Minggu, 11 Juli 2021

Mengenal Macam-Macam Jenis Baterai

 

Mengenal Macam-Macam Jenis Baterai

 

Kita semua pasti sudah kenal dengan baterai. Kebanyakan juga pasti udah tahu kalau baterai itu berasal dari bahan kimia yang di ubah menjadi energi listrik. Ditemukannya baterai ini tentu saja sangat membantu perangkat portabel. 

Dengan baterai, tentu sekarang kita bisa membawa perangkat, laptop, handphone, kemana saja.  Dalam robot pun baterai sangat benar-benar dibutuhkan, tentu saja kita tidak mau harus selalu terikat ke terminal listrik?

Tapi tentu tidak banyak yang tahu dari kita, kalau baterai itu terdiri dari berbagai macam jenis. Dan setiap jenisnya kita harus tahu, karena setiap jenisnya memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda.


Macam-Macam Jenis Baterai

Berdasarkan bahan kemampuannya, baterai hanya ada 2 jenis. Pertama jenis baterai yang hanya sekali pakai (single-use battery), dan kedua jenis baterai yang bisa di isi ulang (rechargeable batteries). Kemudian dari kedua jenis baterai tersebut, terdapat lagi berbagai macam jenis baterai dengan bahan dan ketahanan yang berbeda-beda.

Dan untuk Jenis-Jenis Baterai Yang Sekali Pakai (single-use battery) ada;

1.     Baterai Zinc-Carbon. Atau sering disebut juga baterai Heavy Duty. Ini merupakan jenis baterai yang paling murah, dan ketahanan paling rendah. Kenapa di sebuat Baterai Zinc-Carbon (Seng-Karbon)? Karena bagian negatif yang menjadi pembungkus baterai itu terbuat dari seng (zinc), dan bagian positifnya terbuat dari karbon (carbon).

2.       Baterai Alkaline. Dibandingkan dengan Baterai Zinc-Carbon, baterai alkaline jauh lebih tahan lama dan tentu saja jauh lebih mahal. Nama Alkaline sendiri diambil dari “Alkali”, yang merupakan bahan elektrolit Potassium hydroxide, yang digunakan pada baterai tersebut.

3.       Baterai Lithium. Baterai lithium adalah yang paling kuat diantara baterai sekali pakai lainnya. Dapat bertahan 10 tahun, dan berkeja pada suhu yang rendah. Karena ketahanannya, sering digunakan pada memori backup komputer dan juga jam tangan. Baterai lithium biasa dibentuk seperti uang logam, dan sering disebut baterai koin atau baterai kancing.

4.       Baterai Silver Oxide. Termasuk kedalam baterai yang mahal, ini disebabkan karena mahalnya harga perak (silver). Dari bentuk yang kecil dan ringan, baterai silver oxide dapat menghasilkan energi yang tinggi. Sama seperti baterai lithium, sering disebut baterai koin atau baterai kancing. Penggunaannya pada jam tanggan, dan yang lebih tingginya pada aplikasi militer.

5.       Baterai Zinc Air Cell. Merupakan baterai standart yang digunakan pada alat bantu dengar. Sangat tahan lama, dan hanya memiliki anoda, katodanya memanfaatkan udara disekitar.

Kemudian untuk Jenis-Jenis Baterai Yang Bisa Di Isi Ulang (rechargeable) ada:

1.       Baterai Rechargeabel Alkaline. Adalah jenis baterai Alkaline yang bisa di isi ulang, dan yang paling murah diantara semua baterai jenis rechargeable. Tapi jumlah banyaknya di charge adalah yang paling rendah, hanya sekitar 25 kali atau lebih.

2.       Baterai Ni-Cd (Nickel-Cadmium). Terbuat dari elektrolit Nickel Oxide Hydroxide dan Metallic Cadmium, merupakan baterai yang kuat untuk jenis rechargeable. Hanya kekurangannya lebih cepat habis, dan harus lebih banyak di charge ulang. Bahkan ketika tidak digunakan, listrik yang tersimpan akan berkurang setiap bulannya. Terus baterai ini juga mengandung racun yang membahayakan manusia. Sampahnya dilarang dibuang disembarang tempat. Tapi sekarang baterai Ni-Cd sudah dilarang untuk digunakan.

3.       Baterai Ni-Mh (Nickel-Metal Hydride). Mempunyai kapasitas lebih tinggi dibandingkan dengan Ni-Cd, dan tidak memiliki racun, tapi masih ada zat lain yang lumayan membahayakan. Kemudian penurunan daya listrik perbulannya lebih banyak dibandingkan Ni-Cd. Banyak digunakan pada kamera dan radio komunikasi.

4.    Baterai Li-Ion (Lithium-Ion). Daya tahannya lebih tinggi, dan tingkat penurunan daya saat tidak digunakan lebih rendah. Kemudian lebih ramah lingkungan, tapi masih tetap ada zat berbahaya untuk manusia. Banyak sekali digunakan pada handphone, pada laptop, dan berbagai perangkat portabel lainnya.

5.   Baterai Li-Po (Lithium-Polimer). Dibandingkan dengan Li-Ion, baterai Li-Po memiliki daya tahan jauh lebih baik terutama saat panas. Dan bisa karena bahannya terbuat dari senyawa polimer, bentuknya bisa flexsibel. Hanya saja lebih mahal dan masih jarang ditemukan dipasaran.

6.    Baterai Lead Acid. Biasanya dipanggil aki, banyak digunakan pada kendaraan bermotor. Bentuknya besar dan berat, tidak mungkin dipasang di perangkat portabel. Tapi masih sangat dibutuhkan untuk membuat robot mobile, yang berukuran besar dan membutuhkan daya yang tinggi.

Minggu, 02 Mei 2021

ABANGAN dan PUTIHAN

Pengkhianatan kaum 'Nusantara (Abangan)' terhadap kaum Ketuhanan Yang Maha Esa murni ('Putihan') di Minangkabau (Malayu, Sumatra Barat dan sekitarnya yang bahkan berpengaruh sampai Negeri Sembilan di Malaysia, setidaknya)

Sejak masa kaum da'i yang disebut "Wali Songo" di Jawa, sudah ada istilah kaum 'Putihan' (Putih) versus kaum 'Abangan' (Merah).

Bahkan cara da'wah Wali Songo pun, dibagi menjadi cara Wali Songo 'Putihan' (dipimpin Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel) dan cara Wali Songo 'Abangan' (dipimpin Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang).

Keduanya tetap berusaha membersihkan Jawa (dan Nusantara) dari Takhayyul, Bid'ah, Khurofat. Dengan pendekatan cara yang berbeda. Sebenarnya.

Kaum 'Putihan' adalah dengan lebih tegas menyampaikan risalaah Islaam - kalau dengan istilah yang populer kini - dengan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Was Salafiyyaah (sesuai pemahaman kaum Salafush Sholih), sedangkan kaum 'Abangan' memutar lebih dulu.

Saat Sunan Kali Jaga diingatkan Sunan Ampel agar tidak mencampurkan adat-istiadat Jawa-Hindu dengan Islaam, maka Sunan Kali Jaga menenangkan Sunan Ampel, bahwa itu hanya strategi akulturasi.

Dan bahwa di kemudian hari, generasi penerus, diharapkan ada pendakwah yang memutihkannya.

Itu adalah tahapan. Dan harapan.

Dan percakapan ini ada di buku "Het Boek Van Bonang". Masih menjadi sumber sejarah. Disimpan di Leiden, Belanda.

Di Minang (wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, luas, sampai Negeri Sembilan, Malasia), sebenarnya, lebih-kurang, ada pula keadaan serupa. Dan sebenarnya di banyak tempat di dunia.

Di Minang, ada kaum muslimiin Paderi, dan kaum muslimiin Adat. Macam 'Putihan' dan 'Abangan' di Jawa, itu.

Dan sesuai catatan sejarah mengenai perang besar Minang melawan Belanda, sebelum semuanya bersatu-padu melawan Belanda, dicatat bahwa pada tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat (kaum Nusantara, 'Islam Abangan') resmi bekerja pada Belanda.

Kaum Adat Minang ('Abangan') bekerjasama memukul Kaum Paderi (kaum Muslimiim, kaum Putihan) pimpinan Imaam Bonjol.

Pola sejarah itu, saudara, berulang. Ini sudah Sunnatullaah. Ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Hanya detailnya, siapa pelakunya, waktunya, tempatnya, dll. yang berbeda. Macam 'permainan dan senda-gurau' saja.

Familiar, kah ini, untuk anda, macam sama dengan keadaan kini?

Anda kenali ada kaum-kelompok di masa kini yang lebih memilih bekerjasama dengan bangsa asing, kafir, daripada dengan bangsa sendiri, muslim?

Padahal mengaku sebagai muslim?

Padahal mengaku tahu Pancasila, UUD 1945, sejarah bangsa dan negara NKRI? Berketuhanan Yang Maha Esa (dasar negara RI-NKRI, di pasal 29 ayat 1 UUD 1945)?

Walau akhirnya, kaum Adat insyaaf, dan bersatu melawan Belanda, namun itu sudah menghasilkan kehancuran banyak bagi masyarakat Sumatra.

Termasuk dijebaknya, dikriminisasikannya, ditangkapnya, Imaam Bonjol (hal sama, dan hampir bersamaan, terjadi di Jawa terhadap Pangeran 'Abdul Hamid Diponegoro).

Familiar juga kah ini untuk anda?

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kronologi-sejarah-perang-padri-tokoh-latar-belakang-akhir-f7Kg

https://www.portalsultra.com/mengenal-tuanku-imam-bonjol-pahlawan-nasional-indonesia/#:~:text=Pada%2021%20Februari%201821%2C%20kaum,wilayah%20darek%20(pedalaman%20Minangkabau).

Pendukung adat-istiadat Nusantara, 'Abangan' - yang kini disebut sebagai 'Islam Nusantara' - itu, dulu, memusuhi pendukung Ketuhanan Yang Maha Esa murni - yang kini disebut sebagai Radikal, 'Wahabi', Kadrun, dsb. - dengan licik.

Bekerjasama dengan yang bukan kaum berketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan yang bukan kaum Nusantara Indonesia.

Familiar juga kah ini untuk anda?

Mereka bekerjasama dengan kaum asing, Kafir Belanda. Orang asing.

Familiar juga kah ini untuk anda?

Untuk imbalan keamanan, 'alasan keamanan', harta, kedudukan, tahta, dsb.

Untuk 'amannya'.

Familiar juga kah ini untuk anda?

Dikenal pula kini bahwa Said Aqil Siradj, pentolan PBNU yang mempromosikan 'Islam Nusantara' jelas sekali mengatai pimpinan kaum 'Putihan' Minang - yakni Imaam Bonjol - sebagai:

'Wahabi'.

Bahkan kaum Minang pun, akhirnya, dikatainya sebagai:

'Wahabi'.

Lihat:

https://youtu.be/iZY-C7J3FAQ

https://riausky.com/mobile/detailberita/32645/sebut-imam-bonjol-dan-padri-gerakan-radikal-begini-sejarawan-sumbar-menilai-said-aqil-siroj.html

Sementara jelas, kaum Minang menjadi inspirasi banyak pergerakan kemerdekaan RI!

Banyak sekali aktivis pergerakan kemerdekaan dan perancang negara RI, tokoh bangsa, ternyata berhubungan dengan kaum Minang (Melayu). Dipengaruhi prinsip, peradaban, pemikiran Minang (Melayu).


https://www.portal-islam.id/2019/08/terima-kasih-minangkabau.html?m=1

https://sumbarprov.go.id/home/news/9400-orang-orang-minang-berpengaruh-di-kancah-dunia.html

Perang Paderi

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kronologi-sejarah-perang-padri-tokoh-latar-belakang-akhir-f7Kg

https://www.portalsultra.com/mengenal-tuanku-imam-bonjol-pahlawan-nasional-indonesia/#:~:text=Pada%2021%20Februari%201821%2C%20kaum,wilayah%20darek%20(pedalaman%20Minangkabau).

https://www.persis.or.id/menelisik-islam-nusantara

============

Tambahan, dari artikel yang lama beredar di Dunia Maya:

SAID AQIL SIRADJ LANCANG MENGATAI IMAAM BONJOL DAN MINANGKABAU

https://youtu.be/iZY-C7J3FAQ

Said Aqil Siradj (SAS) Ketum PBNU yang naik jabatan dengan kontroversial - tidak diakui kuorum di muktamar NU di Jombang lalu - terkenal menjadi biang banyak masalah dengan yang bukan nahdliyyiin NU, maupun yang dengan sesama nahdliyyiin NU sendiri.

Dulu dia di depan umum mengatai organisasi Islaam tertua RI "Muhammadiyah" (yang aktif sejak 1912) itu goblog, mengatai yang berjenggot itu goblog (padahal KH Hasyim Asy'ary pendiri utama NU adalah jelas berjenggot), mentertawai yang sholat berjama'ah menjaga kerapian shoff rapat, mentertawai yang berpakaian a la Arab, mengatai sholat Jum'at di Monas 212 tidak sah, mentertawakan kaum Arab (dan langsung dibantah oleh Grand Syaikh Al Azhar di depan umum), diam saja atas segala kelakuan memuakkan Banser (termasuk saat menyerang warga dan fasilitas Muhammadiyah), memarakkan istilah 'wahabi' juga 'radikal' dan 'islam nusantara', menyebarkan banyak cerita bohong soal 'wahabi', mengatakan bahwa bangsa Cina berjasa membentuk Indonesia karena dulu menyerbu Jawa, menyamakan Kitab Suci Al Qur'aan dengan Bibel, dll.

KINI DIA - si Said Aqil Siradj ini - BERANI MENGATAI, MEMFITNAHI  PAHLAWAN NASIONAL dan IMAAM  BESAR MASYARAKAT MINANGKABAU (SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA), yakni TUANKU IMAAM BONJOL - RAHIIMAHULLOH❗

IMAAM BONJOL TELAH BERSUSAH-PAYAH MENGUBAH SELURUH KEBIASAAN JAHILIYYAAH, TAKHAYYUL, BID'AH, KHUROFAT, MISTIK, SIHIR, DI MASA LALU KAUM MINANG, hingga kaum Minang MENJADI MUSLIMIIN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, dan hingga juga kaum MINANG MENGHASILKAN AMAT BANYAK KAUM ALIM-ULAMA, PAHLAWAN NASIONAL, CERDIK-PANDAI ASAL MINANG YANG IKUT MEMERDEKAKAN DAN MENJAGA NUSANTARA❗

Karena jasa Imaam Bonjol, dan alim-ulama bersama beliau serta pasukannya pula lah, seluruh masyarakat Minangkabau - alhamdulillaah - tegas bersemboyan:

"Adaik basandikan syara', syara' basandikan Kitabulloh."

Atau:

"Adat-istiadat harus berdasarkan Syari'ah, dan Syari'ah harus berdasarkan Kitabulloh (Al Qur'aan)."

Ini dikatai Radikal?

Wahabi?

Dan Imaam Bonjol juga mampu mempersatukan masyarakat Minang dalam melawan kafiruun penjajah Belanda!

Bersamaan dengan perang pasukan Pangeran 'Abdul Hamid Ontowiryo Diponegoro melawan Belanda di Jawa!

Kalimat penghinaan dan fitnah si SAS di video ini:

➡️ "Gerakan Radikal masuk ke Nusantara dimulai oleh Imaam Bonjol dengan pasukan paderinya ... Imaam Bonjol adalah Wahabi ... !"

➡️ Simak videonya:

https://youtu.be/iZY-C7J3FAQ

Juga di:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=191198138429325&id=100026174211471

===================

Terlepas dari kekontroversialan Said 'Aqil Siradj si tokoh Jaringan 'Islam' Liberal (JIL) yang juga dikenal dekat dengan Syi'ah (padahal pendiri utama NU melarang Syi'ah ada di NU), dan dituding sesama nahdliyyiin NU telah membiarkan Neo-Komunis masuk ke PBNU dan Banser GP Ansor NU, mari juga simak ini, yang dipaparkan dengan dalil dan bukti:

 MASIH PERCAYA KEBOHONGAN SYI'AH DAN MUSUH ISLAM BAHWA GOLONGAN WAHABI ITU ADA?

Sungguh menyedihkan bahwa sebagian kaum Muslimiin Indonesia larut turut dalam kesalahan bahkan kebodohan, akibat tak belajar benar. 

Mau saja dihasut dengan kesalahan sebut dari kaum Inggris jaman dulu, yang lalu dimanfaatkan Syi'ah, Komunis, Mistikus, musuh-musuh Islaam untuk memecah belah sesama Ahlus Sunnah.

Namun sudah banyak pula yang sadar bahwa SYI'AH SEDANG MENCOBA MENDEKATI MASSA NU YANG BANYAK ITU, melalui rayuan seakan-akan banyak ritual 'khas' NU, adalah SAMA dengan ritual Syi'ah

Ini ada benarnya, walaupun tidak sepenuhnya. Karena NU juga mengadopsi, membolehkan Sufi. Sedangkan Sufi, membesar bersamaan dengan Syi'ah, utamanya di masa kekholifahan Abbasiyyaah! Mereka ada saling mempengaruhi, satu sama lainnya.

Tetapi ... NU generasi pertama (1926), ADALAH BANYAK KESAMAANNYA dengan Muhammadiyah (1912), Al Irsyaad (1914), dan Persatuan Islam/Persis (1923). Tidak seperti mayoritas kaum Nahdliyyiin kini.

Bahkan fatwa dari KH Hasyim Asy'ary tegas MELARANG NAHDLIYYIIN MENDEKATI, MEMPELAJARI, DAN MENGIKUTI SYI'AH.

Satu hal yang ironis kini, karena KH Said 'Aqil Siradj (SAS) Ketum PB NU, adalah dikenal sebagai pendukung Syi'ah dan Liberalisme kini!

Jadi ...

Sudah lama dibahas - juga di media ini - mengenai betapa bodohnya dan tidak mungkinnya sebutan, dan ada golongan 'Wahabi'.

Berdasarkan keterangan pakar Tata Bahasa, 'ulama 'Aqidah Ahlus Sunnah, dan Tarikh (Sejarah).

Termasuk dari Buya HAMKA Ketua Umum MUI pertama, dan Habib Ahmad bin Zen Alkaff, dan banyak 'ulama serta pakar sedunia.

Itu adalah kesalahan sebut Inggris terhadap kaum Muslimiin, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di jazirah Arabia Tengah (kini sebagian besarnya menjadi Arab Saudi), dan kesalahkaprahan ini lalu dimanfaatkan Syi'ah untuk mengadu-domba Muslimiin, bahkan dengan berbagai tambahan kebohongan.

Dalam tinjauan Tata Bahasa Arab, karenanya, TIDAK MUNGKIN disebut 'Wahabi' karena sebutan ini secara gegabah dan salah dinisbatkan kepada (Syaikh) MUHAMMAD bin 'Abdul Wahhab At Tamimi (dari Bani Tamim, Quraisy). 

Beliau seorang guru agama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dengan mengikuti pemahaman (manhaj) kaum Salafush Sholih/kaum Pendahulu Yang Salih (*) yang mengajarkan semua sistem Madzhab Fiqh, namun lebih menyenangi Madzhab Hanbali (dan ini wajar saja dan diperbolehkan dalam Islaam). 


Keterangan: (*) Mereka adalah seluruh 124.000 nabi dan rosul beserta ummah/muridnya masing-masing. Khususnya Rosuululloh Muhammad - shollollohu 'alaihi wasallam - dan 3 generasi pertama murid beliau yang dijamin terbaik, yakni generasi Shahabah Nabi, generasi Tabi'iin, dan generasi Tabi'ut Tabi'iin.

Nama beliau sendiri tentu saja adalah "Muhammad", dan nama ayahnya, karenanya, adalah 'Abdul Wahhab At Tamimi (artinya, dari keluarga Quraisy terhormat Bani Tamim). Maka seharusnya secara Tata Bahasa, pengikutnya disebut "Muhammadi" atau "Muhammadiyyah". Bukan "Wahhabi".

Lebih lagi, dalam tinjauan standar 'Aqidah Islaamiyyah, TIDAK MUNGKIN mereka disebut 'Wahabi' atau 'Wahhabi', karena nama "Al Wahhab" itu adalah nama ALLAH. Dan secara 'aqidah, manusia tidak dibenarkan memakai nama ALLAH: "Al Wahhab" (kecuali dengan didahului kata "Abdul" atau "hamba dari"). 

Dan karenanya - walaupun artinya bagus - tidak wajar pula menyebut Muslimiin sebagai "Wahhabi" (Pengikut ALLAH Al Wahhab).

Dan dalam tinjauan Tarikh (Sejarah), TIDAK MUNGKIN pula pengikut Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab At Tamimi disebut 'Wahabi', karena yang disebut demikian adalah pengikut 'Abdul Wahhab bin Rustum, seorang Khowarij (ekstrimis) di Abad III-IV Hijriyyah. 

Sementara Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab At Tamimi tersebut hidup di Abad XII-XIII Hijriyyah, dan adalah seorang guru agama Ahlus Sunnah wal Jama'ahbiasa. 

Tetapi ada usaha mengesankan keduanya adalah sama. Utamanya untuk membangun propaganda kebencian terhadap Ahlus Sunnah, terhadap Madzhab Hambali, terhadap Arabia/Arab Saudi. Biasanya dari agen-agen laten atau terbuka dari kalangan Syi'ah, Orientalis, Komunis, dll., dan yang terpengaruh oleh mereka, sadar atau tidak.

Dan ingatlah ...

Di Nusantara/Indonesia, sejak dulu yang dimaki sebagai Wahabi atau Wahhabi dengan SEENAKNYA adalah:

Imam Bonjol dan semua Muslimiin Minangkabau (Sumatra Barat) yang pada dasarnya biasanya adalah bergabung di "Muhammadiyah" (setelah organisasi Islam "Muhammadiyah" berdiri).

Muhammadiyah, organisasi Islam yang TERTUA di Nusantara dan masih ada (berdiri di tahun 1912 dengan akta Notaris resmi di tahun 1914 di Yogyakarta), dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Al 'Irsyaad Al Islamiyyah (1914 dan resmi di 1915 di Surabaya) dan kaum jama'ah keturunan Arab non 'Alawiyyiin/Non Habaib.

Persatuan Islam/Persis (1923 di Bandung)

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia/DDII (1967 di Jakarta)

Hidayatullah (1973)

Wahdah Islamiyah (1988)

HASMI (2005)

Buya HAMKA, Ketua Umum MUI pertama, tokoh Muhammadiyah, serta Pujangga/Sastrawan nasional.

Syaikh DR. Muhammad Natsir, Perdana Menteri RI pertama, Pahlawan Nasional RI, dan pendiri DDII.

Syaikh Ahmad Hassan, tokoh Persis dan salah satu guru Bung Karno.

Bung Karno, aktivis Muhammadiyah, anggota Muhammadiyah sampai meninggalnya, dan Proklamator RI, Presiden I RI.

Bung Hatta, aktivis Muhammadiyah dan Proklamator RI, Wakil Presiden I RI.

Ustadz dan Panglima Besar Jenderal Sudirman, warga Muhammadiyah dan gerakan kepanduannya.

Syaikh Haji Agus Salim.

Kaum muslimiin Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berusaha meneladani kaum Salafush Sholih (yakni Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam dan para Sahabat Nabi lalu para Tabi'iin dan lalu para Tabi'ut Tabi'iin) yang DIJAMIN ALLAH sebagai yang terbaik, sebagai Salafiyyuun.

Dll.

Hanya karena mereka tidak mau memperingati kematian dan makan-makan di hari hitungan Hindu (hari ke 1, 3, 7, 40, 100, 1000), tetap ziarah kubur namun tidak mau mengkeramatkan kuburan dan beribadah di sana, tidak selalu berqunut kecuali ada musibah, tidak membaca basmalah dengan jahr saat Al Fatihah dan Surah2 lain, tidak merayakan Maulid karena ini dari kebiasaan Syi'ah, tidak Haul, tidak berdzikr kencang-kencang juga berjama'ah apalagi memakai musik, tidak suka Mistik, tidak menyanyi Barzanji, biasanya berjenggot, biasanya bercelana cingkrang tidak isbal, berhijab syar'i, Anti Syi'ah, Anti Komunis, Anti Penjajahan Kolonialisme, Anti Yahudi Zionis, Pro Palestina, Pro Syari'ah, dll.❗

Dimaki sebagai Wahabi

Padahal mungkin saja merekalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang lebih sejati, in syaa Allah.

Strategi Dakwah Nabi Soal Haramnya Minuman Keras

 

Strategi Dakwah Nabi Soal Haramnya Minuman Keras


Pengharaman khamar (minuman keras) dalam ajaran Islam tidak diturunkan secara sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur. Ini adalah strategi dakwah Nabi yang diperintahkan Allah SWT untuk mengharamkan minuman keras.

Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Muhammad Ridha dijelaskan, selagi mengepung Bani Nadhir terdapat sejumlah sahabat Nabi yang berkata: “Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang khamar. Sesungguhnya khamar itu menghilangkan akal dan membuang-buang harta,”.

Maka mendengar hal itu, turunlah ayat 219 dalam Surah Al-Baqarah, Allah berfirman: “Yas-alunaka anil-khamri wal-maysiri, qul fihima itsmun kabirun wa manaafi’u linnasi,”.

Yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu (kepada Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,”.

Dengan turunnya ayat tersebut, sebagian orang masih ada yang meminum khamar karena dinilai ada manfaat dalam kandungannya. Sebagian lainnya meninggalkan khamar karena adanya dosa di sana.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf mengundang beberapa orang lalu mereka meminum khamar sampai mabuk bahkan ada sebagian dari mereka melakukan shalat maghrib dalam keadaan mabuk. Dalam shalat itu dia membaca: “qul yaa ayyuhal-kafirun, a’budu maa ta’buduun,” yang mana bacaannya kacau balau.

Atas kejadian itu, maka turunlah firman Allah dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 43 berbunyi: “Ya ayyuhal-ladzina amanu laa taqrabu as-shalata wa antum sukara hatta ta’lamuu maa taqulun,”.

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk hingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,”.

Sejak itulah berkurang pula para peminum khamar. Namun bukan berarti berkurang seluruhnya sebab masih ada beberapa orang saja yang masih meminum khamar. Kemudian di suatu ketika berkumpullah sekelompok kaum Anshar.

Di sana terdapat pula Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika mereka mabuk, mereka membanggakan diri dengan melantunkan syair-syair hingga akhirnya Sa’ad membacakan syair yang isinya mengejek kaum Anshar. Salah seorang Anshar kemudian memukulnya dengan tulang rahang unta yang mengakibatkan kepalanya terluka parah.

