Senin, 24 Agustus 2020

FOKUS

 Ada seorang anak yang setiap hari rajin sholat ke masjid, lalu suatu hari ia berkata kepada ayahnya, 

"Yah mulai hari ini saya tidak mau ke masjid lagi"

"Lho kenapa?" sahut sang ayah.

"Karena di masjid saya menemukan orang² yang kelihatannya agamis tapi sebenarnya tidak, ada yang sibuk dengan gadgetnya, sementara yang lain membicarakan keburukan orang lain".

Sang ayah pun berpikir sejenak dan berkata, "Baiklah kalau begitu, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan setelah itu terserah kamu".

"Apa itu?"

"Ambillah air satu gelas penuh, lalu bawa keliling masjid, ingat jangan sampai ada air yang tumpah".

Si anak pun membawa segelas air berkeliling masjid dengan hati², hingga tak ada setetes air pun yang jatuh.

Sesampai di rumah sang ayah bertanya, "Bagaimana sudah kamu bawa air itu keliling masjid?", 

"Sudah".

"Apakah ada yang tumpah?"

"Tidak".

"Apakah di masjid tadi ada orang yang sibuk dengan gadgetnya?".

"Wah, saya tidak tahu karena pandangan saya hanya tertuju pada gelas ini", jawab si anak.

"Apakah di masjid tadi ada orang² yang membicarakan kejelekan orang lain?", tanya sang ayah lagi.

"Wah, saya tidak dengar karena saya hanya konsentrasi menjaga air dalam gelas".

Sang ayah pun tersenyum lalu berkata, "Begitulah hidup anakku, jika kamu fokus pada tujuan hidupmu, kamu tidak akan punya waktu untuk menilai kejelekan orang lain. Jangan sampai kesibukanmu menilai kualitas orang lain membuatmu lupa akan kualitas dirimu".

Marilah kita fokus pada diri sendiri dalam beribadah, bekerja dan untuk terus menerus bebenah menjadi positif.

Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.

KISAH TSABIT BIN IBRAHIM DAN BUAH APEL

Seorang lelaki yang sholeh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. 

Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya. 

Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meminta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. 

Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya". 

Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya". 

Dengan nada menyesal Tsabit bin Ibrahim bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkannya apel yang telah ku makan ini." 

Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam". 

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka" 

Tsabit bin Ibrahim pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,

"Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?" 

Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." 

Tsabit bin Ibrahim merasa khawatir dengan syarat itu kerana takut ia tidak dapat memenuhinya. 

Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?" 

Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit bin Ibrahim. Ia malah menambahkan, katanya, 

"Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!" 

Tsabit bin Ibrahim amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? 

Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak akan menghalalkan apa yang telah kau makan !" 

Namun Tsabit bin Ibrahim kemudian menjawab dengan mantap, 

"Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. 

Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamu"alaikum..." 

Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya. 

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit bin Ibrahim dalam hatinya. 

Tsabit bin Ibrahim berfikir, mengapa ayah mertuaya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ? 

Setelah Tsabit bin Ibrahim duduk di samping isterinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?" 

Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". 

Tsabit bin Ibrahim bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli, mengapa?" 

Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. 

"Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" Tanya wanita itu kepada Tsabit bin Ibrahim yang kini sah menjadi suaminya. 

Tsabit bin Ibrahim mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, 

"aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala". 

Tsabit bin Ibrahim amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. 

Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap". 

Tsabit bin Ibrahim dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

Ya ALLAH...

✔ Muliakanlah orang yang membaca dan membagikan status ini

✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid

✔ Lapangkanlah hatinya

✔ Bahagiakanlah keluarganya

✔ Luaskan rezekinya seluas lautan

✔ Mudahkan segala urusannya

✔ Kabulkan cita-citanya

✔ Jauhkan dari segala Musibah

✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.

✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang

membaca dan membagikan status ini.

Aamiin ya Rabbal'alamin...... 


Semoga yg berkomentar Aamiin dijauhkan dari segala penyakit, diberi sehat wal'afiat, rezekinya melimpah ruah, dan keluarganya bahagia Dan bisa masuk Surga melalui pintu mana saja. Aamiin ya Rabbal'alamiin.

Jumat, 21 Agustus 2020

HUKUM SHALAT MENGGUNAKAN SEPATU

Hukum Shalat Menggunakan Sepatu 

----------- Shalat menggunakan sepatu atau sandal, adalah sesuatu yang lumrah di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan terdapat hadis yang secara khusus memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat dengan memakai sandal, agar tidak meniru kebiasaan yahudi. 

Artinya, latar belakang beliau melakukan shalat dengna sandal atau sepatu bukan karena masjid beliau yang beralas tanah. 

Namun lebih dari itu. Kita akan simak beberapa hadis berikut, 

Pertama, hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan, رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat dengan tidak beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu daud 653, Ibnu Majah 1038, dan dinilai Hasan Shahih oleh al-Albani). 

Kedua, ketika beliau safar, beliau shalat dengan memakai sepatu. Sahabat al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, bahwa beliau pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah safar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, akupun menunduk untuk melepaskan sepatu beliau. Namun beliau melarangnya dan mengatakan, دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ Biarkan dia, karena saya memakainya dalam kondisi suci. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya. (HR. Bukhari 206 & Muslim 655). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kepada umatnya tentang hal ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَلْبَسْ نَعْلَيْهِ، أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا بَيْنَ رجليه، ولا يؤذ بهما غيره “Apabila kalian shalat, hendaknya dia pakai kedua sandalnya atau dia lepas keduanya untuk ditaruh di kedua kakinya. Janganlah dia mengganggu yang lain.” (HR. Ibnu Hibban 2183, Ibnu Khuzaimah 1009 dan sanadnya dinilai shahihkan al-Albani) 

Seorang tabiin, Said bin Yazid al-Azdi, beliau pernah bertanya kepada Anas bin Malik, أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ؟ “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan menggunakan sandal?” Jawab Anas: “Ya.” (HR. Bukhari 386, Turmudzi 400, dan yang lainnya). 

Bahkan beliau menyebutkan, shalat memakai sandal termasuk sikap tampil beda dengan model ibadahnya yahudi. Dari Syaddad bin Aus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ “Bersikaplah yang berbeda dengan ornag Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal maupun sepatu.” (HR. Abu Daud 652 dan dishahihkan al-Albani) 

Jika anda menyimak hadis di atas, terlepas dari semua kondisi lingkungan, kira-kira apa yang bisa anda simpulkan mengenai hukum shalat dengan memakai sepatu atau sandal? Haram, makruh, mubah, sunah, atau wajib? 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita agar tidak meniru kebiasaan buruk yahudi, yang mereka tidak pernah shalat dengan memakai sandal. Artinya, setidaknya kaum muslimin pernah shalat dengan memakai sandal. 

Sehingga setidaknya, minimal anda akan menyimpukannya bahwa itu sunah. 

Dijamin Suci 

Masalah kesucian sandal atau sepatu, ini masalah lain. Karena syarat suci dalam shalat, tidak hanya berlaku pada alas, tapi untuk semua anggota badan orang yang shalat dan semua pakaiannya. Tentu saja, mereka yang hendak shalat memakai sandal atau sepatu, harus memastikan telah bersih. 

Syaikh Abdullah bin humaid mengatakan, لكن الشرط أن تكون النعال طاهرة ، فإذا كانت النعال فيها نجاسة أو وطئ بها أذى ، فلا ينبغي أن يصلي الإنسان منتعلاً “Hanya saja ada syaratnya, sandal harus suci. Jika sandalnya ada najisnya atau menginjak kotoran maka tidak selayaknya orang menggunakannya untuk shalat.” (Dinukil dari Fatwa Islam, no. 12033) 

Demikian, Allahu a’lam 

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Senin, 03 Agustus 2020

KERUGIAN & KEUNTUNGAN MENGGUNAKAN ANTENNA TUNER (TRANSMATCH)

KERUGIAN & KEUNTUNGAN MENGGUNAKAN ANTENNA TUNER (TRANSMATCH)


Sumber artikel ini saya ambil dari postingannya Om Djoko Haryono di Facebook Group HOME BREW PROJECT (CB RADIO, ANTENNA, SWR, AUDIO, MICROPHONE, BOOSTER, etc)

KERUGIAN :
Kalau kita menggunakan antenna tuner, maka kita bekerja dengan rugi-rugi (losses) yang terdapat pada antenna tuner itu sendiri, plus rugi - rugi yang terdapat sepanjang line/coax dan mismatch (unmatched) antenna. Fungsi antenna tuner adalah hanya menjembatani ketidak cocokan impedansi diantara output TX dengan impedansi diujung bawah kabel coax (yg meskipun karakteristik kabelnya 50 ohm tetapi impedansi dititik itu akan berubah tidak lagi 50 ohm tergantung dari seberapa panjang kabel dan seberapa ketidak sesuaian impedansi "diatas"/antara antenna & ujung atas kabel). Jadi tuner lebih banyak berfungsi untuk melindungi TX saja. Pancaran radio terkuat (effisiensi tertinggi) bukan didapat dengan pemasangan antenna tuner melainkan dengan mendesign antenna yang baik dan match langsung ke frekuensi kerja, plus merancang menggunakan kabel coax sedemikian rupa agar lossesnya sekecil mungkin.

KEUNTUNGAN :
Menggunakan antenna tuner : Adalah kita bisa memakai sebuah antenna untuk bekerja di range frekuensi yang lebih lebar (tapi kalau kita memiliki banyak antenna antenna khusus untuk masing2 band, atau bisa juga dengan memiliki 1 antenna multiband, itu adalah lebih baik daripada menggunakan antenna tuner).

