Minggu, 21 Februari 2016

Mari Mengenal Pemahaman Para Sahabat (2)

Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya

Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100).

Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakanbahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi.

Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullahmengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla.

Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini.Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140).

Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan,“Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka.

Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimanadia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihatAdhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah).

Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).

Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan

Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhumengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama).Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”

Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. MarkazFajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).

Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksudKhulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aliradhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkanijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”.

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah:jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).

Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahmengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).

Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud denganSunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dariLimadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidinkecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).

Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa SunnahKhulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabatradhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75)

Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.

Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah

As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).

Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30).

Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa(3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albanirahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).

Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalahorang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalurittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’(mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat.

Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ahhal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).

Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ahi’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah(amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:

Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar(pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi),Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membacaSyarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Haditsmaka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.

Hanya Satu yang Selamat!

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).

Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah.Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah.Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah.Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”

“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya.

Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqahyang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya.

Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini.

Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammemberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).

Firqah-Firqah yang Menyimpang

Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati. Beliaurahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini.

Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.

Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya,sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah dan mempesona.

Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullahmengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqahKhawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahmenyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:

Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad

Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:

Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad

Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullahmengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimunbaik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca bukuJama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).

Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai

Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya,“Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?”Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).

Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”(QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala,“Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama’ah dan hizbsemacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.

Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?

Penutup

Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah(kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab TauhidSyaikh Shalih Fauzan hal. 11).

Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah;apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya?

Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman.Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat, janganta’ashshub (fanatik buta).

Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?!

Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullahberkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).

Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah

Catatan:

Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini secara utuh tanpa merubah content dan memenggal tulisan di dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…

***

Disusun oleh: Departemen Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary Yogyakarta (2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar