MasyaAllah, Inilah Keajaiban Sedekah Subuh yang Belum Banyak Diketahui Orang
Sedekah merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh umat muslim. Karena di dalam rezeki kita terdapat hak orang lain yang harus diinfakkan atau disedekahkan. Apalagi kalau kita sedekah subuh, banyak keistimewaan yang akan kita terima.
Jika anda tahu keistimewaan sedekah subuh, dijamin anda tidak akan menyia-nyiakan waktu berharga tersebut selain untuk ibadah. Harta yang disedekahkan sejatinya tidak akan berkurang, justru Allah yang akan menganugerahkan kepada orang tersebut kemuliaan.
"Bersedekah pada saat subuh didoakan malaikat. Doa malaikat: Ya Allah berikanlah pengganti yang berkah pada hambamu yang berinfak" (Hadits Riwayat Bukhari).
Biasakan sedekah subuh walaupun itu cuman seribu, dua ribu atau lima ribu tapi lakukan dengan rutin karena disitu dapat doa malaikat, bukan hanya saja doa malaikat tetapi doa Nabi Muhammad SAW.
Insha Allah amalan ini akan membantu kita menyelesaikan masalah-masalah yang kita alami, jadi usahakan sedekah subuh walaupun sedikit-sedikit tapi rutin karena Allah mencintai amalan yang istiqomah.
Keistimewaan sedekah subuh yang belum banyak diketahui orang.
Keistimewaan sedekah subuh memang tidak bisa dielakkan. Sebab pada setiap pagi Allah SWT mengutus 2 orang malaikatnya untuk turun ke bumi. Dua orang malaikat tersebut membawa misi khusus dari Allah yakni mendoakan para hamba Allah supaya melimpah rejekinya maupun sebaliknya.
Doa dari kedua malaikat tersebut termaktub dalam sebuah hadits Rasululloh SAW: Abu Hurairah Ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika seorang hamba berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu salah satu berkata, ‘Ya Allah…berikan pahala kepada orang yang selalu menginfakkan hartanya, kemudian malaikat yang satu berkata…Ya Allah binasakanlah orang yang bakhil…” (HR. Muttafaq Alaih)
Imam Muslim berdasarkan syarahnya mengemukakan bahwa berinfak yang dimaksud di sini adalah memberikan hartanya atau melakukan sedekah subuh karena ketaatan kepada Allah semata, bukan sebaliknya. Sedang orang yang menerima bisa dari kerabat, keluarga serta tetangga yang memerlukan.
Sedekah subuh itu cakupannya sangat luas yakni meliputi: ilmu pengetahuan, gagasan dan materi. Sebagian dari ulama yang terdahulu ada yang sanggup menyatukan ketiganya. Dermawan, kaya raya, berbagi ilmu pengetahuan dan mengajar. Para ulama tidak hanya menginfakkan hartanya untuk fakir miskin, namun juga memberikan penyuluhan agama dan mengentaskan kemiskinan.
Tidak heran bila kemudian para ulama senantiasa bahagia dan merasa damai selama hidupnya. Sebab mereka sangat gemar membahagiakan orang lain. Pernyataan ini sebagaimana yang disampaikan Baginda SAW yang artinya:
“Allah SWT senantiasa bersama hamba-Nya, selagi hamba itu selalu membantu sesamanya”.
Mengaplikasikan keutamaan sedekah subuh adalah budaya para ulama serta pengusaha muslim ketika pagi hari. Tidak hanya dengan berbagi namun juga mengawali aktifitasnya dengan shalat dhuha yang hanya karena Allah semata, bukan ingin memperoleh balasan. Inilah yang disebut ikhlas karena Allah.
Kapan kita harus memulai mengaplikasikan keistimewaan sedekah subuh?
Sedekah subuh memang memiliki keutamaan yang luar biasa, meskipun banyak orang yang belum mengaplikasikannya. Keistimewaan sedekah subuh maupun di waktu yang lain bisa kita lakukan ketika kita memiliki kelebihan harta. Karena itu, ketika sedang diberikan harta yang berlebih sebaiknya kita menyimpan seperlunya untuk diri sendiri, kemudian berbagi berbagi dengan orang terdekat.
Hal ini sebagaimana hadits: Dari Abu Umamah Ra., Nabi SAW bersabda:
“Wahai anak Adam, seandainya engkau berikan kelebihan hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah tercela, dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Muslim).
Lantas kapan kita harus memulai sedekah subuh?
Jika kita ingin bersedekah maka waktu yang dekat adalah ketika masih sehat serta kita memiliki kelebihan harta. Jangan sampai kita menyesal karena mengulur-ngulurnya hingga maut menjeput, karena hal tersebut hanyalah sia-sia belaka.
Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Ra, ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi SAW.,
“Ya Rasululloh, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?”
Rasululloh SAW. bersabda,
"Bersedekahlah pada waktu sehat, takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya, sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, “Harta ini untuk Si Fulan sekian, dan untuk Si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik Si Fulan (ahli waris).” (HR. Bukhari-Muslim).
Kalau manusia bekerja ada yang namanya shift, ternyata malaikat juga punya shift. Kapan mereka pergantian shift? Malaikat yang bertugas malam dan malaikat yang bertugas pagi bertemu di saat salat subuh. Jadi malaikat saat salat subuh itu hadir, malaikat malam sama malaikat pagi yang baru turun ikut salat subuh. Malaikat malam selesai salat subuh baru naik bawa laporan malam.
Oleh karena itu, rohani dan batin kita terasa lebih nikmat ketika salat subuh. Makanya kalau shalat subuh yang jadi imam baca Al-Qur'an nya agak panjang lagi biar kita bisa lebih nikmat.
Demikian ulasan tentang sedekah subuh. Banyak keistimewaan yang akan kita peroleh. Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada kekurangan.
Sabtu, 15 Desember 2018
Selasa, 13 November 2018
Ajining diri soko lathi
Ajining diri soko lathi ---> ini diartikan bahwa "setiap orang itu dihargai dan dihormati karena lidahnya" dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa berbicara benar, dapat dipercaya dan tidak berlebihan.
Sungguh esensi yang terkandung sangat lah dalam. Tentu saja kita tidak bakal mudah percaya dengan omongan orang yang baru kita kenal, apalagi omongan orang yang sudah terbiasa kita tau bahwa dia tukang bohong! lain ceritanya ketika kita mendengar perkataan orang alim yang setiap tutur katanya adalah hikmah dan bijak, maka pastilah kita langsung saja sepakat dan mengiyakannya.
Hal ini ternyata mempunyai korelasi yang positif dengan dogma, dimana ternyata Tuhan pun telah memerintahkan kita untuk menjaga lidah :
- Sabda Rasulullah SAW : "Hati-hatilah kamu dengan ini!" dan Rasul pun menunjuk ke arah lidahnya.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul pun juga pernah bersabda : "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam..."
Dari contoh uraian di atas jelas sekali apa yang "seharusnya" dilakukan oleh lidah pun telah diatur. Jika kita tidak bisa berkata yang baik dan memberi manfaat maka jauh lebih baik bagi kita untuk diam, bukannya malah berbicara yang menghasilkan dosa seperti bergunjing (ghibah) dan obral janji (seperti pemilu 9 April kemarin).
Sesungguhnya yang paling utama bagi kita adalah agar senatiasa mengingat bahwa segala hal dalam diri kita akan dimintai pertanggungjawaban, tak terkecuali lidah, mata, kuping, hati dan yang lain. Seperti firman Tuhan dalam QS AL Isra' 36 :"...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".
Berbeda dengan ulasan di atas, "Ajining sariro soko busono" ternyata memiliki perspektif yang 180 derajat berbeda. Dimana untuk yang kedua ini jauh lebih menonjol pencitraan diri yang bersifat duniawi.
Ajining sariro soko busono ---> diartikan bahwa "setiap orang dihargai dan dihormati dari penampilan/atributnya". Busono disini bisa diartikan secara harfiah maupun turunannya. Secara harfiah diartikan "baju/pakaian" dan secara turunan dapat diartikan "atribut/pangkat jabatannya".
Kalo kita melihat dari perspektif duniawi, jelas lah hal ini sangat benar. Dimana orang yang berpakain necis, perlente bisa saja sangat dipadang orang meskipun sebenarnya dia hanyalah seorang penipu. Selayaknya pejabat yang sangat disegani padahal dia hanyalah seorang koruptor. Jadi cenderung membuat kita tertipu dengan kemasan dan penampilan, tanpa melihat ke isinya yang lebih dalam.
Hal ini tentu saja terbalik dengan kenyataan bahwa "harga manusia" di mata Tuhan adalah dilihat dari kualitas takwanya. Sebagaimana firman Alloh : "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." ( QS. Al Hujurat :13). Senada dengan apa yang sudah saya uraikan dalam tulisan sebelumnya ("Apa yang membuatmu berharga?") bahwa harkat derajat dan penerimaan terhadap diri kita yang hakiki itu bukanlah karena atribut, baju ataupun pangkat kita. Melainkan ke yang lebih dalam di dalam diri kita, yaitu jiwa dan hati.
Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik.
Jagalah lisan kita dan jangan sampai kita terjebak dengan atribut di dunia. Karena atribut hanyalah duniawi, dan dunia adalah kesenangan yang menyengsarakan.
Sungguh esensi yang terkandung sangat lah dalam. Tentu saja kita tidak bakal mudah percaya dengan omongan orang yang baru kita kenal, apalagi omongan orang yang sudah terbiasa kita tau bahwa dia tukang bohong! lain ceritanya ketika kita mendengar perkataan orang alim yang setiap tutur katanya adalah hikmah dan bijak, maka pastilah kita langsung saja sepakat dan mengiyakannya.
Hal ini ternyata mempunyai korelasi yang positif dengan dogma, dimana ternyata Tuhan pun telah memerintahkan kita untuk menjaga lidah :
- Sabda Rasulullah SAW : "Hati-hatilah kamu dengan ini!" dan Rasul pun menunjuk ke arah lidahnya.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul pun juga pernah bersabda : "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam..."
Dari contoh uraian di atas jelas sekali apa yang "seharusnya" dilakukan oleh lidah pun telah diatur. Jika kita tidak bisa berkata yang baik dan memberi manfaat maka jauh lebih baik bagi kita untuk diam, bukannya malah berbicara yang menghasilkan dosa seperti bergunjing (ghibah) dan obral janji (seperti pemilu 9 April kemarin).
Sesungguhnya yang paling utama bagi kita adalah agar senatiasa mengingat bahwa segala hal dalam diri kita akan dimintai pertanggungjawaban, tak terkecuali lidah, mata, kuping, hati dan yang lain. Seperti firman Tuhan dalam QS AL Isra' 36 :"...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".
Berbeda dengan ulasan di atas, "Ajining sariro soko busono" ternyata memiliki perspektif yang 180 derajat berbeda. Dimana untuk yang kedua ini jauh lebih menonjol pencitraan diri yang bersifat duniawi.
Ajining sariro soko busono ---> diartikan bahwa "setiap orang dihargai dan dihormati dari penampilan/atributnya". Busono disini bisa diartikan secara harfiah maupun turunannya. Secara harfiah diartikan "baju/pakaian" dan secara turunan dapat diartikan "atribut/pangkat jabatannya".
Kalo kita melihat dari perspektif duniawi, jelas lah hal ini sangat benar. Dimana orang yang berpakain necis, perlente bisa saja sangat dipadang orang meskipun sebenarnya dia hanyalah seorang penipu. Selayaknya pejabat yang sangat disegani padahal dia hanyalah seorang koruptor. Jadi cenderung membuat kita tertipu dengan kemasan dan penampilan, tanpa melihat ke isinya yang lebih dalam.
Hal ini tentu saja terbalik dengan kenyataan bahwa "harga manusia" di mata Tuhan adalah dilihat dari kualitas takwanya. Sebagaimana firman Alloh : "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." ( QS. Al Hujurat :13). Senada dengan apa yang sudah saya uraikan dalam tulisan sebelumnya ("Apa yang membuatmu berharga?") bahwa harkat derajat dan penerimaan terhadap diri kita yang hakiki itu bukanlah karena atribut, baju ataupun pangkat kita. Melainkan ke yang lebih dalam di dalam diri kita, yaitu jiwa dan hati.
Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik.
Jagalah lisan kita dan jangan sampai kita terjebak dengan atribut di dunia. Karena atribut hanyalah duniawi, dan dunia adalah kesenangan yang menyengsarakan.
Senin, 12 November 2018
Umat Islam Akhir Zaman: Antara kekufuran Barat Dan Kesyirikan Adat
Ketika Rasulullah saw diutus pertama kalinya di Kota Mekah, maka ragam manusia yang beliau hadapi bukanlah sekelompok manusia yang sunyi dari tradisi, budaya, dan adat istiadat. Kaum yang dihadapi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. adalah kaum yang sebelumnya telah mengenal berbagai budaya, memiliki keyakinaan dan kepercayaan, juga secara geografis diapit oleh sekian banyak peradaban dunia luar lainnya. Walau kita menyebut penduduk Mekah adalah masyarakat jahiliyah, namun kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan luas, mengingat mereka juga merupakan bangsa yang juga sangat aktif berinteraksi dengan dunia luar, khususnya dalam dunia perdagangan.
Namun secara umum, umat manusia di muka bumi berada dalam kondisi puncak keterpurukan. Manusia berada dalam kubangan lumpur kenistaan yang hampir-hampir merata dalam semua aspek kehidupan mereka.
Dari aspek keagamaan, umat manusia terjatuh dalam belenggu kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan kesesatan yang sangat parah. Mayoritas umat manusia pada saat itu menyembah matahari, bulan, bintang, planet, patung, ataupun raja dan tokoh masyarakat. Keyakinan mereka dibangun diatas landasan dongeng-dongeng, legenda-legenda, mitos-mitos dan khayalan-khayalan tak berlandaskan dalil.
Dari aspek politik dan pemerintahan, umat manusia terjerembab dalam rawa-rawa perbudakan. Kekuatan-kekuatan super power dunia yaitu imperium Romawi dan imperium Persia berlomba dalam memerangi, menaklukkan, dan menjajah bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua super power dunia tersebut membelenggu kemerdekaan bangsa-bangsa lain, memperlakukan mereka sebagai budak jajahan, dan menghisab sebagian besar potensi mereka demi membangun kejayaan imperium mereka.
Dari aspek sosial, umat manusia hidup dalam kasta-kasta sosial yang sangat zalim. Kalangan tokoh agama dan bangsawan menjadi warga negara kelas satu dan kasta tertinggi. Mereka memiliki wewenang seluas-luasnya untuk menghina dan merendahkan kasta terendah yaitu kelompok petani dan buruh. Golongan tokoh agama, bangsawan dan ksatria menikmati pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan penghidupan yang mewah. Namun akses pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak tak pernah bisa dinikmati oleh golongan rakyat jelata.
Dari aspek moral, kebobrokan akhlak melanda semua bangsa. Pelacuran, perzinaan, minuman keras, perjudian dan mengundi nasib dianggap sebagai perbuatan yang biasa dan legal. Perampokan dan pencurian menjadi mata pencaharian hidup. Pembunuhan secara semena-mena karena masalah-masalah sepele kerap kali terjadi. Peperangan antar suku dan kelompok karena fanatisme buta dibangga-banggakan.
Itulah kondisi umat manusia di muka bumi pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diutus. Bangsa Arab secara umum dan penduduk negeri Hijaz secara khusus, berkubang dalam kesesatan akidah, politik, ekonomi, sosial dan moral yang sangat parah. Mereka benar-benar dalam keadaan jahiliyah. Mereka hidup dalam naungan kemurkaan Allah Ta’ala, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih,
وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya Allah telah melihat kepada penduduk bumi, maka Allah memurkai mereka, bangsa Arab maupun bangsa Ajam (non-Arab), kecuali sisa-sisa Ahlul Kitab (yang masih memegang teguh ajaran dakwah para nabi dan rasul)…” (HR. Muslim no. 2865)
Allah Ta’ala mengutus Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul. Allah Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Beliau memulai tugasnya untuk menuntun umat manusia kepada jalan kebahagian, dengan mendakwahi dan memperbaiki kebobrokan total bangsa Arab, negeri tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Allah Ta’ala membekali beliau dengan wahyu Al-Qur’an, yang turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Dalam rentang waktu yang amat singkat itu Al-Qur’an sukses merubah bangsa Arab, dari bangsa paling terbelakang di dunia, menjadi bangsa bertauhid, bangsa yang paling religius, adil, aman, tertib, makmur, dan maju di dunia.
Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa umat ini akan kembali terperosok pada lumpur jahiliyah sebagaimana umat lainnya. Beliau mengingatkan:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ“
Kiamat ini tidak akan terjadi sampai umatku kelak meniru bangsa-bangsa sebelumnya seperti sama persisnya jengkal dengan jengkal dan hasta dengan hasta. ” Maka, ada yang bertanya : “Wahai Rasulullah, seperti bangsa Persia dan Romawi?” Beliau bersabda : “Siapakah manusia itu selain mereka?[1] Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id : “Kami bertanya kepada Rasulullah : “Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab : “Siapa (jika bukan mereka) ?[2]
Untuk mengurai hadits di atas memang membutuhkan banyak lembaran kertas. Namun menyimpulkan bahwa hari ini kita hidup pada era jahiliyah modern, adalah sesuatu yang mudah untuk dibuktikan. Ya, nubuwat di atas bisa disimpulkan telah mewujud nyata pada kehidupan kaum muslimin hari ini, baik yang di timur maupun yang di barat. Dalam hal tradisi, budaya dan praktik beragama, umat Islam banyak meniru ritual kaum Yahudi dan Nashrani. Sedang dalam hal tata negara, politik dan pemerintahan, umat Islam banyak berkiblat kepada Persia dan Romawi.
Uraian di atas seperti yang disimpulkan oleh Dr. Al-Mubayyadh, “Dapat disimpulkan bahwa yang ditiru oleh umat Islam akhir zaman adalah cara pemerintahan atau sistem politik Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) dalam menjalankan pemerintahan negara. Sedangkan dalam berinteraksi dengan ajaran agamanya, umat Islam akan meniru cara interaksi orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik dalam masalah ajaran pokok atau masalah percabangan dari ajaran pokok tersebut”.
Ya, secara umum hari ini kaum muslimin terjepit di antara kekufuran barat dan kesyirikan adat. Wallahu a’lam bish shawab
[1] HR. Bukhari (7319) Al-I’tisham bil-Kitab was-Sunnah.
[2] HR. Bukhari (3456) Muslim (2669)
(samirmusa/arrahmah.com)
Zaman ketika Amar Ma'ruf Nahi Munkar ditinggalkan
Membaca sirah kehidupan para salaf, maka kita akan dapati kisah mereka bertabur dengan semangat amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka sadar bila hidup mereka bagai satu kaum yang berada dalam satu bahtera; semua harus kompak menjaga kapal tersebut agar tidak rusak. Satu orang yang melobangi bagian bawah kapal karena ingin mengambil air dengan cara praktis lalu dibiarkan, maka yang tenggelam bukan hanya si pelobang kapal. Namun seluruh penumpang juga akan tenggelam bersama. Kisah Umar bin Khattab di saat menjelang sakaratul maut yang menegur pemuda berpakaian isbal dan kisah anak kecil yang menegur Imam Abu Hanifah supaya berhati-hati agar tidak tergelincir, adalah sedikit contoh bagaimana semangat mereka untuk selalu menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai bagian penting kehidupan mereka.
Anas bin Malik ra berkata:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَدَعُ الِائْتِمَارَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَتْ الْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رُذَالِكُمْ
Ditanyakanlah kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, kapan kami akan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Jika muncul di tengah kalian suatu perkara yang pernah muncul pada zaman Bani Israil, yaitu perbuatan keji dilakukan oleh para pembesar, pemerintahan dipegang oleh anak-anak kecil, dan ilmu berada di tangan orang-orang yang (bermental) rendah.”[1]
Adalah Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi yang selalu mendampingi Nabi saw merasa khawatir bila pola hidup dan tradisi ini suatu saat akan lenyap. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah tentang datangnya masa di mana kaum muslimin akan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Riwayat di atas menjelaskan ada tiga ciri zaman di mana kaum muslimin akan kesulitan, atau nyaris merasa putus asa untuk melaksanakan ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar. Ciri zaman itu mirip seperti yang pernah berlaku pada masyarakat Bani Israel;
Pertama, Para penguasa dan pembesarnya sangat rusak moralnya, lantaran hobi mereka berbuat fakhisyah/ zina dan semua produk turunannya. Ketika para pelaku maksiat dan fakhisyah ini adalah para penguasa (politik maupun ekonomi), maka umat Islam akan sangat berat untuk melakukan nahi munkar atas mereka. Sebab, para penguasa ini lazim memiliki backing yang kuat untuk melindungi kemaksiatan yang mereka lakukan. Para pembesar dan penguasa ini bisa membayar para preman dan polisi untuk mengamankan perbuatan keji mereka. Dan inilah fakta yang terjadi, dimana kaum muslimin yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan berhadapan dengan kekuatan para preman bayaran ini. Banyaknya korban umat Islam dan semakin kuatnya backing penguasa ini membuat kaum muslimin putus asa dan merasa tidak banyak manfaat amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan.
Kedua,ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang masih belia. Makna shighar bisa berarti belia secara usia biologis namun juga bisa bermakna belia secara psikologis dan ideologis.Watak dominan anak muda adalah ceroboh, tergesa-gesa, serta mudah menurutkan hawa nafsunya. Jika demikian, maka tatanan masyarakat akan menjadi sangat rapuh dan permisif. Sebab, standar hidup mereka akan kepuasan syahwat. Namun, jika yang dimaksud dengan shigharuhum itu adalah orang-orang bermental rendah, fasik dan fajir, maka bencana yang akan terjadi lebih besar. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, makna shigharyang berarti orang-orang rendahan dan fasik adalah yang lebih kuat.
Dan inilah yang sedang kita saksikan. Ketika para penguasa adalah mereka yang bermental rendah, fasik dan fajir, pendosa dan sangat hobi dengan maksiat, lagi-lagi amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi tumpul. Sebab –sekali lagi- para penguasa bermental rendah itu akan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Dan, nyaris sebagian besar program mereka saat berkuasa adalah melestrarikan kemaksiatan dan kemunkaran.
Ketiga, orang-orang fasik yang mempermainkan ilmu agama. Jika ilmu dipegang oleh orang-orang yang fasik, bisa dibayangkan mereka akan mempermainkan ilmu yang ada pada dirinya dengan berbagai takwilan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan kedua sumber ini untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya.
Kelompok JIL dan para pendukungnya, dengan segenap kekuatan finansial dan sayap medianya akan menyebarkan syubhat dan kerancuan berfikir ke tengah umat. Hal yang membuat siapapun akan berfikir panjang untuk mendebat dan melawan pemikiran rusak mereka. Sebab, mereka sangat lihai bersilat lidah. Pun, jika para ulama yang tsiqah bisa mematahkan hujjah mereka, maka segenap jejaring sosial dan media sekuler akan segera membungkam berita tersebut agar tidak tersebar ke tengah umat. Jika mereka sedikit berada di atas angin, maka media-media sekuler itu akan ramai memblow-up, hingga seakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar itu akan terpojok, lalu dihujat bersama sebagai kelompok anarkis, anti demokrasi atau bahkan dianggap kekanak-kanakan.
Inilah zaman dimana ketiga ciri itu sangat nyata kita saksikan hari ini. Ciri yang dominan adalah kolaborasi kejahatan ulamanya dan kebejatan penguasanya; dua musuh utama yang membuat amar ma’ruf nahi munkar nyaris tidak berfungsi. Sebab, kedua akan bermain besi.Yang perlu diingat, isyarat hadits di atas bukan legimitasi meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar secara total.Namun lebih kepada penggambaran betapa beratnya ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab
[1] HR. Ibnu Majah, Al-Fitan, hadits no. 4015 [Sunan Ibnu Mâjah (2/1331)]
Selasa, 30 Oktober 2018
Implementasi Tribrata
Berikut pemahaman tentang Tribrata sebagai Pedoman Hidup Polri :
1. Pengertian Tri Brata, Tri Brata berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti; tri = tiga, dan brata= kaul (nadar). Kaul atau nadar adalah pernyataan seseorang/kelompok atas dasar kemurnian/ keikhlasan hati sanubarinya, (jadi tidak dipakai oleh pihak manapun juga). Jadi Tri Brata berarti tiga kaul (tiga nadar) yang telah diikrarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk selanjutnya diamankan dan diamalkan oleh setiap anggotanya secara sungguh-sungguh.
2. Sejarah singkat Tri Brata, Tri Brata pada awalnya berlaku hanya untuk mahasiswa PTIK, namun dalam perkembangan sejarah Polri selanjutnya pada tanggal 1 Juli 1955 pada Upacara Hari Bhayangkara IX di lapangan Banteng Jakarta Tri Brata diikrarkan oleh kepala kepolosian Negara (KKN) Jenderal Polisi R. SAID SOEKANTO TJOKRO DIATMODJO dan resmi menjadi pedoman hidup Polri. Sebelumnya Tri Brata merupakan kaul dari Doktoral PTIK yang pertama kali diucapkan oleh perwakilan doktoral PTIK Angkatan II, yaitu Komisaris Polisi Drs. Soeparno Soeriya Atmadja (Mayjen Polisi Purn) pada tanggal 8 Mei 1954.
Konsep Tri Brata disusun oleh Prof. Joko Soetono, SH., guru besar PTIK, dimaksudkan untuk kaul para doktoral PTIK, namun diangkat menjadi pedoman hidup Polri. Sebagai pedoman hidup Tri Brata diisi azas yang perlu penjabarannya lebih konkrit lagi untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas Polri. Oleh karena itu dalam rapat Kepala Polisi Komisariat seluruh Indonesia, pada 5 – 7 Mei 1958 diterbitkan 15 butir pedoman penjabarannya.
Adapun isi Tri Brata adalah sebagai berikut:
Polisi ialah:
1) Rastra Sewakottama (abdi utama daripada nusa dan bangsa);
2) Nagara Janottama (warga negara tauladan daripada negara);
3) Jana Anusasana Dharma (wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat)
Sebagai pedoman diharapkan bahwa makna yang terkandung di dalamnya dapat langsung dilaksanakan oleh segenap anggota Polri, namun salah satu kendala yang dihadapi justru pada pemahaman bahasa serta rumusan Tri Brata yang syarat dengan filsafat. Kemampuan anggota Pori terutama pada tingkat bawah untuk mencerna nilai-nilai yang sifatnya filsafat ternyata sulit dan oleh karenanya diperlukan rumusan dalam Bahasa Indonesia yang lebih sederhana dan mudah dimengerti.
- Pemaknaan Baru Tri Brata
1) Dasar
a) Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (pasal 34)
b) Surat keputusan Kapolri No.Pol : Skep/17/VI/2002, tanggal 24 Juni 2002, tentang pengesahan Pemaknaan baru Tri Brata
c) Surat Perintah kapolri No.Pol.: sprin/829/IV/2002, tentang Sosialisasi pemaknaan baru Tri Brata
2) Sebagaimana kita ketahui bahwa isltilah “Tribrata” pada Tri Brata lama merupakan dua kata yang ditulis secara terpisah dan diambil dari bahasa Sansekerta, Tri yang berarti tiga dan brata atau wrata yang jalan atau kaul.
Dalam rumusan Tribrata yang baru:
a) “Tribrata” ditulis sebagai satu kata yang tidak terpisah
b) Berdasarkan Kamus Besar Bahas Indonesia, kata “Tribrata” telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi satu kata, yang artinya Tiga Azas kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilambangkan dengan bintang.
3) Adapun bunyi dari pemaknaan “Tribrata” yang baru adalah sebagai berikut: “TRIBRATA” KAMI POLISI INDONESIA
SATU : BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
DUA : MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
TIGA : SENANTIASA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
4) Rumusan Tribrata baru seluruhnya telah menggunakan bahasa Indonesia, demikian pula hakekat makna yang menggambarkan dimensi hubungan Polri yang semula hanya tiga, kini diatambah dimensi hubungan dengan Tuhan sehingga menjadi empat, yaitu :
a) Dimensi hubungan dengan Tuhan
b) Dimensi hubungan dengan Nusa dan Bangsa
c) Dimensi hubungan dengan Negara
d) Dimensi hubungan dengan masyarakat
- Pemaknaan Tribrata
“KAMI POLISI INDONESIA”, Mengandung makna:
(1) Menunjuk kepada Polisi sebagai lembaga maupun sebagai individu anggota Polri
(2) Merupakan pernyataan ikatan jiwa korps yang kuat antar sesama anggota Polri
(3) Merupakan pernyataan netralitas Polri baik institusi maupun pribadi, sepanjang hanyat
(4) Menegaskan sikap politik Polri, bahwa ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia “bubar” polisi tetap utuh di bawah Panji Tribrata, membela Indonesia seperti dimaksud para pemuda pada tahun 1928
(5) Menegaskan bahwa Polisi telah berperan sebagai pejuang kemerdekaan bersama rakyat, dan pada awal berdirinya Repulik Indonesia sebagai satu-satunya pasukan bersenjata pada saat itu memproklamirkan diri sebagai Polisi Indonesia
- BRATA pertama: “KAMI POLISI INDONESIA BERBHAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA”, mengandung makna:
(1) Pernyataan setiap individu Polri sebagai insan hamba Tuhan
(2) Pernyataan Nasionalisme, kebangsan, sepanjang hanyat ke-Indonesiaan
(3) Mengadung nilai-nilai kerokhanan yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, sebagi perekat bangsa yang harus dibela dan dipertahankan
(4) Nusa dan Bangsa adalah Indonesia yang dinyatakan Politis pada tanggal 28 Oktober 1928
(5) Polisi bukan alat politik/ alat kekuasaan
- c) BRATA kedua: “KAMI POLISI INDONESIA MENUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 10945”, mengandung makna:
(1) Pernyataan setiap individu Polri sebagai aparat negara yang bertugas menegakkan hukum
(2) Negara adalah negara yang berdasarkkan hukum (rechtstaat) bukan kekuasaan (machtstaat)
(3) Merupakan kesanggupan anggota Polri untuk menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan hak azasi manusia yang merupakan ciri-ciri masyarakat madani
(4) Kesanggupan Polri mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada rakyat/ masyarakat sebagai wujud akuntabilitas publik.
(5) Merupakan pernyataan sikap politik Polri yang secara tegas menyatakan bahwa Republik Indonesia yang diberla Polri adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945
- e) BRATA ketiga: “KAMI POLRI INDONESIA SENANTIASA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANII MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN ”, mengadung makna:
(1) Pernyataan setiap anggota Polri untuk menlindungi dan mengayomi masyarakat dengan ikhlas tanpa paksaan dari luar dirinya
(2) Menggambarkan tugas Polri secara Universal yaitu melindungi dan melayani masyarakat (to protect and to service).
(3) Masyarakat menjadi centrum/ pusat pengabdian Polri
(4) Polri menempatkan diri sejajar dengan masyarakat yang dilayaninya.
Implementasi nilai-nilai Tribrata
(1) Guna memudahkan implementasi nilai-nilai dasar dan pedoman moral dalam Tribrata bagi setiap anggota Polri, berikut ini diberikan contoh tata laku yang terkandung penelitian pada masing-masing Brata:7 1.1 BRATA BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA, merupakan dorogan hati nurani yang berasal dari kesadarannya sendiri untuk memberikan pengabdian tertinggi dalam upaya melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dari sabang samapai merauke dengan kesiapan kerelaan mengorbankan jiwa dan raga KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, merupakan pernyataan kesadaran sebagai insane hamba Tuhan yang wajib melaksanakan syariat agama masing-masing dalam kehidupan sehari-hari dan dilingkungan tugasnya
BRATA II MENJUJUNG TINGGI KEBENARAN DALAM MENGAKKAN HUKUM, dengan tetap berbijak pada fakta yang ada, serta proses penyelidikan yang profesioanl berdasarkan ketentuan perundangundangan yang ada. MENJUNJUNG TINGGI KEADILAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM, dengan tidak membedakan perlukan bagi pencari keadilan sehingga tercapai jaminan kepastian hukum MENJUNJUNG TINGGI KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM, dengan tetap memperhatikan hak azasi seseorang secara langsung/ tidak langsung dalam proses menegakkan hukum BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945, merupakan indentitas bangsa berdaulat dan bernegara, dan bukan bangsa Indonesia yang indentitas lain atau akan diubah dengan indetitas lain yang bukan berdasarkan pancasila dan UUD 1945
BRATA III
Sebagai PELINDUNG, meberikan bantuan kepada warga masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik atau psikis tanpa perbedaan perlakuan.
Sebagai PENGAYOM, dalam setiap kiprahnya mengutaakan tindakan yang bersifat persuasive edukatif
Sebagai PELAYAN, melayani masyarakat, dengan kemudahan, cepat, simpatik, ramah dan sopan serta tanpa pembedaan biaya yang tidak semestinya
Catur Prasetya (pedoman kerja)
Kandungan makna
- “MENIADAKAN SEGALA BENTUK GANGGUAN KEAMANAN” “Setiap Insan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia
b) Bersama-sama dengan masyarakat meningkatkan daya cegah dan daya penanggulangan gangguan kamtibmas
c) Senantiasa berperan secara aktif dalam menanggulangi setiap permasalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan
d) Membangun kemitraan dengan mengemban fungsi keamanan lainya dalam rangka menjaga dan memelihara kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia
- “MENJAGA KESELAMATAN JIWA RAGA, HARTA BENDA DAN HAK AZASI MANUSIA” Bermakna : “Setiap Iinsan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Melindungi masyarakat dari setiap gangguan dan ancamanb) Menjamin kelancaran aktivitas masyarakat sehari-hari
c) Memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan secara optimal kepada masyarakat dan
d) Menghormati dan menjujung tinggi hak-hak masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan
- “MENJAMIN KEPASTIAN BERDASARKAN HUKUM” Bermakna : “Setiap Iinsan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Menjunjung tinggi dan menjamin tegaknya supermasi hukum
b) Memberikan kedaulatan kepada masyarakat dalam mematuhi dan mentaati hukum
c) Memahami dan menghormati norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dan menjunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat dan
d) Melaksanakan asas-asas pertanganggungjawaban publik (keterbukaan, serta menghormati hak asasi manusia ) persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga masyarakat
- “MEMELIHARA PERASAAN TENTRAM DAN DAMAI” Bermakna : “Setiap Insan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Meniadakan segala bentuk kehawatiran, keresahan, ketakutan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat
b) Berkerja sama dengan masyarakat dalam upaya menjaga lingkungan masing-masing dari segala bentuk gangguan
c) Membangun kerja sama dengan mitra kamtibmas dalam rangka menciptakan persaan tentram dan damai
d) Berperan sebagai pemelihara kedamaian dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.(*)
Langganan:
Postingan (Atom)