Sa’ad kemudian mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Beriringan mendengar aduan Sa’ad itu, Sayyidina Umar pun berkata: “Ya Allah, jelaskan kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang lengkap. Sesungguhnya khamar itu menghilangkan akal dan membuang-buang harta,”.

Maka, turunlah firman Allah dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 90-91 berbunyi: “Ya ayyuhalladzina aamanu innmal-khamru wal-maysiru wal-anshabu wal-azlamu rijsun min amail as-syaithani, fajtanibu la’allakum tuflihun. Innama yuridu as-syaithanu an yuqi’a bainakum al-adawata wal-bagdha-a fil-khamri wal-maysiri wa yashuddakum an dzikrillahi an as-shalati fahal antum muntahun,”.

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi, dan hendak menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka tidakkah kamu mau berhenti (dari perbuatan-perbuatan) itu?”.

Adapun hikmah diharamkannya khamar secara berangsur-angsur dan berurutan ialah bahwa orang-orang pada waktu itu sudah terbiasa meminumnya. Mereka merasa telah mendapat manfaat besar dari khamar. Karena itulah, Allah dan Nabi tahu bahwa kalau mereka dilarang meminumnya sekaligus makan akan menimbulkan kesulitan bagi mereka.

Jumat, 16 April 2021

SUFI ATAU SHUFI; KAPAN DAN BAGAIMANA TAHAP KEMUNCULANNYA

SUFI ATAU SHUFI; KAPAN DAN BAGAIMANA TAHAP KEMUNCULANNYA 


PENDAHULUAN 

Oleh Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid 

Benarkah tasawuf merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah muncul semenjak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Atau benarkah merupakan amaliyah para Shahabat dan sudah muncul semenjak zaman mereka ? 

Jika memang demikian, tentu ada riwayatnya dan sudah tercatat dalam sejarah. Tentu pula istilah tasawuf dan sufi (menurut lidah dan ejaan bahasa Indonesia), atau tashawwuf dan shûfiy (menurut ejaan dan lidah bahasa Arab) tidak akan diperdebatkan oleh Ulama tentang akar kata kalimat tersebut. 

Pada kenyataannya, tidak ada satupun riwayat shahîh yang menerangkan kalimat tersebut. Bahkan riwayat dha’îf pun tentang kalimat itu sulit dicari. Bahkan ditinjau dari sisi bahasa Arab pun, para Ulama berselisih pendapat tentang asal mula kata tersebut. Maka ini tentu menunjukkan bahwa kata sufi dan tasawuf tidak memiliki akar kata yang jelas dalam bahasa Arab. 

TAHAP-TAHAP MUNCULNYA TASHAWUF DAN SHUFI 

Tahap Pertama.

Menurut para peneliti sejarah, benih-benih ajaran sufi (atau shûfiy) mulai muncul pada zaman Tâbi’în, tanpa nama dan istilah-istilah khusus. Dilakukan oleh sebagian ahli ibadah yang pernah berjumpa dengan sebagian Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Waktu itu mereka dikenal sebagai Nussâk (ahli ibadah), zuhhâd (orang-orang zuhud), orang-orang yang gampang menangis, orang-orang alim, ahli taubat dan sebutan lain yang senada. Intinya orang-orang yang dikenal bersifat ahli ibadah, ahli zuhud dan memutuskan diri dari urusan duniawi, khususnya ahli ibadah di Irak, Kufah dan Bashrah. Sebab terlihat pada diri orang-orang tersebut tanda-tanda sikap berlebihan dalam mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa yang tidak ada pada para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, penyusun Kitab Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyah, menukil dialog antara Bard, seorang bekas budak Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah , dengan bekas majikannya (Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah), dari Kitab Thabaqat Ibni Sa’d V/135. 

Bard berkata kepada Sa’id, “Aku lihat betapa bagus apa yang mereka perbuat.” 

Sa’id bertanya, “Apa yang mereka perbuat ?” 

Bard menjawab, “Aku lihat seseorang di antara mereka shalat Zhuhur, kemudian ia terus membariskan kedua kakinya sambil shalat hingga datang waktu Ashar.” 

Sa’id rahimahullah berkata, “Aduhai celaka engkau hai Bard, ketahuilah demi Allâh Azza wa Jalla ! Hal yang demikian itu bukanlah ibadah ! Sesungguhnya ibadah itu tidak lain adalah menghayati dan menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla serta menahan diri untuk tidak melanggar apa-apa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla .” 

Itulah kemunculan tahap awal bagi tasawuf. Dan pada tahap ini, belum ada bid’ah dalam arti teoritis dan belum ada perdebatan ilmiyah tentang mereka. Demikian pula, belum ada lambang-lambang atau istilah-istilah tertentu bagi mereka. Merekapun tidak membuat istilah atau bahasa-bahasa khusus bagi dirinya. Lebih penting lagi, mereka pada saat itu belum menggunakan nama tertentu. (Yang ada waktu itu adalah sikap berlebihan dalam mengekang diri dan dalam menambah-nambahkan apa yang tidak ada pada para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana telah dikemukakan di atas-pen.) 

Tahap Kedua. 

Tersebarnya sebutan Tasawuf dan Sufi. Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan dan siapa yang pertama-tama mencetuskan nama sufi atau menamakan diri sebagai sufi. Ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi adalah Abu Hâsyim al-Kûfi, wafat di Syâm setelah pindah dari Kûfah pada tahun 150 H atau 162 H. 

Sebagian ahli sejarah yang lain menyebutkan bahwa Abdak, singkatan dari Abdul Karim, (wafat 210 H) adalah yang pertama-tama menyebut diri sebagai sufi. Dr. Fahd kemudian menukil pernyataan seorang Ulama Syâfi’iyah bernama Muhammad bin Ahmad al-Malthi as-Syâfi’i yang menyebutkan dalam kitabnya, at-Tanbîh wa ar-Raddu ‘ala Ahli al-Ahwâ’ wa al-Bida’, bahwa Abdak adalah pemimpin salah satu firqah di antara firqah-firqah zindiq. Muhammad al-Malthi selanjutnya menyebutkan dalam kitabnya itu bahwa di antara ciri firqah ini adalah mengharamkan semua apa yang ada di dunia kecuali makanan pokok. Dan dunia semuanya tidak halal kecuali jika dengan kepemimpinan seorang Imam yang adil. Bila tidak ada imam yang adil, maka dunia itu semuanya haram, begitu juga bermu’amalah dengan penghuninyapun haram. Nama dari golongan ini adalah al-‘Abdakiyah, sebab Abdak-lah yang telah meletakkan asas ajaran ini bagi mereka, dialah yang mengajak mereka untuk mengikuti ajaran ini dan memerintahkan untuk mempercayainya. 

Sementara Ibnu an-Nadim, dalam kitabnya, al-Fahras menyebutkan bahwa Jâbir bin Hayyan, seorang murid Ja’far ash-Shadiq, wafat tahun 208 H, itulah yang pertama kali menamakan diri sebagai sufi, sedangkan ia adalah seorang penganut Syî’ah.[1] 

Karena perselisihan pendapat tentang kapan atau siapa yang pertama-tama menamakan diri sebagai sufi, maka sebagian peneliti cenderung berpendapat bahwa tasawuf adalah ajaran asing yang menyusup kedalam Islam. Dibentuk oleh kaum zindik dan kaum Rafidhah (Syî’ah) yang terkenal sebagai golongan yang selalu membuat tipu daya terhadap kaum Muslimin semenjak zaman dahulu. 

Intinya, kemunculan tasawuf dan sufi pada tahap kedua memiliki ciri menonjol berupa: 

1. Munculnya berbagai keadaan yang mengherankan dan berbagai perilaku yang aneh dari orang-orang yang dikenal ahli ibadah dan ahli zuhud, jauh lebih banyak dari generasi sebelumnya. 

2. Munculnya sebutan tasawuf dan sufi. Ini merupakan permulaan bagi tersebarnya nama-nama tersebut secara meluas dikemudian hari serta istilah-istilah lain yang membarenginya. Misalnya istilah hub (cinta) dan fana’. Ini terjadi pada permulaan abad kedua Hijriyah. Yaitu kira-kira pada saat munculnya Abu Hâsyim as-Sufi dan yang semisalnya. 

Kemudian, pada tahap ini, di antara hal yang dikisahkan tentang mereka ialah adanya sebagian orang yang membangun tempat ibadah khusus yang terasing dari orang lain. Ada pula yang melakukan peribadatan di goa-goa, atau melakukan peribadatan dengan menjalankan laku di padang-padang pasir luas, serta kisah-kisah lain yang menunjukkan gemarnya sebagian mereka berperilaku berlebih-lebihan. Sementara sebagian perilaku menunjukkan kebodohan serta kurangnya akal. 

3. Munculnya ungkapan, sebutan serta istilah-istilah yang jelas-jelas salah, berkenaan dengan masalah tawakal ataupun masalah lain, sehingga karenanya mereka melakukan penyimpangan terhadap sari’at. Misalnya istilah ilmu (yang memiliki konotasi lain menurut mereka), tarekat dan lain-lainnya. 

Ini semua menunjukkan adanya permulaan sikap fanatisme golongan dan perpecahan. 

Tahap Ketiga. 

Tahap ini merupakan kepanjangan tahap sebelumnya. Terjadi sesudah penghabisan abad kedua Hijriyah atau sesudahnya. Pada tahap ini muncul sesuatu yang berbeda secara nyata dibandingkan dengan tahap sebelumnya. Muncul pula istilah-istilah yang maknanya kabur dan memungkinkan untuk ditafsirkan dengan banyak maksud. Sehingga ada sebagian di antara mereka yang, karena husnu zhan, membawanya pada makna yang sejalan dengan ajaran Islam. Tetapi banyak di antaranya yang memahaminya dengan makna yang memicu permulaan bagi lahirnya pembuatan bid’ah. Bahkan bagi lahirnya sikap zindîq dan kufur. Sebab istilah-istilah tersebut mirip dengan istilah-istilah aliran bathiniyah. 

Di antara istilah-istilah tersebut ialah; al-wihdah (mengandung makna wihdatul wujûd, manunggaling kawula lan gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan), al-fana (leburnya seseorang kedalam rubûbiyah Allâh Azza wa Jalla /ketuhanan), al-ittihâd (menyatunya manusia dengan Tuhan), al-hulûl (menjelma/menempatnya Tuhan pada makhluk), as-Sukru (hilangnya kesadaran diri karena Tuhan menyatu dengan dirinya), al-Kasyf (mampu mengetahui secara gaib apa yang tidak diketahui orang biasa), al-murid (murid yang harus taat mutlak kepada syaikh tarekatnya), al-‘ârif (orang yang sudah sampai pada peringkat ma’rifat, di atas syari’at), al-hal (kondisi aneh dengan perilaku tertentu atau kemampuan tertentu) dan istilah-istilah lainnya. 

Masuk dalam golongan tahap ini; para murid al-Hârits al-Muhasibi dan orang-orang sesudahnya, juga al-Junaid serta gurunya, yaitu as-Sariy as-Saqthiy, dan guru as-Sariy, yaitu Ma’rûf al-Karkhi. Juga Dzu an-Nun al-Mishriy, Abu Sa’id al-Kharaz dan lainnya. 

Sebagian perilaku aneh dan tidak masuk akal yang dilakukan sebagian mereka pada tahap ini misalnya, adalah apa yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Ahmad an-Nawawi (wafat 295 H). Ia naik ke atas suatu jembatan, lalu karena kesufiannya, ia membuang 300 dinar uang hasil penjualan rumahnya ke dalam air satu persatu hingga habis, seraya berkata kepada Allâh Azza wa Jalla , “Ya Allâh Azza wa Jalla yang ku cintai ! Engkau ingin menipu aku dengan uang dari-Mu seperti ini?”[2] 

Oleh sebab itu, beberapa peneliti sejarah mengatakan, bahwa aliran tasawuf mencapai tingkat kematangannya pada abad ketiga Hijriyah. Dari sini dapat dikatakan bahwa tasawuf yang sebenarnya baru muncul pada abad ketiga Hijriyah ini.[3] 

Pada tahap ini pula, dengan melihat istilah-istilah sufi yang makin berkembang, dapat diketahui seberapa jauh pengaruh sumber-sumber ajaran asing terhadap ajaran sufi, baik dalam hal kata-kata, perbuatan dan perilaku ibadah mereka. 

Kemudian pengaruh yang membawa perubahan ini membuktikan lahirnya permulaan gagasan baru bagi kalangan sufi dan istilah-istilah khusus yang lebih baru lagi. Misalnya perhatian besar mereka terhadap kebiasaan ‘isyq (yaitu cinta kasih yang terwarnai oleh syahwat, umpamanya kepada anak-anak muda usia tanggung), mahabbah, Hiyam (hilangnya akal karena saking cinta), dzuhul (linglung karena saking cinta) dan lain-lainnya. 

Lebih parah dari itu semua adalah bahwa ibadah akhirnya bukan lagi menjadi tujuan tertinggi. Tetapi ibadah hanyalah sebagai pendahuluan bagi tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu terwujudnya wihdatul wujûd (menyatunya makhluk dengan Tuhan), serta hulûl (bahwa Allâh Azza wa Jalla menjelma dan menempat pada diri makhluk). 

Perlu dijelaskan pula di sini bahwa pada tahap ketiga ini, mulai lahir sikap fanatisme golongan yang dilarang dalam syarî’at, dan sikap ta’ashub (fanatik) kepada syaikh-syaikh sufi. Ini merupakan pangkal dari lahirnya tarekat-tarekat sufi. Karena itu, menjadi jelas sekali pada tahap ini, bahwa masing-masing kelompok sufi sangat fanatik terhadap syaikh tarekatnya. Masing-masing syaikh memiliki tarekatnya sendiri, baik dalam masalah adab, manhaj maupun dzikir. Masing-masing syaikh memiliki kekuasaan terhadap murid-murid (pengikut-pengikut)nya. 

Tahap Keempat. 

Yaitu tahap tasawuf hulûliy ittihâdiy. Tahap lahirnya pernyataan sebagian sufi akan manunggaling kawula lan gusti, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan. Secara terbuka dan terang-terangan sebagian mereka menegaskan kalimat kufur dan sesat ini. 

Di antara tokohnya adalah al-Hallâj, yaitu Husain bin Manshûr al-Hallâj yang dihukum bunuh karena dinyatakan murtad pada tahun 309 H. Dialah tokoh paling masyhur yang menyatakan prinsip menyatunya makhluk dengan Tuhan, dan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada serta menyatu pada setiap makhluk-Nya. Lahirlah dari orang ini berbagai bentuk kekufuran besar. Disusul kemudian oleh tokoh-tokoh sesudahnya yang meneruskan jejaknya dalam kekafiran ini. 

Inilah akhir dari perjalanan tasawuf. Istilah-istilah yang maknanya sebelumnya kabur menjadi semakin jelas, yaitu bahwa ujung-ujungnya bermuara pada maksud terwujudnya wihdatul wujûd. Bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu. (Inilah kekufuran yang lebih dahsyat daripada kekufuran kaum Nasrani-pent.) [4] 

Pada tahap ini muncul quthub-quthub (pemimpin-pemimpin) sufi. Lahirlah secara nyata aliran-aliran tarekat sufi. Pada tahap ini pula, filsafat Yunani banyak menyusup ke kalangan mereka disebabkan terbukanya penerjemahan buku-buku Yunani secara luas. Juga tersebarnya ajaran-ajaran bathiniyah. 

Abbâs al-‘Azawi, seorang sejarawan Irak (wafat 1391 H) menyebutkan, bahwa para ahli tasawuf yang ekstrim sangat giat dalam aktifitasnya pada akhir abad ketiga Hijriyah. Mereka sangat aktif menekuni madzhab al-Hallâj, di samping juga terpengaruh oleh filsafat plato di satu sisi, dan filsafat Hindu di sisi yang lain. 

Begitulah seterusnya hingga pada pertengahan abad keenam Hijriyah mereka terus memanfaatkan kesempatan untuk mendakwahkan pemahamannya.[5] 

Demikianlah secara garis besar tahap-tahap kemunculan tasawuf dan sufi. Awalnya pada zaman Tâbi’i, hanya merupakan kegiatan tanpa sebutan dan nama. Kemudian tahap kedua, pada awal abad kedua Hijriyah, mulailah muncul istilah sufi dan beberapa istilah baru yang tidak dikenal pada zaman Shahabat Radhiyallahu anhum. Disusul tahap ketiga yang dimulai pada akhir abad kedua Hijriyah atau awal abad ketiga Hijriyah. Pada tahap ini tasawuf mencapai kematangannya. Bahkan dikatakan bahwa tasawuf yang sesungguhnya muncul pada abad ketiga ini. Selanjutnya tahap keempat di akhir abad ketiga Hijriyah, tasawuf sampai pada tujuan akhirnya, yaitu wihdatul wujâd dan hulûl. Bahwa makhluk menyatu dengan Tuhan, dan Tuhan berada pada setiap makhlukNya. Dan ini tentu merupakan kekufuran. Nas’alullaha minal kufri wa adh-dhalalati. 

(Makalah ini merupakan ringkasan dari Kitab Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyayah, Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid, yang pernah dikaji di Daurah Syar’iyyah II di Bogor, tanggal 22-28 Syawal 1433 H/9-15 September 2012 M, dibawakan oleh Syaikh Dr. Musa al-Nashr dari Yordania. Makalah ini sendiri mengambil sub judul Marahil Bida’i at-Tashawwuf, hlm. 19-24. Diringkas oleh Ahmas Faiz Asifuddin) 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] 

___ 

Footnote 

[1]. Dr. Fahd menukil dari kitab ash-Shilah baina at-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’, karya Dr. Kamil asy-Syaibiy, hlm. 105 

[2]. Dr. Fahd menukil kisah ini dari kitab al-Luma’ fi at-Tashawwuf, karya ath-Thûsiy, hlm. 210 

[3]. Menukil dari Târikh at-Tashawwuf, Qosim Ghani 

[4]. Lihat Taqrîb at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah , pada fasal pembahasan Fil fana’ wa Aqsâmihi; al-Qismu ats-Tsalits, hlm. 125-126 

[5]. Diketengahkan dan diterjemahkan dengan ringkas dan dengan bahasa bebas

Minggu, 21 Maret 2021

Kisah Rasulullah SAW sebelum wafat.

Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah SAW sebelum wafat.


Rasulullah SAW telah jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah.

Pada suatu hari Rasulullah SAW meminta Bilal memanggil semua sahabat datang ke Masjid. Tidak lama kemudian, penuhlah Masjid dengan para sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama tidak mendapat taushiyah dari Rasulullah SAW.

Beliau duduk dengan lemah di atas mimbar. Wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yang tengah dideritanya.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Wahai sahabat-sabahatku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah satu-satunya Tuhan yang layak di sembah?"

Semua sahabat menjawab dengan suara bersemangat, " Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah."

Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

"Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka."

Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yang Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat.

Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yang menjadikan para sahabat sedih dan terharu. 

Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan manusia."

Ketika itu semua sahabat diam, dan dalam hati masing-masing berkata "Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang kepada Rasulullah".

Rasulullah SAW mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali.

Tiba-tiba bangun seorang lelaki yang bernama UKASYAH, seorang sahabat mantan preman sebelum masuk Islam, dia berkata:

"Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa".

Rasulullah SAW berkata: "Sampaikanlah wahai Ukasyah".

Maka Ukasyah pun mulai bercerita:

"Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tetapi cambuk tersebut tidak kena pada belakang kuda, tapi justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah".

Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata: "Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."

Dengan suara yang agak tinggi, Ukasyah berkata: "Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah."

Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian. 

Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak marah pada Ukasyah. "Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah. bukankah Baginda sedang sakit..!?"

Ukasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW meminta Bilal mengambil cambuk di rumah anaknya Fatimah.

Bilal meminta cambuk itu dari Fatimah, kemudian Fatimah bertanya: "Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?"

Bilal menjawab dengan nada sedih: "Cambuk ini akan digunakan Ukasyah untuk memukul Rasulullah"

Terperanjat dan menangis Fatimah seraya berkata:

"Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku Rasulullah? Ayahku sedang sakit, kalau mau mukul, pukullah aku anaknya".

Bilal menjawab: "Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua".

Bilal membawa cambuk tersebut ke Masjid lalu diberikan kepada Ukasyah.

Setelah mengambil cambuk, Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah. 

Tiba-tiba Abu bakar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah..! kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yang pertama beriman dengan apa yang Rasulullah SAW sampaikan. Akulah sahabatnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku".

Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah. Kemudian Umar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata:

"Ukasyah..! kalau engkau mau mukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya, itu dulu. Sekarang tidak boleh ada seorangpun yang boleh menyakiti Rasulullah Muhammad. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku..!."

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW:

"Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah, tiba-tiba berdiri Ali bin Abu Talib sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.

Dia menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah, pukullah aku saja. Darah yang sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah".

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW:

"Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dengan Ukasyah" .

Ukasyah semakin dekat dengan Rasulullah. Tiba-tiba tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW yaitu Hasan dan Husen. 

Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon. "Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah, dengan memukul kami sesungguhnya itu sama dengan menyakiti kakek kami, wahai Paman."

Lalu Rasulullah SAW berkata: "Wahai cucu-cucu kesayanganku duduklah kalian. Ini urusan Kakek dengan Paman Ukasyah".

Begitu sampai di tangga mimbar, dengan lantang Ukasyah berkata:

"Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini."

Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Ukasyah berkata lagi:

"Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, Ya Rasulullah"

Para sahabat sangat geram mendengar perkataan Ukasyah.

Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yang sangat indah, sedang beberapa batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.

Kemudian Rasulullah SAW berkata:

"Wahai Ukasyah, segeralah dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Nanti Allah akan murka padamu."

Ukasyah langsung menghambur menuju Rasulullah SAW, cambuk di tangannya ia buang jauh-jauh, kemudian ia peluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya. Sambil menangis sejadi2nya, 

Ukasyah berkata:

"Ya Rasulullah, ampuni aku, maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu. Seumur hidupku aku bercita-cita dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah..."

Rasulullah SAW dengan senyum berkata:

"Wahai sahabat-sahabatku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah..!"

Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat bergantian memeluk Rasulullah SAW.


--------------------------------------


Meski sudah sering membaca dan mendengar kisah ini berulang-ulang, tetap saja saya menangis. 

Semoga tetesan air mata ini membuktikan kecintaan kita kepada kekasih Allah SWT....


Allahumma sholli 'alaa Muhammad. 

Allahumma sholli 'alayhi wassalam 

KENAPA DAKWAH SALAFIYAH SERING DIMUSUHI ???

 KENAPA DAKWAH SALAFIYAH SERING DIMUSUHI ???

Oleh Siswo Khusyudhanto

Sering kali mengajak teman yang awam ke kajian Sunnah sering kali ajakan itu mendapatkan penolakan, alasannya hampir sama, seperti, " kajianmu itu aliran keras", "golongan mu itu dikit-dikit haram", atau "kajian yang saya ikut lebih sejuk, gak pernah membahas Syirik, Bid'ah dan Riba, enak pokoknya, bikin seneng".

Kenapa bisa demikian?, berikut ini mungkin penjelasannya.

Dalam sebuah kajian seorang jamaah bertanya kepada ustadz pemateri kajian, "Ustadz kenapa banyak disebut dikalangan masyarakat awam kajian ini terlalu keras, radikal dan semacamnya?, Mungkin Ustadz dapat menjelaskan fenomena ini".

Ustadz menjawab, "Hal seperti ini mungkin diakibatkan kebanyakan masyarakat terbiasa mendengar kajian agama yang hanya materinya adalah bermuatan Amar Ma'ruf, dan sangat sedikit mereka mendengar kajian agama yang menjelaskan Nahi Munkar, sehingga ketika mereka mendengar kajian yang materinya bermuatan Nahi Munkar mereka menilai hal demikian sangat keras, sehingga menimbulkan tuduhan berbagai macam pada kajian yang demikian, seperti kajian radikal, kajian aliran keras bahkan juga Wahabi.

Semua itu disebabkan karena sangat sedikit pendakwah di negri ini mengikuti konsep Sunnah dalam berdakwah, yakni Amar Ma'ruf Nahi Munkar, kebanyakan pendakwah hanya menyampaikan Amar Ma'ruf, mereka menyampaikan kajian yang berisi seruan agar umat menjadi anak yang baik, istri yang baik, suami yang baik, karyawan yang baik dan seterusnya, dan mereka meninggalkan dakwah yang berisi seruan Nahi Munkar, sangat sedikit pendakwah menjelaskan bahaya Syirik, bahaya Bid'ah, bahaya Riba dan seterusnya.

Ketika mereka(para pendakwah) itu ditanya "kenapa kalian hanya mendakwahkan Amar Ma'ruf saja dan meninggalkan dakwah Nahi Munkar?", Mereka menjawab "itu bukan tugas saya", atau dalam artian mereka hanya mencari aman dengan menyampaikan Amar Ma'ruf dan takut ditinggalkan jamaahnya jika menyampaikan yang berkaitan dengan Nahi Munkar.

Maka ketika ada sebagian kecil pendakwah di negri ini yang berusaha mengikuti konsep Dakwah Sunnah yakni menyampaikan Amar Ma'ruf sekaligus Nahi Munkar, menjelaskan syariat agama dengan jelas mana yang hak dan bathil, yang terjadi justru banyak tuduhan dilayangkan kepada mereka, mulai ustadz radikal, aliran keras atau Wahabi, padahal apa yang disampaikan mereka didasarkan kepada dalil Sahhih baik dari Al-Qur'an dan Sunnah Sahhihah sekalipun.

Akibat budaya ingkar Nahi Munkar dan hanya mengutamakan Amar Ma'ruf ini akhirnya masyarakat terfitnah syubhat dan terlibat dalam amalan-amalan yang menyimpang, banyak perbuatan Syirik, Bid'ah dan Riba didalam masyarakat kita, dan kebanyakan merasa dalam amalan yang benar.

Hal demikian disebabkan tidak ada yang menjelaskan kepada mereka mana Perkara yang hak dan bathil.

Untuk itu menjadi pekerjaan besar para pendakwah untuk mengedukasi masyarakat terutama Umat Muslim agar mereka dapat menerima Dakwah Sunnah, yakni dakwah yang mengikuti Konsep Dakwah Sunnah, Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

Waalahua'lam.


Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” [Ali Imrân/3:104]

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

JANGAN MENGERASKAN SUARA SAAT BERDOA

 Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).

Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendahkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 

Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205).

Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan h al ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 468-469)