahir dari batu, hidup sendiri tanpa keluarga, tanpa lingkungan, tanpa anak isteri dan sebagainya. Upaya ini dilakukan agar Polisi bisa bertugas dengan penuh konsentrasi dan tanpa terbebani dengan persoalan yang menghantui.

Begitupula para petinggi (atasan) hendaknya bisa membela anggota-nya dengan sepenuh hati ketika bermasalah saat menjalankan tugas mulia. Jangan sampai apa yang kerapkali diungkapkan oleh Polisi kelas bawah (pangkat rendah) ada benarnya: “Nasib buruk tanggung sendiri dan akan dianggap resiko tugas oleh pimpinan, namun jika berhasil semua pucuk pimpinan berkata: “Itu anggota saya!”.

So, mari sekali-kali melihat polisi dengan mata hati, jangan melulu dengan mata kaki. Kita sadar Polisi bukanlah malaikat, tapi sedikit saja Polisi berbuat kekeliruan atau terpeleset, kita ramai-ramai menyerang, media sibuk memberitakan bahkan kadangkala berlebihan, komentator-komentator pun sibuk mencari celah menyalahkan Polisi tanpa ia sadari bahwa ia bisa tidur nyenyak salah satunya disebabkan karena lingkungan tempat tinggal kita aman oleh keberadaan Polisi.

Akhirnya, dengan penuh ketulusan, di penghujung komunikasi melalui handphone, kepada sahabat karib tadi, saya katakan: “Jangan menyerah dan tak perlu sedih. Salam saya buat seluruh anggota tim Narkoba Polres Bangka. Terus bekerja karena rakyat yang tak bersuara justru lebih banyak mendukung dan mendo’akan kalian, apalagi memberantas gembong-gembong Narkoba yang sangat merusak kehidupan generasi kita. Bekerjalah dengan niat lillahi ta’ala untuk bangsa dan negara. Memang, terkadang “sinyu” bukan dikalahkan oleh bandit, tapi seringkali dikalahkan oleh keadaan serta lingkungan yang tak mendukung. Kami masyarakat kecil masih sangat percaya dan membutuhkan Polisi!
Salam Polisi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar