Selasa, 13 November 2018

Ajining diri soko lathi

Ajining diri soko lathi ---> ini diartikan bahwa "setiap orang itu dihargai dan dihormati karena lidahnya" dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa berbicara benar, dapat dipercaya dan tidak berlebihan.

Sungguh esensi yang terkandung sangat lah dalam. Tentu saja kita tidak bakal mudah percaya dengan omongan orang yang baru kita kenal, apalagi omongan orang yang sudah terbiasa kita tau bahwa dia tukang bohong! lain ceritanya ketika kita mendengar perkataan orang alim yang setiap tutur katanya adalah hikmah dan bijak, maka pastilah kita langsung saja sepakat dan mengiyakannya. 

Hal ini ternyata mempunyai korelasi yang positif dengan dogma, dimana ternyata Tuhan pun telah memerintahkan kita untuk menjaga lidah :
- Sabda Rasulullah SAW : "Hati-hatilah kamu dengan ini!" dan Rasul pun menunjuk ke arah lidahnya.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul pun juga pernah bersabda : "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam..."

Dari contoh uraian di atas jelas sekali apa yang "seharusnya" dilakukan oleh lidah pun telah diatur. Jika kita tidak bisa berkata yang baik dan memberi manfaat maka jauh lebih baik bagi kita untuk diam, bukannya malah berbicara yang menghasilkan dosa seperti bergunjing (ghibah) dan obral janji (seperti pemilu 9 April kemarin).
Sesungguhnya yang paling utama bagi kita adalah agar senatiasa mengingat bahwa segala hal dalam diri kita akan dimintai pertanggungjawaban, tak terkecuali lidah, mata, kuping, hati dan yang lain. Seperti firman Tuhan dalam QS AL Isra' 36 :"...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".

Berbeda dengan ulasan di atas, "Ajining sariro soko busono" ternyata memiliki perspektif yang 180 derajat berbeda. Dimana untuk yang kedua ini jauh lebih menonjol pencitraan diri yang bersifat duniawi.

Ajining sariro soko busono ---> diartikan bahwa "setiap orang dihargai dan dihormati dari penampilan/atributnya". Busono disini bisa diartikan secara harfiah maupun turunannya. Secara harfiah diartikan "baju/pakaian" dan secara turunan dapat diartikan "atribut/pangkat jabatannya".

Kalo kita melihat dari perspektif duniawi, jelas lah hal ini sangat benar. Dimana orang yang berpakain necis, perlente bisa saja sangat dipadang orang meskipun sebenarnya dia hanyalah seorang penipu. Selayaknya pejabat yang sangat disegani padahal dia hanyalah seorang koruptor. Jadi cenderung membuat kita tertipu dengan kemasan dan penampilan, tanpa melihat ke isinya yang lebih dalam.

Hal ini tentu saja terbalik dengan kenyataan bahwa "harga manusia" di mata Tuhan adalah dilihat dari kualitas takwanya. Sebagaimana firman Alloh : "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." ( QS. Al Hujurat :13). Senada dengan apa yang sudah saya uraikan dalam tulisan sebelumnya ("Apa yang membuatmu berharga?") bahwa harkat derajat dan penerimaan terhadap diri kita yang hakiki itu bukanlah karena atribut, baju ataupun pangkat kita. Melainkan ke yang lebih dalam di dalam diri kita, yaitu jiwa dan hati.

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik.
Jagalah lisan kita dan jangan sampai kita terjebak dengan atribut di dunia. Karena atribut hanyalah duniawi, dan dunia adalah kesenangan yang menyengsarakan.

Senin, 12 November 2018

Umat Islam Akhir Zaman: Antara kekufuran Barat Dan Kesyirikan Adat

Ketika Rasulullah saw diutus pertama kalinya di Kota Mekah, maka ragam manusia yang beliau hadapi bukanlah sekelompok manusia yang sunyi dari tradisi, budaya, dan adat istiadat. Kaum yang dihadapi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. adalah kaum yang sebelumnya telah mengenal berbagai budaya, memiliki keyakinaan dan kepercayaan, juga secara geografis diapit oleh sekian banyak peradaban dunia luar lainnya. Walau kita menyebut penduduk Mekah adalah masyarakat jahiliyah, namun kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan luas, mengingat mereka juga merupakan bangsa yang juga sangat aktif berinteraksi dengan dunia luar, khususnya dalam dunia perdagangan.

Namun secara umum, umat manusia di muka bumi berada dalam kondisi puncak keterpurukan. Manusia berada dalam kubangan lumpur kenistaan yang hampir-hampir merata dalam semua aspek kehidupan mereka.

Dari aspek keagamaan, umat manusia terjatuh dalam belenggu kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan kesesatan yang sangat parah. Mayoritas umat manusia pada saat itu menyembah matahari, bulan, bintang, planet, patung, ataupun raja dan tokoh masyarakat. Keyakinan mereka dibangun diatas landasan dongeng-dongeng, legenda-legenda, mitos-mitos dan khayalan-khayalan tak berlandaskan dalil.

Dari aspek politik dan pemerintahan, umat manusia terjerembab dalam rawa-rawa perbudakan. Kekuatan-kekuatan super power dunia yaitu imperium Romawi dan imperium Persia berlomba dalam memerangi, menaklukkan, dan menjajah bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua super power dunia tersebut membelenggu kemerdekaan bangsa-bangsa lain, memperlakukan mereka sebagai budak jajahan, dan menghisab sebagian besar potensi mereka demi membangun kejayaan imperium mereka.

Dari aspek sosial, umat manusia hidup dalam kasta-kasta sosial yang sangat zalim. Kalangan tokoh agama dan bangsawan menjadi warga negara kelas satu dan kasta tertinggi. Mereka memiliki wewenang seluas-luasnya untuk menghina dan merendahkan kasta terendah yaitu kelompok petani dan buruh. Golongan tokoh agama, bangsawan dan ksatria menikmati pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan penghidupan yang mewah. Namun akses pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak tak pernah bisa dinikmati oleh golongan rakyat jelata.

Dari aspek moral, kebobrokan akhlak melanda semua bangsa. Pelacuran, perzinaan, minuman keras, perjudian dan mengundi nasib dianggap sebagai perbuatan yang biasa dan legal. Perampokan dan pencurian menjadi mata pencaharian hidup. Pembunuhan secara semena-mena karena masalah-masalah sepele kerap kali terjadi. Peperangan antar suku dan kelompok karena fanatisme buta dibangga-banggakan.

Itulah kondisi umat manusia di muka bumi pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diutus. Bangsa Arab secara umum dan penduduk negeri Hijaz secara khusus, berkubang dalam kesesatan akidah, politik, ekonomi, sosial dan moral yang sangat parah. Mereka benar-benar dalam keadaan jahiliyah. Mereka hidup dalam naungan kemurkaan Allah Ta’ala, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih,

وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

Sesungguhnya Allah telah melihat kepada penduduk bumi, maka Allah memurkai mereka, bangsa Arab maupun bangsa Ajam (non-Arab), kecuali sisa-sisa Ahlul Kitab (yang masih memegang teguh ajaran dakwah para nabi dan rasul)…” (HR. Muslim no. 2865)

Allah Ta’ala mengutus Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul. Allah Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Beliau memulai tugasnya untuk menuntun umat manusia kepada jalan kebahagian, dengan mendakwahi dan memperbaiki kebobrokan total bangsa Arab, negeri tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Allah Ta’ala membekali beliau dengan wahyu Al-Qur’an, yang turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Dalam rentang waktu yang amat singkat itu Al-Qur’an sukses merubah bangsa Arab, dari bangsa paling terbelakang di dunia, menjadi bangsa bertauhid, bangsa yang paling religius, adil, aman, tertib, makmur, dan maju di dunia.

Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa umat ini akan kembali terperosok pada lumpur jahiliyah sebagaimana umat lainnya. Beliau mengingatkan:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

Kiamat ini tidak akan terjadi sampai umatku kelak meniru bangsa-bangsa sebelumnya seperti sama persisnya jengkal dengan jengkal dan hasta dengan hasta. ” Maka, ada yang bertanya : “Wahai Rasulullah, seperti bangsa Persia dan Romawi?” Beliau bersabda : “Siapakah manusia itu selain mereka?[1] Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id : “Kami bertanya kepada Rasulullah : “Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab : “Siapa (jika bukan mereka) ?[2]

Untuk mengurai hadits di atas memang membutuhkan banyak lembaran kertas. Namun menyimpulkan bahwa hari ini kita hidup pada era jahiliyah modern, adalah sesuatu yang mudah untuk dibuktikan. Ya, nubuwat di atas bisa disimpulkan telah mewujud nyata pada kehidupan kaum muslimin hari ini, baik yang di timur maupun yang di barat. Dalam hal tradisi, budaya dan praktik beragama, umat Islam banyak meniru ritual kaum Yahudi dan Nashrani. Sedang dalam hal tata negara, politik dan pemerintahan, umat Islam banyak berkiblat kepada Persia dan Romawi.

Uraian di atas seperti yang disimpulkan oleh Dr. Al-Mubayyadh, “Dapat disimpulkan bahwa yang ditiru oleh umat Islam akhir zaman adalah cara pemerintahan atau sistem politik Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) dalam menjalankan pemerintahan negara. Sedangkan dalam berinteraksi dengan ajaran agamanya, umat Islam akan meniru cara interaksi orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik dalam masalah ajaran pokok atau masalah percabangan dari ajaran pokok tersebut”.

Ya, secara umum hari ini kaum muslimin terjepit di antara kekufuran barat dan kesyirikan adat. Wallahu a’lam bish shawab

[1] HR. Bukhari (7319) Al-I’tisham bil-Kitab was-Sunnah.

[2] HR. Bukhari (3456) Muslim (2669)

(samirmusa/arrahmah.com)

Zaman ketika Amar Ma'ruf Nahi Munkar ditinggalkan

Membaca sirah kehidupan para salaf, maka kita akan dapati kisah mereka bertabur dengan semangat amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka sadar bila hidup mereka bagai satu kaum yang berada dalam satu bahtera; semua harus kompak menjaga kapal tersebut agar tidak rusak. Satu orang yang melobangi bagian bawah kapal karena ingin mengambil air dengan cara praktis lalu dibiarkan, maka yang tenggelam bukan hanya si pelobang kapal. Namun seluruh penumpang juga akan tenggelam bersama. Kisah Umar bin Khattab di saat menjelang sakaratul maut yang menegur pemuda berpakaian isbal dan kisah anak kecil yang menegur Imam Abu Hanifah supaya berhati-hati agar tidak tergelincir, adalah sedikit contoh bagaimana semangat mereka untuk selalu menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai bagian penting kehidupan mereka.

Anas bin Malik ra berkata:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَدَعُ الِائْتِمَارَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَتْ الْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رُذَالِكُمْ

Ditanyakanlah kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, kapan kami akan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Jika muncul di tengah kalian suatu perkara yang pernah muncul pada zaman Bani Israil, yaitu perbuatan keji dilakukan oleh para pembesar, pemerintahan dipegang oleh anak-anak kecil, dan ilmu berada di tangan orang-orang yang (bermental) rendah.”[1]

Adalah Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi yang selalu mendampingi Nabi saw merasa khawatir bila pola hidup dan tradisi ini suatu saat akan lenyap. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah tentang datangnya masa di mana kaum muslimin akan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Riwayat di atas menjelaskan ada tiga ciri zaman di mana kaum muslimin akan kesulitan, atau nyaris merasa putus asa untuk melaksanakan ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar. Ciri zaman itu mirip seperti yang pernah berlaku pada masyarakat Bani Israel;

Pertama, Para penguasa dan pembesarnya sangat rusak moralnya, lantaran hobi mereka berbuat fakhisyah/ zina dan semua produk turunannya. Ketika para pelaku maksiat dan fakhisyah ini adalah para penguasa (politik maupun ekonomi), maka umat Islam akan sangat berat untuk melakukan nahi munkar atas mereka. Sebab, para penguasa ini lazim memiliki backing yang kuat untuk melindungi kemaksiatan yang mereka lakukan. Para pembesar dan penguasa ini bisa membayar para preman dan polisi untuk mengamankan perbuatan keji mereka. Dan inilah fakta yang terjadi, dimana kaum muslimin yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan berhadapan dengan kekuatan para preman bayaran ini. Banyaknya korban umat Islam dan semakin kuatnya backing penguasa ini membuat kaum muslimin putus asa dan merasa tidak banyak manfaat amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan.

Kedua,ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang masih belia. Makna shighar bisa berarti belia secara usia biologis namun juga bisa bermakna belia secara psikologis dan ideologis.Watak dominan anak muda adalah ceroboh, tergesa-gesa, serta mudah menurutkan hawa nafsunya. Jika demikian, maka tatanan masyarakat akan menjadi sangat rapuh dan permisif. Sebab, standar hidup mereka akan kepuasan syahwat. Namun, jika yang dimaksud dengan shigharuhum itu adalah orang-orang bermental rendah, fasik dan fajir, maka bencana yang akan terjadi lebih besar. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, makna shigharyang berarti orang-orang rendahan dan fasik adalah yang lebih kuat.

Dan inilah yang sedang kita saksikan. Ketika para penguasa adalah mereka yang bermental rendah, fasik dan fajir, pendosa dan sangat hobi dengan maksiat, lagi-lagi amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi tumpul. Sebab –sekali lagi- para penguasa bermental rendah itu akan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Dan, nyaris sebagian besar program mereka saat berkuasa adalah melestrarikan kemaksiatan dan kemunkaran.

Ketiga, orang-orang fasik yang mempermainkan ilmu agama. Jika ilmu dipegang oleh orang-orang yang fasik, bisa dibayangkan mereka akan mempermainkan ilmu yang ada pada dirinya dengan berbagai takwilan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan kedua sumber ini untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya.

Kelompok JIL dan para pendukungnya, dengan segenap kekuatan finansial dan sayap medianya akan menyebarkan syubhat dan kerancuan berfikir ke tengah umat. Hal yang membuat siapapun akan berfikir panjang untuk mendebat dan melawan pemikiran rusak mereka. Sebab, mereka sangat lihai bersilat lidah. Pun, jika para ulama yang tsiqah bisa mematahkan hujjah mereka, maka segenap jejaring sosial dan media sekuler akan segera membungkam berita tersebut agar tidak tersebar ke tengah umat. Jika mereka sedikit berada di atas angin, maka media-media sekuler itu akan ramai memblow-up, hingga seakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar itu akan terpojok, lalu dihujat bersama sebagai kelompok anarkis, anti demokrasi atau bahkan dianggap kekanak-kanakan.

Inilah zaman dimana ketiga ciri itu sangat nyata kita saksikan hari ini. Ciri yang dominan adalah kolaborasi kejahatan ulamanya dan kebejatan penguasanya; dua musuh utama yang membuat amar ma’ruf nahi munkar nyaris tidak berfungsi. Sebab, kedua akan bermain besi.Yang perlu diingat, isyarat hadits di atas bukan legimitasi meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar secara total.Namun lebih kepada penggambaran betapa beratnya ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab

[1] HR. Ibnu Majah, Al-Fitan, hadits no. 4015 [Sunan Ibnu Mâjah (2/1331)]