Kamis, 30 April 2015

Allah menyembunyikan AIB Hamba-Nya

Pelajaran penting tentang aib yang dirahasiakan, berikut ini satu kisah terkenal yang ditulis oleh Syaikh DR. Muhammad Al Ariifi dalam bukunya yang berjudul, Fi Bathni al Hut.

Ketika itu Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, Wahai Kalimah Allah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami. Maka berangkatlah Nabi Musa bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.

Musa berdoa,Wahai Tuhan kami, turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak-anak dan orang-orang yang mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud.

Setelah itu langit tetap saja terang benderang. Mataharipun bersinar makin terik. Kemudian, musa berdoa lagi, Wahai Tuhanku berilah kami hujan.

Allah pun berfirman kepada Musa, Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.

Maka, Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah di hadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun.

Seorang laki- laki melirik ke kanan dan kiri. Tak seorangpun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujanpun tak akan turun.

Maka, kepalanya tertunduk malu dan menyesal. Air matanya pun menetes, sambil berdoa di dalam hati kepada Allah, Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada- Mu, maka terimalah taubatku.

Belum sempat ia mengakhiri doanya maka awan-awan tebalpun bergumpal. Semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan. Nabi Musa pun keheranan dan berkata, Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, padahal tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.

Allah berfirman, Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun. Musa berkata. Ya Allah, tunjukkan padaku hamba yang taat itu.

Lalu Allah berfirman, Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada- Ku, maka apakah Aku akan membuka aibnya sedangkan ia taat (taubat) kepada- Ku?

Selasa, 28 April 2015

Hakikat ‘Ujub (Berbangga Diri) & Penyebabnya

Tanbihun – ‘Ujub secara bahasa adalahmembanggakan (mengherankan) diri dalam hati (bathin), sedangkan dalam istilah diartikan memastikan (wajib) keselamatan badan dari siksa akhirat.  ‘Ujub termasuk dalam kategori dosa besar, dimana dalam hatinya bercongkol suatu sifat yang dapat menghilangkan kekuasaan Allah, termasuk dalam segala perbuatan yang telah Allah ciptakan (sifat baik dan buruk)[1], maka dari itu Allah berfirman dalam surah Al-A’raf  ayat 99:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah(yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.

Dari pemaparan diatas dapat kita fahami bahwa ‘ujub yaitu suatu sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu penghargaan yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri dalam hal menghindar dari siksa neraka. Sikap ini tercermin pada rasa tinggi diri(superiority complex) dalam bidang keilmuan, amal perbuatan ataupun kesempurnaan moral. Sehingga sampai pada sebuah kesimpulan sudah tidak memperdulikan bahwa sebenarnya Allah-lah yang membuat kebaikan ataupun keburukan, serta Dia-lah yang melimpahkan kenikmatan yang nyata[2].

Maka dari itu, Allah kembali mengingatkan kepada orang-orang yang beriman mengenai sifat ‘ujub ini dalam surah Al-An’am ayat 82:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“ Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman(syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Pendapat Syaikh Ahmad Rifai seiring dengan hadith Nabi SAW yang diriwatakan oleh Imam Tabrani, sebagaimana yang telah di kutip oleh Imam al-Ghazali, yaitu:

“Tiga perkara yang membinasakan yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman(takjub)seseorang kepada dirinya sendiri (‘Ujub[3]”.

Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ‘ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena terlalu ujub terhadap dirinya sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah SWT akan menjatuhkan martabatnya.”

Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya serta menganggapnya bagai angin lalu. Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)

Bisyr Al-Hafi menjelaskan ‘ujub sebagai berikut: “Menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”

Sufyan Ats-Tsauri meringkas makna ‘ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.

Al-Fudhail bin Iyadh berkata:

إذْظَفَرَ اِبْلِيْسُ مِنْ اِبْنِ آدَمَ بِاِحْدَىْ ثَلاَثٍ خِصَالٍ قَالَ: لاَأطْلُبُ غَيْرَهَا: إعْجَابُهُ بِنَفْسِهِ،وَاسْتِكْثَارُهُ عَمَلَهُ، وَنِسْيَانُهُ ذُنُوْبَهُ

“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ‘ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia (Iblis) berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ‘ujub?

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka AllahSWT berfirman: “Siapakah yang lancang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” 

Lebih jauh, Syaikh Ahmad Rifa’I menukil dari pendapatImam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman 390-391[4], yaitu:

وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ , فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ, وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ, فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .

“Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan yang terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan amal dan ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu dan amalnya), itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub.

Demikian juga apabila ia merasa gembira karena menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan merupakan suatu nikmat dan karunia Allah, maka ia juga bukan masuk ke dalam jenis ‘ujub.

Akan tetapi sebaliknya, apabila ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan itu lenyap, serta tidak pernah memikirkan siapa Sang pemberi kesempurnaan tersebut, maka inilah yang dinamakan ‘ujub. Sifat ini sangat membahayakan bagi setiap manusia, karena ia mengajak kepada lupa dosa-dosa yang telah dibuatnya dan mengesampingkan (acuh)terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Satu-satunya jalan untuk terhidar dari sifat ‘ujub ini, kita selalu mencoba mengingat kembali apa yang telah kita lakukan supaya cepat kembali ke pangkal jalan (insyaf), sebagaimana Ulama Bal’am dan Iblis La’natullah ‘alaihyang ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun pun pengakhiran hidupnya dengan pengakhiran yang buruk(Su’u al-Khotimah), Karena, sifat ‘ujub menjadikan hati seorang mukmin menjadi ingkar akan segala nikmat yang telah Allah berikan padanya (kufr al-nikmat).

Supaya kita lebih memahami makna yang tersirat dari perkataan Imam al-Ghazali  di atas, para ulama ahli sufi dengan jelas memberikan suatu gambaran kepada kita, yaitu[5]:

لَا تُفَرِّحْكَ الطَّاعَةُ لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ لِأَنَّهُ يُوْرِثُ الْعُجْبَ وَالْكِبْرَ وَإِهْمَالَ الشُّكْرِوَافْرَحْ بِهَا لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ قُلْ بِفَضْلِ اللهِ الْإِسْلاَمِ وَبِرَحْمَتِهِ الْقُرْأَنِفَبِذَالِكَ الْفَضْلُ وَالرَّحْمَةُ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ .

“Jangan sesekali merasa diri kita paling taat kepada-Nya, karena ia dapat membawa malapetaka, seperti menganggap diri kita yang paling mulya (‘ujub), takabbur kemudian lupa akan segala nikmat-nikmat-Nya. Dan merasa-lah dalam hati kita, bahwa ketaatan itu sejatinya merupakan pemberian Allah semata, dengan petunjuk-Nya telah memberikan satu karunia cahaya ke-Islam-an dan iman yang diridhai-Nya, dengan kasih sayang-Nya turunlah Al-Quran sebagai pedoman sehingga kita mampu membedakan mana yang hak dan yang bathil, dengan demikian, merasalah bergembira dalam hati atas segala anugerah yang telah Allah limpahkan kepada kita.”

Sebab-Sebab ‘Ujub[6]:

1. Faktor Lingkungan dan Keturunan

Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dan sebagainya.

2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan

Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقُ صَاحِبَك

“Celakalah engkau, engkau telah memotong leher sahabatmu”. )

Seringkali kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Pujian adalah fatamorgana yang dihajatkan oleh nafsu.

At-Tsauri berkata:

فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مُعْجِبًا بِنَفْسِكَ فَإِيَّاكَ اَنْ تُحِبَّ مَحْمَدَةَ النَّاسِ وَمَحْمَدَتُهُمْ اَنْ تُحِبَّ اَنْ يُكَرِّمُوْكَ بِعَمَلِكَ، وَيَرَوْا لَكَ بِهِ شَرَفًا وَمَنْزِلَةً فِى صُدُوْرِهِمْ

“Apabila kamu sudah tidak ‘ujub pada diri, kamu juga mesti menjauhi sifat ‘suka dipuji’. Bukti bahwa kamu suka pujian orang adalah bahwa kamu ingin agar mereka menghormati kamu kerana sesuatu amal yang kamu lakukan dan supaya mereka mengetahui kemuliaan dan kedudukan kamu di hadapan mereka”.

Pujian ditujukan kepada kerja yang kita lakukan atau ucapan yang telah kita sampaikan. Orang memuji mempunyai tujuan tertentu, sedangkan kita sendiri mengetahui hakikat sebenarnya apa yang ada pada diri kita, tetapi kita lupa atau terpedaya.

Fudhail bin ‘Iyadh mengemukakan parameter supaya kita dapat mengukur dan mengetahui hakikat diri sendiri:

إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ اَنْ يُحِبَّ الْمَدْحَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ،وَيَكْرَهَ الذَّمِّ بِمَا فِيْهِ، وَيَبْغَضَ مَنْ يَبْصُرُهُ بِعُيُوْبِهِ

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang munafik adalah bahwa ingin mendapat pujian dengan perkara yang tidak ada padanya, sedangkan ia membenci terhadap celaan yang ada pada dirinya, dia marah kepada orang yang memandang berbagai kekurangan yang ada pada dirinya”.

3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang akan mengikuti tingkah laku temannya. Rasulullah SAW bersabda:

“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Bukhari Muslim)

Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.

4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah SWT

Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah SWT yang telah memberinya nikmatnya. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ‘ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah SWT telah menceritakan kepada kita kisah Qarun:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي …..

“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)

5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna

Pada hari ini kita banyak mengeluhkan masalah yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal tersebut. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”. Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!

6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)

Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ‘ujub. Ia pasti meminta kepada Allah SWT agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:

“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.

Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina.

Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.

Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?

Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!

Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.

Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur.

Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.

Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesudahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.

7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan

Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak ragu lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ‘ujub.

Dalam sebuah kisah pada zaman khalifah Umarradhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Bait Al-Haram.Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada sayyidina Umar dan mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar  pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!”

Umar menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!” Tidakkah engkau ketahui bahwa: Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi, dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya. Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu.

8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati

Barangkali inilah hikmahnya Rasul SAW melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)

Dalam hadits lain Rasul bersabda:

“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)

9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit ‘Ujub

Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ‘ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ‘ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasul:”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasul, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?”

Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

(HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Dampak ujub

1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. sebagaimana firmannya:وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)

3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.

Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ‘ujub akan berteriak: ‘Oh kawan, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah SWT, mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalibkarramallahu wajhahu:

Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?

Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?

Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.

Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?

4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya.

Allah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” 

Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’

5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam hadits disebutkan:

“Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.”

(HR. Al-Bukhari)

Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ‘ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di dunia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah SWT mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.

Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ‘ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.

Penjelasan mengenai ‘ujub diatas mengandung muatan kritik terhadap 3 kalangan[7]Orang yang mengaku suci tetapi amaliyah syariatnya masih banyak kekurangan. Mereka berbicara tentang upaya membersihkan hati namun masih belum sah dalam melaksanakan shalat (dengan tidak mengetahui syarat-rukun dan batal dalam urusan shalat).Orang yang mengaku alim padahal belum sah iman dan shalatnya. Dalam dirinya merasa paling benar sedangkan sebenarnya dia mengikut kehendak syaitan dengan melakukan tindakan ‘ujub  serta takabbur tetapi tidak diketahuinya.Guru yang munafik yaitu orang-orang yang sebenarnya bodoh tetapi karena takabbur dia mengaku menjadi guru.

mudah-mudahan Allah jauhkan kita daripada sifat ini, Amin. 

Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi

[1] Syeh Ahmad Rifa’i, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 21, halaman 16, baris 9, bisa juga lihat dalam kitab karangan beliau lainnya seperti dalam Abyan al-Hawaaij, beliau menerangkan ‘ujub hukumnya haram dan dosa besar, dicontohkan seorang Ulama yang bernamaBal’am sudah rusak imannya, yaitu dengan pengakhiran hayatnya dalam keadaan kufur (Su’u al-Khotimah).

[2] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 135

[3] Hadith ini disebutkan oleh Al-Mundziry dalam kitab At-Targhib wa Tarhib 1/162 yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Al-Baihaqi serta dibenarkan oleh Al-Albany

[4] Opcit. Riayah Akhir, korasan 21, halaman 19, baris ke 2-9

[5] __________________, Riayah Akhir, Korasan  22, halaman 1, baris 10

[6] Risalah Al-Hujjah No: 54 / Thn IV / Rabiul Awal

[7] Dr. Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH.Ahmad Rifa’I ,

Larangan Takabur, Pamer, Serta Sombong

Sahabat Abdillah bin Mas’ud ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Seseorang yang di dalam hatinya masih terdapat rasa takabur walau hanya seberat biji sawi dia tidak akan berhak masuk sorga.” Kemudian ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, terus bagaimana halnya dengan seseorang yang suka memakai pakaian bagus dan sepatu bagus?” Jawab Rasulullah: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang bagus, dan cinta kepada segala kebagusan. Sedang yang dinamakan takabur adalah mengingkari kebenaran serta sombong terhadap sesama manusia.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Pada zaman dahulu ada seorang lelaki memakai pakaian hingga menyentuh tanah dan berjalan sambil menarik- narik pakaiannya dengan penuh rasa bangga. Lalu orang tersebut ditenggelamkan ke bumi hingga hari kiamat nanti.” (HR. Bukhari dan Nasai).

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa menarik-narik pakaiannya lantaran pamer serta sombong, maka Allah tidak akan memperdulikannya pada hari kiamat nanti.” Kemudian Abu Bakar berkata: “Ya Rasulullah, kain sarungku sangat panjang hingga sampai ke tanah, dan bila berjalan aku selalu menariknya. Tetapi yang demikian aku maksudkan untuk menjaga aurat” Lalu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak termasuk golongan orang yang pamer serta sombong dalam berpakaian.” (HR. Malik dan Bukhari).

Sahabat Iyadh bin Hamar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Allah swt telah memberikan wahyu kepadaku agar supaya kamu sekalian bersifat lawadhu’ (merenda-hkan diri), sehingga di antara sesama manusia tidak ada lagi saling hina menghina serta saling membanggakan diri.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Allah swt berfirman, bahwa kemuliaan adalah pakaian milik-Nya dan sifat takabur adalah hiasan milik-Nya. Karena itu barangsiapa meminjam pakaian dan perhiasan Allah, maka akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).

Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Ada tiga orang yang kelak di hari kiamat Allah tidak akan berbicara dengannya, tidak akan memuliakannya, serta tidak akan memandangnya, dan bagi mereka siksa yang sangat menyakitkan. Mereka adalah orang tua yang berzina, pemimpin yang berkhianat, dan orang fakir yang takabur.” (HR. Muslim dan Nasai).

Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Ada empat orang yang sangat dibenci Allah. Yakni orang yang berjualan dengan menggunakan sumpah, orang fakir yang takabur, orang tua yang berzina, dan pemimpin yang curang.” (HR. Nasai dan Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya).

Imam Bukhari dan yang lain mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Orang yang memakai kain sarung atau celana di bawah betis (dengan maksud sombong), dia akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Bukhari dan yang lain mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Pada hari kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret pakaiannya karena pamer serta membanggakan diri.”Sahabat Ma’ Bin Abdurrahman menerangkan, bahwa ayahnya telah berkata: Aku pernah mengajukan pertanyaan kepada Abi Sa’id tentang kain sarung. Lalu dia berkata: Permasalahan tersebut sudah jelas. Sebab Rasulullah saw telah bersabda: “Kain sarung bagi seorang mukmin adalah di atas mata kaki. Dan tidak berdosa (boleh) mengenakan kain sarung hingga menyentuh mata kaki. Barangsiapa mengenakan kain sarung di bawah mata kaki, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena pamer serta membanggakan diri, maka kelak pada hari kiamat Allah tidak akan memperdulikan kepadanya.” (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).

Minggu, 26 April 2015

Agar Hati tidak Membatu dari nasehat

Segala puji bagi Allah, yang membentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya, teladan bagi segenap manusia, yang menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus menuju ampunan dan ridha-Nya. Amma ba’du.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (al-Fawa’id, hal. 95).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Sungguh celaka orang-orang yang berhati keras dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar: 22).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan,“Maksudnya, hati mereka tidak menjadi lunak dengan membaca Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang dengan berzikir kepada-Nya. Akan tetapi hati mereka itu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).

Ciri-Ciri Orang Berhati Keras

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena sakingkerasnya hatinya. Sehingga tatkala setan melontarkan bisikan-bisikannya dengan serta-merta hal itu dijadikan oleh mereka sebagai argumen untuk mempertahankan kebatilan mereka, mereka pun menggunakannya sebagai senjata untuk berdebat dan membangkang kepada Allah dan rasul-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 542)

Orang yang berhati keras itu tidak bisa memetik pelajaran dari nasehat-nasehat yang didengarnya, tidak bisa mengambil faedah dari ayat maupun peringatan-peringatan, tidak tertarik meskipun diberi motivasi dan dorongan, tidak merasa takut meskipun ditakut-takuti. Inilah salah satu bentuk hukuman terberat yang menimpa seorang hamba, yang mengakibatkan tidak ada petunjuk dan kebaikan yang disampaikan kepadanya kecuali justru memperburuk keadaannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225).

Orang yang memiliki hati semacam ini, tidaklah dia menambah kesungguhannya dalam menuntut ilmu melainkan hal itu semakin mengeraskan hatinya… Wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah darinya)… Maka sangat wajar, apabila sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhumengingatkan kita semua, “Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakekat ilmu itu adalah rasa takut.” Abdullah anak Imam Ahmad pernah bertanya kepada bapaknya, “Apakah Ma’ruf al-Kurkhi itu memiliki ilmu?!”. Imam Ahmad menjawab,“Wahai putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok ilmu!! Yaitu rasa takut kepada Allah.”(lihat Kaifa Tatahammasu, hal. 12).

Sebab Hati Menjadi Keras

Sebab utama hati menjadi keras adalah kemusyrikan. Oleh sebab itu Ibnu Juraijrahimahullah menafsirkan ‘orang-orang yang berhati keras’ dalam surat al-Hajj ayat 53 sebagai orang-orang musyrik (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/326]). Demikian pula orang-orang yang bersikeras meninggalkan perintah-perintah Allah dan orang-orang yang memutarbalikkan ayat-ayat Allah (baca: ahlul bid’ah); mereka menyelewengkan maksud ayat-ayat agar cocok dengan hawa nafsunya. Orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang berhati keras (lihatTaisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225). Selain itu,  faktor lain yang menyebabkan hati menjadi keras adalah berlebih-lebihan dalam makan, tidur, berbicara dan bergaul (lihat al-Fawa’id, hal. 95)

Lembut dan Kuatkan Hatimu!

Sudah semestinya seorang muslim -apalagi seorang penuntut ilmu!- berupaya untuk memelihara keadaan hatinya agar tidak menjadi hati yang keras membatu. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati seorang hamba akan menjadi sehat dan kuat apabila pemiliknya menempuh tiga tindakan:

Menjaga kekuatan hati. Kekuatan hati akan terjaga dengan iman dan wirid-wirid ketaatan.Melindunginya dari segala gangguan/bahaya. Perkara yang membahayakan itu adalah dosa, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan.Mengeluarkan zat-zat perusak yang mengendap di dalam dirinya. Yaitu dengan senantiasa melakukan taubat nasuha dan istighfar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya (lihat Ighatsat al-Lahfan

Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyahrahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, sholat, merenung, berintrospeksi diri dan memperbaiki hatinya.” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, hal. 13). Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib). Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berdzikir.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,“Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)

Langkah Selanjutnya?

Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk menjaga hati kita agar tidak keras dan membatu adalah dengan cara:

Beriman kepada Allah dan segala sesuatu yang harus kita imaniMentauhidkan-Nya, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-NyaMelaksanakan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-NyaMeninggalkan perbuatan dosa, maksiat dan penyimpanganBanyak mengingat Allah, ketika berada di keramaian maupun ketika bersendirianBanyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa kitaMenanamkan perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkannya dimana pun kita beradaMerenungi maksud ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamSelalu bermuhasabah/berintrospeksi diri untuk memperbaiki diri dan menjaga diri dari kesalahan yang pernah dilakukan di masa laluBergantung kepada Allah dan mendahulukan Allah di atas segala-galanya

Ya Allah, lunakkanlah hati kami dengan mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu…

Sabtu, 25 April 2015

Jangan Pamerkan Tubuhmu

Di antara nama-nama Allah yang indah dan mulia adalah ”Arrahmaan dan Arrahiim.” Dua nama ini mengandung pengertian bahwa Allah bersifat kasih dan sayang. Kasih dan sayang Allah meliputi seluruh alam secara umum, tak terkecuali kepada manusia secara khusus. Bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dengan menunjukkan jalan yang mengakibatkan mereka sengsara, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Agar jangan sampai seseorang menerobos dan terjebak melakukan perbuatan haram. Maka Islam menetapkan satu prinsip yang disebut dengan Bab Saddu Adz-Dzari’ah (Menutup Jalan/Celah)

Saddu berarti “menutup”, sedang “adz-dzariah” berarti “jalan.” Maka Saddu Adz-Dzari’ah berarti menutup jalan yang dapat mengantarkan orang kepada perbuatan haram. Saddu Adz-Dzari’ah artinya memutus peluang yang mendorong kepada dosa dan maksiat. Dalam istilah sehari-hari sering dikatakan, “Bila ingin tenang dan aman tutuplah pintu masuknya angin.”

Menurut penelitian faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual dan perzinaan adalah para wanita berbusana terbuka dan tidak menutup auratnya. Maka sudah jelas bagi kita bahwa fitnah besar yang melanda kaum Muslimin adalah fitnah wanita. Ujian yang paling besar yang dialami oleh kaum Muslimin pada saat ini adalah rusaknya akhlak para wanita. Wanita adalah tiang negara, baiknya wanita tegaknya Negara. Rusaknya wanita, runtuhnya Negara. Seorang penyair berkata,

Jika seorang tak mengenakan pakaian takwa

Maka nampaklah ia telanjang, walau berbusana

Manusia mulia sebab taat pada Tuhannya

Jatuh hina karena melanggar larangan-Nya

Karena kehancuran yang ditimbulkan oleh rusaknya wanita sangat dahsyat, maka Allah menutup jalan kehancuran tersebut dengan memerintahkan kepada mereka untuk berhijab (menutup aurat). Berhijab adalah usaha preventif untuk mencegah terjadinya berbagai penyelewengan. Hijab adalah jalan keselamatan. Allah berfirman,

(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا )[الأحزاب: 59]

“Hai nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

Pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada seluruh wanita beriman untuk memanjangkan jilbab dan menurunkannya agar menutup keindahan tubuhnya mulai dari rambut, wajah, dada, lengan dan perhiasan lainnya. Maka dengan jilbab mereka akan dikenal sebagai orang yang menjaga diri dan kehormatanya. Dengan jilbab mereka aman dan tidak diganggu, terhindar fitnah mencegah para lelaki untuk berbuat jahat.

Salah satu cara syetan dan iblis memperdaya manusia adalah memutarbalikkan kebenaran atau menyamarkannya. Salah satu contoh adalah menyamarkan hukum membuka aurat. Membuka aurat yang sebenarnya haram menjadi boleh atau lumrah atas dasar argumentasi menyesatkan, bahwa jilbab membuat wanita tidak bebas beraktivitas. Jilbab dinilai membelenggu ekspresi kaum wanita. Maka ketika wanita tidak menutup auratnya kita merasa bahwa itu bukan pelanggaran agama. Ketika ada di antara ibu, istri, anak, atau saudari kita yang tidak menutup aurat, hati kita tidak mengingkarinya. Bahkan kita mengatakan itu bukan dosa yang harus dijauhi. Hati kita sudah buta, jiwa kita sudah mati sehingga kita tidak lagi mengenal mana yang halal dan mana yang haram.

Oleh sebab itu wahai kaum Muslimin, takutlah kepada Allah! Marilah kita membimbing para wanita yang menjadi tanggung jawab kita. Kita cegah mereka untuk membuka aurat. Perintahkan kepada mereka untuk menjaga kehormatannya! Kita ajak mereka untuk berhijab untuk menutup aurat mereka. Jika tidak maka murka dan siksa Allah akan meninpa kita semua.

di antara sebab Allah melaknat Bani Israil melalui lisan nabi Daud dan Isa alaihissalam adalah diamnya mereka terhadap kemungkaran. Mereka bersikap masa bodoh terhadap pelanggaran yang dilakukan bahkan mereka tidak mencegah orang yang berbuat kemungkaran. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 78-79,

(لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ78 كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ) [المائدة: 78-79]

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)

di dalam Al-Musnad diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah membaca ayat di atas dan bersabda,

(وَالَّذِي نَفْسُي بِيدَهُ لِتَأَمَّرْنَ بِالْمَعْرُوفِ ، ولتنهون عَنْ الْمُنْكِرِ ، ولتأخذن عَلَى أَيَدِي السَّفِيهَ ، ولتأطرنه عَلَى الْحُقِّ أَطَّرَا أَوَلََيَضْرِبْنَ اللهَ بِقُلُوبِ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضُ ثَمَّ يُلَعِّنُكُمْ كَمَا لَعَنْهُمْ.”

“Demi zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Hendaklah kalian mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, bimbinglah orang-orang yang lemah akalnya, hubungkanlah ia dengan kebenaran atau Allah akan mencerai beraikan hati kalian kemudian kalian akan saling mengutuk di antara kalian.” (HR. Ahmad)

Untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita, Allah memerintahkan mereka berhijab dan tetap tinggal di dalam rumah. Allah melarang mereka berhias, bersolek dan melembutkan suaranya di depan para lelaki. Aturan ini dimaksudkan untuk mencegah pelecehan terhadap wanita dan menghindarkan mereka dari bahaya. Allah berfirman,

(يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا )[الأحزاب: 32]

“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[lembut] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al-Ahzab: 32)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan hal-hal yang penting yaitu:

Larangan Allah kepada ummahatul mukminin, istri-istri nabi yang mulia dan suci, agar tidak bersikap lemah lembut dalam berbicara kepada laki-laki non muhrim. Tujuannya untuk mencegah orang yang bermaksud buruk terhadap mereka dan menutup peluang orang berpikiran kotor agar tidak menyangka bahwa mereka setuju untuk melakukan zina.

Perintah Allah kepada mereka untuk selalu berada di dalam rumah. Dan melarang mereka bersolek dan berhias seperti berhiasnya orang jahiliyah. Yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan tubuhnya seperti kepala, leher, dada, lengan, betis dan lain-lain. Semua itu dapat menggerakkan birahi dan keinginan berbuat zina.

Jika kita merenungi larangan dan perintah Allah di atas, kita mendapati bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup rapat-rapat pintu yang mengarah kepada perzinaan. Dalam ayat di atas Allah melarang kepada istri-istri nabi yang walaupun sangat kecil kemungkinan selingkuh, sebab mereka adalah para wanita mulia dan berhati suci. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah karena mereka dibimbing langsung oleh Rasulullah.

Kalau para istri nabi dengan keimanannya yang tinggi dan kesucian hatinya yang murni Allah memberikan aturan yang jelas dan tegas kepada mereka. Apalagi terhadap wanita selain mereka yang tidak ada jaminan dan bimbingan yang kuat? Maka hukum dan aturan itu berlaku lebih utama. Dari sinilah kita mengetahui bahwa arahan hukum yang ada dalam ayat ini berlaku bagi seluruh kaum mukminat bukan hanya bagi istri-istri nabi.

Akhir-akhir ini, ada fenomena menggembirakan berkaitan dengan semangat masyarkat untuk menutup aurat. Kita bisa melihat di sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan tempat-tempat umum banyak kita melihat orang memakai jilbab. Tapi sayang, kadang semangat menutup aurat ini tidak disertai dengan ilmu, sehingga walaupun mereka sudah memakai jilbab tetapi tujuan utama dari menutup aurat itu tidak tercapai. Oleh sebab itu, berikut ini disampaikan kreteria hijab yang disyariatkan oleh agama Islam:

Pakaian yang menutup seluruh badan wanita. Ketentuan ini dijelaskan oleh Allah dalam ayat-Nya,

(يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ) (الأحزاب:۵٩(

“Hendaklah para wanita menurunkan jilbab-jilbab mereka.”

Jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Makna menurunkan menjulurkan pakaian ke bawah hingga menutup seluruh badan.

Jangan berpakaian untuk dijadikan perhiasan dirinya sendiri dengan adanya warna warni, motif dan aneka hiasan yang menarik pandangan laki-laki. Allah berfirman,

(وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ( (النور:٣١)

“Dan janganlah para wanita menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya.”

Bahan dari pakaian wanita itu agak tebal dan tidak trasparan agar pandangan tidak tembus sampai terlihat kulitnya. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Dua kelompok penghuni neraka yang tak pernah aku lihat, satu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi dengannya ia memukul orang, yang kedua para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong, meraka tidak akan masuk sorga dan tidak akan mencium wanginya. Sungguh wangi surga dapat tercium dari jarak sekian tahun (seribu tahun)”

Pakaian wanita tersebut harus longgar tidak ketat agar bentuk lekuk tubuhnya tidak nampak. Untuk menghindarkan wanita dari fitnah, maka tujuan itu takkan tercapai kecuali dengan memakai pakaian yang longgar. Usamah bin zaid meriwayatkan, dari Abdullah bin Usamah bin Zaid, ia berkata, Rasulullah memberiku pakaian mesir yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalby, lalu aku berikan kepada istriku. Maka Rasulullah bertanya: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian mesir yang aku berikan? Aku menjawab: “Baju itu kuberikan kepada istriku”, maka Rasulullah berkata, “Suruhlah istrimu untuk melonggarkannya, saya khawatir baju itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya.”

Jangan berpakaian dengan memakai minyak wangi. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits yang melarang wanita keluar rumah dengan memakai minyak wangi. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ada seorang wanita lewat dengan bau yang semerbak. Lalu Abu Hurairah bertanya, “Wahai hamba Allah! Apakah kamu mau ke masjid?”, “Ya” jawab wanita tersebut. Apakah untuk itu kamu memakai minyak wangi? “Ya” jawabnya. Abu Hurairah berkata, “Pulang dan mandilah! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa saja wanita yang keluar ke masjid dengan memakai minyak wangi dan baunya tercium oleh orang lain maka Allah tidak akan menerima shalatnya sehingga ia pulang dan mandi.”

Pakaian tersebut tidak boleh menyerupai pakaian lelaki. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah melaknat laki-laki yang berpakaian dengan pakian wanita, dan wanita yang berpakaian dengan pakaian laki-laki.

Pakaian seorang Muslimah tidak boleh menyerupai pakaian wanita kafir. Sebab telah menjadi ketetapan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi kaum Muslimin baik laki maupun wanita meniru atau menyerupai orang-orang kafir, apakah dalam ibadah, hari raya, atau pakaian khusus mereka. Maka tidak dibenarkan bagi wanita Muslimah memakai pakaian model pakaian orang kafir baik itu baju, celana, rok atau apa saja yang menjadi ciri khas mereka.

Pakaian tersebut bukan pakaian “syuhroh” yaitu pakaian yang bentuknya aneh, menyolok, berbeda dari pakaian kebanyakan orang dan menyebabkannya menjadi terkenal. Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda, “Siapa yang memakai pakaian syuhroh (dengan maksud terkenal) di dunia maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan di hari kiamat kemudian ia akan dibakar di dalam neraka.”

Setelah kita mengetahui kreteria hijab di dalam syariat Islam, kewajiban kita berikutnya adalah mengajari dan mengawasi anak istri dan saudari-saudari kita agar jangan sampai melanggar ketentuan syariat dalam berpakaian. Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6,

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا) )التحريم:۶)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Awal mula perzinaan adalah pandangan mata, dari mata turun ke hati, diolah pikiran, dan nafsu syahwat menjadi pendorong untuk melakukan pertemuan, lalu terjadilah perzinaan. Maka faktor awal yang mendorong terjadinya fitnah antara laki dan wanita adalah pandangan yang tidak terkendali. Untuk menghindari perangkap syetan tersebut adalah dengan menahan pandangan. Allah berfirman,

(وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ )س[النور: 31]

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Ayat ini menjelaskan bahwa menahan pandangan dan menjaga kemaluan adalah cara menjaga kesucian hati bagi kaum mukminin di dunia dan akhirat. Sebaliknya, melepaskan pandangan dan kemaluan bukan pada tempatnya adalah penyebab bencana siksa di dunia maupun di akhirat. Kita memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah dari hal yang demikian itu.

باَرَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى القُرآنِ الكَرِيْم، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا ِفيْهِ مِنْ الآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْم، أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْم لِي وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Rabu, 22 April 2015

Celakalah orang yang membaca ayat ini namun tidak memikirkannya

Setelah membacakan ayat ini kepada Bilal bin Rabah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang membaca ayat-ayat ini, lalu ia tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya.” Ayat inilah yang membuat Nabi menangis semalam suntuk dalam Tahajjudnya.

Dikisahkan oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar, malam itu adalah gilirannya. Rasulullah sudah berada di rumahnya. Dan sudah berada di tempat tidur. Berdua. Bunda ‘Aisyah mengatakan, “Kulitnya sudah menyentuh dengan kulitku.”

Tak lama setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berpamit, beliau hendak mendirikan Shalat Malam. Duhai, betapa mulianya akhlak beliau? Bahkan untuk ‘sekadar’ mendirikan ibadah unggulan berupa Shalat Malam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meminta izin kepada istrinya. Lantas, bagaimana dengan kita sebagai suami yang sering pergi tanpa berita dan pulang seenaknya sendiri?

Atas pamitan Sang Nabi, anak Abu Bakar ash-Shiddiq ini menjawab, “Aku suka berdekatan denganmu. Tapi, aku pun suka jika kau beribadah kepada Rabb semesta alam.” Duhai, bukankah ini kalimat yang amat mesra dan romantis? Sebuah kalimat mulia yang timbul lantaran cinta yang besar dan agung kepada Allah Ta’ala.

Maka Nabi pun menuju tempat wudhu, mengambilnya dengan sempurna, lalu mendirikan Shalat Malam dengan berdiri dan bacaan yang amat panjang. Hingga disebutkan, “Kaki beliau bengkak karenanya.”

Dalam shalatnya itu, Nabi menangis hingga ‘Aisyah melihat tetesan air mata suaminya itu. Terus menangis dalam berdiri, hingga duduk, dan memanjatkan doa. Kata ‘Aisyah, “Aku melihat air matanya jatuh sampai di tenggorokannya.”

Selesai munajat dalam berdiri, rukuk, duduk, dan  sujud, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun berbaring menunggu Subuh yang tak lama lagi akan menyapa. Rupanya, dalam berbaringnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masih menangis.

Masuk waktu Subuh. Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan. Seusainya, ia berkata kepada kekasihnya itu, “Shalat, ya Rasulullah…” Sahabat yang terjamin surga meski bekas budak ini pun melihat Nabi meneteskan air mata. Maka, ia bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau meneteskan air mata? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni semua dosa yang telah maupun belum engkau kerjakan.”

“Wahai Bilal, tidak bolekah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” demikian jawaban Nabi. Lalu beliau berkata, “Bagaimana aku tidak menangis? Malam ini Allah Ta’ala menurunkan ayat ini kepadaku,

 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ (190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190-191)

Setelah itu, beliau bersabada, “Celakalah bagi orang yang membaca ayat-ayat ini, lalu ia tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya.”

Senin, 20 April 2015

Ciri Pemimpin yang melayani

Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam (intrapersonal) dan kemudian bergerak ke luar (antarpersonal) untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Ketika seorang pemimpin mampu mendengar aspirasi dan melayani masyarakatnya, tentu ia akan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Tetapi sayangnya, pemimpin yang mengaku wakil rakyat justru sering tidak memiliki integritas dan loyalitas terhadap rakyat yang dipimpinnya. 

Oleh karena itu, dalam Islam, kepemimpinan tidak hanya bermakna kekuasaan tetapi juga bermakna tanggung jawab dan melayani. Ketika kepemimpinan dimaknai kekuasaan, Allah mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah.

Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, "Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali Imran [3]: 26).

Ayat ini mengingatkan bahwa kekuasaan itu bersifat sementara. Oleh karena itu, ketika seseorang memegang kekuasaan, semestinya ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya, tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan diri kepada Allah.

Sehingga, dia akan mampu melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatannya sebaik mungkin untuk kepentingan masyarakat luas. Pemimpin juga harus menjadi abdi masyarakat, melayani, dan menjadi mediator untuk kepentingan masyarakat luas. 

Pemimpin yang senang melayani akan memberikan pelayanan pada bawahannya dan membantu mereka untuk melangkah ke depan. Ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah. Aisyah RA berkata, "Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku ini, Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (HR  Muslim).

Kepemimpinan Nabi yang melayani ini telah menancapkan keimanan dalam hati Adin bin Hatim. Dia berjalan bersama Rasulullah menuju rumah. Di tengah jalan ada seorang wanita lemah dan tua berjumpa dengan Rasulullah. Wanita tua itu berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, aku ingin berbicara denganmu!” Adi berkata, Rasulullah berdiri lama menunggu wanita itu. Kala itulah aku katakan, "Demi Allah, ini pasti bukan seorang raja!"

Seperti kisah di atas, pemimpin yang melayani memiliki kasih sayang, kepedulian, dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih sayang itu terwujud dalam bentuk pemenuhan kebutuhan, kepentingan, impian, dan harapan mereka yang dipimpinnya.

Muslimin --- republika.co.id

8 Manfaat Semut Jepang bagi Kesehatan

Semut, serangga yang satu ini sangat mudah kita temui di berbagai tempat. Bahkan ungkapan ‘Ada gula, ada semut’ kini tidak lagi berlaku karena tidak hanya gula yang didatangi semut. Tetapi hampir semua makanan atau juga benda sering didatangi semut. Mengapa semut Jepang sangat populer saat ini ? Hal ini karena manfaat semut jepang dipercaya dapat mengobati berbagai jenis penyakit.

Di Indonesia sendiri, banyak orang dewasa mengatakan semut dapat dimakan karena memiliki manfaat khusus. Teori untuk hal ini memang belum banyak yang dapat menjelaskan secaradetail. Berbeda dengan teori mengenai semut Jepang atau Japanese Ant.

Semut Jepang

Semut Jepang yang memiliki sebutan ‘Ari’ oleh masyarakat jepang ternyata dipercaya memliki banyak manfaat bagi tubuh manusia. Semut Jepang sendiri digolongkan sebagai serangga yang setia bagi masyarakat Jepang karena kesetiaan mereka terhadap teman satu kelompok. Bagaimana dengan semut Jepang? Apakah semut yang satu ini juga memiliki manfaat khusus? Nah, semut Jepang memang memiliki banyak manfaat dan semut ini juga sudah banyak diperjual – belikan.

Semut Jepang sebenarnya memiliki lebih dari 150 jenis di antaranya ‘Pachyondyla Pilosior’, ‘Losius Talpa’, ‘Polyergus Samurai’, ‘Stenamma Owatoni’, dan masih banyak lagi. Tetapi dari sekian ratus jenis semut Jepang, ciri – ciri mereka bisa dibilang serupa dan sangatlah mirip.

Semut Jepang Untuk Kesehatan dan Penyakit

Masyarakat jepang sendiri sudah sangat hafal dengan banyaknya manfaat semut Jepang sehingga mereka sering menjualnya sebagai oleh – oleh dari negeri sakura tersebut yang ditawarkan ke paada para wisatawan. Mengenai manfaatnya, semut Jepang memang mengandung beberapa zat enzim yang dapat membantu menyembuhkan atau juga mengobati penyakit. Manfaat – manfaat dari semut Jepang di antaranya:

1. Mengatur kadar kolesterol

Kolesterol memang dibutuhkan oleh tubuh kita tetapi tidak sedikit dari kita yang mengkonsumsi kolesterol terlalu berlebihan. Seperti mengkonsumsi makanan – makanan bersantan ataupun makanan laut. Semut Jepang dapat membantu mengaturnya baik bagi penderita kolesterol tinggi maupun normal.

2. Meringankan penyakit jantung

Semut Jepang juga dipercaya dapat mengobati penyakit jantung. Penyakita yang dapat menyerang berbagai usia ini memang penyakit yang menyeramkan karena dapat menghilangkan nyawa seseorang secara tiba-tiba.

3. Meringankan Diabetes

Semut memang senang sekali dengan gula tetapi semut Jepang diyakini dapat membantu mengatur jumlah gula dalam tubuuh kita khususnya bagi penderita penyakit gula alias Diabetes. Mereka akan menghilankan gula dalam darah yang berelebihan.

4. Mengatur tekanan darah

Manfaat lainnya adalah mengatur tekanan darah dalam tubuh. Zat enzim dalam semut Jepang akan membantu mengatur tekanan darah seperti tekanan darah tinggi yang akan berlanjut ke penyakit lainnya.

5. Memberi tambahan visalitas

Untuk anda yang memiliki aktifitas yang padat misalnya membutuhkan energi ekstra dalam berkegiatan rutin, semut jepang dapat menjadi vitamin dalam tubuh yang menambah vitalitas baik pria ataupun wanita. Sehingga akan menambah stamina dan kekuatan dalam tubuh.

6. Meringankan penyakit hati

Penderita penyakit hati seperti liver juga dapat mengkonsumsi semut Jepang sebagai obat. Semut Jepang dipercaya dapat meringankan penyakit hati atau setidaknya tidak membuat penyakit hati kambuh lebih sering.

7. Mengatasi penyakit asam urat

Orang dewasa banyak sekali yang mengalami penyakit asam urat seiring bertambahnya usia. Asam urat disebabkan oleh berbagai faktor dan yang paling dominan adalah karena pola hidup. Semut Jepang akan mengatasi penyakit yang satu ini juga dan membuat penderitanya akan jarang merasa sakit di bagian sendi yang terkena asam urat.

8. Membantu mengobati Stroke

Semut Jepang juga memiliki manfaat untuk membantu mengobati penyakit Stroke. Tentunya tergantung dengan tingkat keseriusan penyakit Stroke sendiri. Bila Stroke telah masuk ke dalam tingkatan tinggi, bisa saja semut Jepang tidak dapat mengobati hanya meringankan.

Dari kedelapan manfaat – manfaat semut Jepang, memang lebih baik melakukan pemeriksaan terlebih dahulu ke pada dokter mengenai penyakit yang diderita. Karena semut Jepang yang memang sudah banyak dijual hanya sebagai obat alternatif yang dapat anda coba. Tidak hanya itu semut Jepang juga bisa dikatakan menjadi obat anti kimia karena zat enzim yang alami.

Efek Samping Semut Jepang

Efek sampingnya sampai saat ini belum pernah ada yang menjelaskan tetapi kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan bisa saja terjadi. Dan yang paling penting adalah bagaimana kondisi tubuh kita masing – masing.

Dimana Mendapatkan Semut Jepang

Kemudian, bagaimana cara mendapatkan semut Jepang ? Untuk mendapatkan semut Jepang anda dapat membelinya di para peternak semut Jepang. Tidak sedikit dari mereka yang juga menjualnya dalam dunia maya atau secara online. Ada yang menjualnya berupa semut, ada juga yang menjualnya sudah berupa obat. Rata – rata berupa obat kapsul yang murni berisi satu semut Jepang.

Bagaimana Konsumsi Semut Jepang ?

Untuk bentuk ini tentu mudah dikonsumsi dengan cara meminumnya layaknya obat kapsul lain dengan takaran khusus sesuai tujuan memakan semt Jepang.

Untuk Stroke

Misalnya untuk mengobati penyakit Stroke, penderita penyakit ini dapat meminum kapsul sebanyak tiga kali dengan isi semut masing – masing kapsul 2 sampai 3 ekor.

Untuk Diabetes

Untuk penyakit Diabetes dapat meminum kapsul sebanyak dua kali sehari dengan jumlah semut 2 sampai 3 ekor.

Untuk Vitalitas

Sementara itu untuk penambah vitalitas cukup dua kapsul di pagi dan malam hari dengan isi semut 1 sampai 2 ekor.

Cara Konsumsi Semut Jepang

Cara mengkonsumsi lainnya dapat menggunakan bantuan media makanan lain. Contohnya menggunakan buah seperti pisang atau juga pepaya.

Cara 1.

Masukan semut ke tengah-tengah buah kemudian kunyah bersama buah tersebut agar rasa semut tidak begitu terasa. Cara konsumsi yang satu ini bisa dipakai bila anda tidak ingin menggunakan kapsul yang terbuat dari rumput laut. Pastinya semut lebih cepat hancur karena telah dikunyah terlebih dahulu dimulut.

Cara 2.

Ada cara yang lain untuk mengkonsumsi semut Jepang. Cara tersebut adalah dengan menyeduh semut Jepang dengan air hangat. Biarkan beberapa menit sampai air menjadi lebih dingin. Tetapi cara yang ini akan sangat terasa bahwa anda sedang menelan beberapa semut ke perut anda.

Kesimpulannya, Manfaat semut Jepang memang dipercaya dapat membantu mengobati beberapa penyakit. Sesuai asalnya, semut Jepang hidup di iklim Jepang yaang berbeda dengan iklim Indonesia. Tetapi kembali lagi kesehatan ada di tangan anda sendiri. Lebih baik mencegah bukan dari pada mengobati? Sedikit saran, anda lebih baik berkonsultasi terlebih dahulu ke pada dokter atau orang yang ahli apakah tubuh anda cocok untuk mengkonsumsi semut Jepang.

Minggu, 19 April 2015

Bacaan Doa duduk antara dua Sujud


Bacaan duduk antara dua sujud, ternyata tidak hanya satu versi. Jadi sobat fiqih semua, bisa memilih membaca salah satu versi yang mana saja. Jangan jadi pertentangan karena hanya beda sedikit dari bacaan duduk antara dua sujud.

Kita harus ingat akan hukum asal membaca bacaan duduk antara dua sujud. Hukumnya sunat, jadi jika sobat semua melakukan duduk antara dua sujud tanpa disertai membaca doa atau bacaan duduk antara dua sujud alias diam membisu, maka shalatnya tetap sah. Mengapa ? Karena membaca bacaan duduk antara dua sujud bukan termasuk rukun shalat. Yang termasuk rukun shalat adalah duduknya, bukan bacaannya.



Berikut ini beberapa bacaan duduk antara dua sujud yang Saya ambil dari kitab-kitab hadits :


اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
"ALLAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WA'AAFINII WAHDINII WARZUQNII"
Ya Allah anugerahkanlah untukku ampunan, rahmat, kesejahteraan, petunjuk dan rizki
(Sunan Abu Daud : 724)

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII
Ya Allah ampunila aku, kasihanilah aku, cukupkanlah aku, berilah aku hidayah dan berilah aku rizqi
(Sunan Tirmidzi : 262)

رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي
RABBIGHFIRLII RABBIGHFIRLIIWahai Rabbku ampunilah aku, wahai Rabbku ampunilah aku.
(Sunan Nasai : 1133)

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْزُقْنِي وَارْفَعْنِي
"RABBIGHFIRLII, WARHAMNII, WAJBURNII, WARZUQNII, WARFA'NII"
Wahai Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keraguanku, limpahkanlah rizkiku dan angkatlah derajatku
(Sunan Ibnu Majah : 888)

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي

'RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAR FA'NII WARZUQNII WAHDINII'

Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, angkatlah (derajat) ku, anugerahilah aku rezeki dan tunjukilah aku

(Sunan Ahmad : 2745)



رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي
RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARFA'NII WARZUQNII WAHDINII
Ya Rabbku, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rizki dan berilah aku petunjuk
(Sunan Ahmad : 3334)

رَبِّ اغْفِرْ لِي
RABBIGHFIRLII
Ya Allah, ampunilah aku
(Sunan Darimi : 1290)

Hikmah doa tak terkabul

ADA seseorang yang rajin berdoa, meminta sesuatu kepada Allah. Orangnya begitu sholeh dan ibadahnya pun baik. Tetapi do’a yang dipanjatkannya tak kunjung terkabul.

Sebulan menunggu masih belum terkabul juga. Tetap dia berdoa. Tiga bulan berlalu juga belum terkabul. Tetap dia meneruskan do’anya. Hingga hampir satu tahun doa yang ia panjatkan, belum terkabul juga.

Dia melihat teman kantornya. Orangnya biasa saja. Tak istimewa. Sholat masih bolong-bolong. Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu, bohong sana-sini. Tapi anehnya, apa yang dia doakan, semuanya dipenuhi.

Orang sholeh ini pun heran. Akhirnya, dia pun mendatangi seorang ustadz. Berceritalah dia mengenai permasalahan yang sedang dihadapi. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang bandel, malah mendapat apa yang dia inginkan.

Tersenyumlah ustadz ini. Bertanyalah sang ustadz ke orang shalih ini, “Kalau Anda lagi duduk di warung, kemudian datang pengamen, tampilannya urakan, maen musiknya gak benar, suaranya fals, bagaimana?”

Orang sholeh tadi menjawab, “Segera saya kasih Pak Ustadz, gak tahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula.”

“Kalau pengamennya yang dateng rapi, main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana?” tanya sang ustadz lagi.

Orang shalih pun segera menjawab, “Wah, kalo gitu, saya dengerin, Ustadz. Saya biarin dia nyanyi sampai habis. Lama pun nggak masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi. Nyanyi sampai sealbum pun saya rela. Kalau pengamen tadi saya kasih 500 rupiah, yang ini 50.000 rupiah juga berani, Ustadz.”

Pak ustadz pun tersenyum dan menjelaskan “Begitulah Nak… Allah ketika melihat engkau, yang sholeh, datang menghadap-Nya, Allah betahndengerin doamu. Melihat kamu. Dan Allah pengen sering ketemu kamu dalam waktu yang lama. Buat Allah, ngasih apa yang kamu mau itu gampang betul. Tapi Dia ingin menahan kamu biar khusyuk, biar deket sama Dia. Coba bayangin, kalo doamu cepet dikabulin, apa kamu bakal sedekat ini? Dan di penghujung nanti, apa yang kamu dapatkan kemungkinan besar jauh lebih besar daripada apa yang kamu minta.”

“Beda sama temenmu itu. Allah gak mau kayaknya, dia deket-deket sama Allah. Udah dibiarin biar bergelimang dosa aja dia ini. Makanya Allah buru-buru kasih aja. Udah. Jatahnya ya segitu doang. Gaknambah lagi,” lanjut sang ustadz.

“Dan yakinlah,” kata sang ustadz, “kalaupun apa yang kamu minta ternyata gak Allah kasih sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat, Nak. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surga buat kita. Nggak bakal ngerasa kurang kita di situ.”

Tersadarlah orang tadi. Ia pun beristighfar, sudah berprasangka buruk kepada Allah. Padahal Allah betul-betul sangat menyayanginya. 

Jumat, 17 April 2015

Pemimpin adalah Pelayan bagi anak buahnya



FOTO DI ATAS bukan tukang semir sepatu berdasi. Melainkan para pemimpin dan manajer perusahaan yang mencoba menurunkan ego diri mereka dengan menyemir sepatu anak buahnya.

Dahulu pernah juga membaca kisah salah satu Syeikhul Azhar (kalau tidak salah syeikh Sya’rawi) yang membersihkan toilet mesjid setelah beliau selesai mengisi materi di hadapan para hadirin, karena sewaktu berceramah beliau merasa lebih baik, lebih alim dan lebih soleh dari para hadirin.

Cerita yang serupa pernah juga saya dengar ketika di India, bahwa para maulana Jemaah Tabligh sering terlihat membersihkan toilet mesjid saat tengah malam sebelum melaksanakan tahajud. Itu dilakukan demi mencapai kerendahan hati dan menghancurkan rasa sombong serta perasaan lebih baik dari orang lain.

Belum lagi cerita para Khulafaurrasyidin, seperti Umarain, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz yang tidak mau makan sebelum rakyat nya makan. Yang memikul bahan makanan untuk dibawa kepada rakyat di pinggiran kota. Yang menyuapi sendiri wanita tua dan buta. Yang diam saja menghadapi cerewet istrinya padahal ia sanggup menikah lagi dan mengumpulkan hareem (budak wanita) sebanyak-banyaknya. Yang tidak mau tidur sebelum rakyatnya tidur dengan perut kenyang dan rasa aman.
Menjadi pelayan orang lain ketika berada di posisi yang lebih tinggi adalah bentuk penguasaan diri yang sangat matang dan bijaksana. Seorang ayah yang rela mencuci piring di dapur agar istrinya lebih ringan pekerjaannya, atau memakaikan pakaian anak nya di pagi hari saat istrinya berjibaku dengan membuat sarapan. Atau bahkan mencuci baju yang belum sempat tersentuh oleh istri nya, adalah kematangan berpikir, kedewasaan sikap, EQ yang tinggi dan mental yang excellent dari seorang lelaki yang memimpin keluarga.

Karena pemimpin yang baik sesungguhnya adalah pelayan para bawahannya, dan pemimpin yang buruk adalah yang merasa menjadi dewa bawahannya.

Rabu, 15 April 2015

Shalat Dhuha berpahala Umrah

Shalat dhuha memiliki banyak keutamaan. Salah satu keutamaan istimewa shalat dhuha adalah mendapatkan pahala seperti pahala umrah. Tentu, karena pahalanya besar, ada cara khusus mengerjakannya. Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya, ada dua cara agar shalat dhuha berpahala umrah.

Cara pertama, shalat dhuha yang menjadi satu paket dengan shalat Subuh berjamaah dan dzikir hingga masuk waktu dhuha lalu ditutup dengan shalat dua rakaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

“Barangsiapa mengerjakan shalat Subuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumrah secara sempurna.” (HR. Thabrani; shahih lighairihi)

Cara kedua, setelah shalat Subuh boleh pulang lagi ke rumah, tetapi di waktu dhuha ia mengerjakan shalat Dhuha di masjid.

مَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ ‏يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ

‎”Barangsiapa keluar rumah untuk melakukan shalat Dhuha, dan tidak ada yang ‎menyebabkannya keluar kecuali untuk shalat Dhuha, maka ‎pahalanya seperti pahala orang yang umrah” ‎(HR. Abu Dawud; hasan)

Mungkin ada yang bertanya, bukankah shalat sunnah lebih utama dikerjakan di rumah? Ya, memang secara umum shalat sunnah lebih utama dikerjakan di rumah. Namun dalam hal ini, shalat dhuha yang berpahala umrah secara khusus disebutkan di masjid. Meskipun, dikerjakan di rumah pun tetap sah dan berpahala.

Tentang keutamaan shalat dhuha di masjid, hadits lain menjelaskan bahwa ketika para sahabat membicarakan ghanimah, mereka dianjurkan shalat dhuha di masjid karena itu lebih besar nilainya daripada ghanimah yang mereka bicarakan.

مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ غَدَا إِلىَ الْمَسْجِدِ لِسَبْحَةِ الضُّحىَ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزىً وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً

“Barangsiapa berwudhu kemudian pergi pada waktu pagi ke masjid untuk melaksanakan shalat dhuha, maka hal itu adalah peperangan yang paling dekat, ghanimah yang paling banyak, dan kembalinya lebih cepat” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan shahih).

Wallahu a’lam bish shawab.