Kamis, 30 Januari 2020

KESYIRIKAN ZAMAN NOW

KESYIRIKAN JAMAN NOW TERNYATA LEBIH PARAH

Kesyirikan Zaman Dahulu “hanya” dalam Masalah Tauhid Uluhiyyah

Orang-orang musyrik yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah masyarakat yang bersaksi dan memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha mencipta, tidak ada sekutu baginya. Bahwa tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah semata, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Ta’ala saja, tidak ada yang mengatur segala jenis urusan kecuali Allah Ta’ala saja, serta seluruh langit dan bumi beserta segala isinya, semuanya adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya [1].

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala,

 قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)

 “Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ’Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 84-89). 

Demikianlah kondisi kaum musyrikin dahulu. Mereka tidak pernah memiliki keyakinan bahwa Latta, Uzza, Manat, dan sesembahan mereka lainnya adalah yang menciptakan, memberi rezeki, atau yang menguasai alam semesta ini. Mereka juga tidak memiliki keyakinan bahwa sesembahan mereka itulah yang menghidupkan dan mematikan mereka.

Namun, mereka hanyalah hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih yang dijadikan sebagai perantara dalam ibadah mereka kepada Allah Ta’ala. Demikianlah kontradiksi kaum musyrik tersebut, yaitu mereka mengakui dan beriman kepada sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah.

Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka, وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

 “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain)” (QS. Yusuf [12]: 106).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata berkenaan dengan ayat ini, “Di antara keyakinan mereka, jika ditanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Dan siapakah yang menciptakan gunung?’ Mereka menjawab, ’Allah.’ Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.” [2]

Lalu bagaimana dengan kondisi kaum musyrikin pada zaman sekarang? Maka akan kita jumpai kondisi yang lebih parah dari kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di samping mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala (kesyirikan dalam masalah uluhiyyah), mereka juga menyekutukan Allah Ta’ala dalam masalah rububiyyah.

Beberapa contoh yang menunjukkan kesyirikan dalam masalah rububiyyah adalah: 

Pertama, keyakinan mereka bahwa ada “Dewi” khusus yang berjasa untuk menyuburkan tanah sehingga dapat menjadikan hasil panen mereka -terutama padi- berlimpah ruah. Sehingga pada saat-saat tertentu, mereka membuat “jamuan” khusus kepada sang Dewi tersebut sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka karena telah diberi hasil panen yang berlimpah. Dalam kasus ini terjadi kesyirikan dalam dua aspek sekaligus. Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini adanya pemberi rezeki (berupa panen yang melimpah) selain Allah Ta’ala. Kedua, dalam tauhid uluhiyyah, karena mereka menujukan ibadah kepada Dewi tersebut, di antaranya berupa sembelihan. 

Kedua, keyakinan sebagian masyarakat kita terhadap Nyi Roro Kidul sebagai “penguasa” laut selatan. Keyakinan ini dapat dilihat dari “budaya” atau kebiasaan mereka ketika melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) ke Laut Selatan dengan keyakinan agar laut tersebut tidak ngamuk. Menurut keyakinan mereka, tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa Laut Selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul. Padahal, menyembelih merupakan salah satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur ibadah, yaitu merendahkan diri dan ketundukan. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

”Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al-An’am [6]: 162). 

Barangsiapa yang memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah, maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam. Dalam kasus tersebut juga terjadi kesyirikan dalam dua aspek sekaligus. Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini adanya penguasa atau pengatur alam (yaitu Laut Selatan) selain Allah Ta’ala. Kedua, dalam tauhid uluhiyyah, karena mereka menujukan ibadah menyembelih kepada Nyi Roro Kidul tersebut dengan disertai pengagungan kepadanya.

Demikianlah realita kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Mereka tidak hanya menyekutukan Allah dalam masalah uluhiyyah saja, namun mereka juga menyekutukan Allah dalam masalah rububiyyah. Suatu kondisi yang tidak pernah kita jumpai pada kaum musyrikin di zaman Rasulullah yang “hanya” menyekutukan Allah Ta’ala dalam uluhiyyah-nya saja.

Catatan kaki:

[1] At-Taudhihaat Al-Kaasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 71.

[2] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4/418.

UTAMAKAN ADAB SEBELUM ILMU

Utamakan Adab Sebelum Ilmu

Adab menurut bahasa adalah kesopanan, tingkah laku yang baik, kehalusan budi dan tata susila. Adab juga berarti pengajaran dan pendidikan yang baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "(Sesungguhnya Allah telah mendidikku dengan adab yang baik dan jadilah pendidikan adabku istimewa)." Islam tak hanya menekan pentingnya ilmu. Akhlak mulia juga sangat penting, bahkan lebih penting lagi.

Sabda Rasulullah menegaskan hal itu, 'sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Imam Malik bin Anas adalah salah satu ulama besar. Beliau adalah guru dari Imam Syafi`i dan sahabat berdiskusi Imam Abu Hanifa. Semua kejeniusan Imam Malik tidak lepas dari peran ibunya. Ibunya ingin agar Imam Malik menjadi seorang ulama, maka ia mengirimnya untuk belajar di rumah seorang ulama besar bernama Rabi`ah biin Abdurrahman.

Sebelum berangkat ibunya berpesan "pelajarilah adab Syaikh Rabi`ah sebelum belajar ilmu darinya." Adab memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu , terlihat dari kisah Abdurrahman bin Al-Qasim, salah satu murid Imam Malik. Ia bercerita bahwa "aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, 2 tahun diantaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari adab. seandainya saja aku bisa jadikan seluh waktu tersebut untuk mempelajari adab (tentu aku lakukan)."

Begitu pentingnya adab dalam diri seseorang sehingga ulama berkata "belajar satu bab adab lebih baik daripada engkau belajar 70 bab ilmu." Terdapat kisah, suatu hari Ubay bin Ka'ab sedang menggunggu kendaraan, maka Ibnu Abbas (saudara sepupu nabi) segera mengambil hewan kendaraannya agar Ubay bin Ka'ab menaikannya kemudian Ibnu Abbas berjalan bersamanya.

Maka berkatalah Ubay bin Ka'ab kepadanya, "Apa ini, Wahai Ibnu Abbas?", Ibnu Abbas menjawab, "Beginilah kami diperintahkan untuk meghormati ulama kami." Ubay menaiki kendaraan sedangkan Ibnu Abbas berjalan dibelakang hewan kendaraannya. Ketika turun, Ubay bin Ka'ab mencium tangan Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas bertanya, "apa ini?"

Ubay bin Ka'ab menjawab, "Begitulah kami diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi kami." Adab merupakan pondasi agama. Orang yang beradab akan dicintai  masyarakat, orang yang tidak beradab hidupnya tidak diberkahi Allah dan ilmunya juga tidak bermanfaat. Sekarang kita berada pada  suatu zaman degradasi moral, mereka hanya mengutamakan memperbanyak ilmu, hafalan dan membaca saja namun meremehkan adab atau sopan santun.

Ibnu Mubarak mengatakan, "Barangsiapa meremehkan adab, niscaya dihukum dengan tidak memiliki hal-hal sunnah. Barang siapa meremehkan sunnah-sunnah, niscaya dihukum dengan tidak memiliki (tidak mengerjakan) hal-hal yang wajib. Dan barang siapa meremehkan hal-hal yang wajib, niscaya dihukum dengan tidak memiliki makrifah." Wallahu a`lam.