URUTANNYA :
Kalau diurutkan konfigurasi mana yang memberikan pancaran terkuat, maka urutannya adalah :

1. Paling kuat kalau kita punya banyak antenna (1 antenna untuk 1 band frekuensi).

2. Urutan kedua. Kerja agak lebih praktis tapi ada band band yg menurun pancarannya adalah kalau kita menggunakan 1 antenna multiband.

3. Dan urutan ketiga dimana kita bekerja dengan losses besar adalah jika kita menggunakan 1 antenna dan antenna tuner. 

Dari link ini http://en.wikipedia.org/wiki/Antenna_tuner kita bisa membaca : An antenna plus matcher is never as efficient as a naturally resonant antenna due to additional induced losses on the feed line due to the SWR (multiple reflections), and losses in the ATU itself, although issues of pattern and capture area may outweigh this in practice. .... yang artinya ..... "Bekerja menggunakan antenna plus antenna tuner tidak mungkin bisa se-effisien jika dibandingkan dengan menggunakan "antenna murni / natural" alias antenna resonan ........dst". 

Atau kalau kita membaca link ini http://www.hamuniverse.com/tuner.html akan kita temukan kalimat .... An antenna tuner, (transmatch), doesn't really TUNE your antenna OR ANY PART OF IT! .... yang artinya "ANTENNA TUNER TIDAK AKAN MAMPU MEN-TUNE ANTENNA YANG TIDAK MATCH !! (dia hanya "menjembatani ketidakcocokan antara output TX dengan input coax saja, semacam tugas interface pada komputer). Pada link ini juga bisa dibaca lebih lanjut penjelasannya.
  
Demikianlah, kalau basic- basic pengetahuan tentang antenna maupun transmission line (kabel) kita pelajari lebih dalam (karena sehari hari bisa kita temukan banyak sekali persepsi-persepsi yang salah ttg antenna, kabel maupun peralatan / instrumetnya), maka nanti lama-lama (pelan2) kita akan bisa memahami apa yang terkandung dalam pertanyaan .... "Kok bisa ya, bekerja hanya dengan TX 1 atau 5 watt saja kok mampu mencapai ribuan sampai belasan ribu km ?" .... Kuncinya adalah para QRP'er itu memang bekerja dengan effisiensi tinggi. Mereka selalu menghindari terjadinya  ineffisiensi dan losses2 besar pada seluruh rangkaian, mulai TX sampai antenna.

ANDAI ARISTOTELES TAHU KHILAFAH

ANDAI ARISTOTELES TAHU KHILAFAH
Oleh: Choirul Anam

Sering dikatakan oleh banyak orang, jika tidak memilih demokrasi, berarti memilih monarki. Lalu dikatakan bahwa monarki akan membawa pada tirani. Kemudian, disimpulkan bahwa “kalau tidak demokrasi berarti tirani”. Oleh karena itu, sistem pemerintahan terbaik adalah demokrasi. Bahkan seandainya di dalam demokrasi terdapat kekurangan, demokrasi tetap lebih baik dibanding tirani. 

Benarkah kalau tidak demokrasi berarti tirani? Untuk mengkaji hal ini kita perlu melacak para penggagas ide itu, yaitu para filusuf Yunani Kuno. Menurut Aristoteles sendiri sistem kekuasaan terbagi menjadi enam yaitu: monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi dan mobokrasi. Dengan mencermati klasifikasi jenis kekuasaan oleh Aristoteles ini, maka pernyataan bahwa “jika tidak demokrasi berarti tirani”, jelas bertentangan dengan maha gurunya sendiri. Sebab, selain tirani dan demokrasi, masih ada empat yang lain, yaitu monarki, aristokrasi, oligarki dan mobokrasi.

Selanjutnya masih menurut Aristoteles, jenis kekuasaan yang enam tadi dapat diringkas lagi menjadi tiga berdasarkan banyaknya orang yang memegang kekuasaan, yaitu apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan atau orang (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Kekuasaan di sini diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh.

Masih menurut Aristoteles, baik-buruknya kekuasaan itu tidak terletak pada jumlah pemagang kekuasaan, apakah kekuasaan itu mono, few atau many. Kekuasaan yang dipegang satu orang (mono) bisa baik, ini yang dinamakan monarki; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan tirani. Kekuasaan yang dipegang beberapa orang (few) bisa baik, ini yang dinamakan aristokrasi; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan oligarki. Kekuasaan yang dipegang banyak orang (many) bisa baik, ini yang dinamakan demokrasi; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan mobokrasi (anarki). Tentu saja yang dimaksud baik-buruk di sini, bukan dalam hakikatnya, tetapi baik-buruk menurut persepsi Aristoteles (manusia). Pembahasan baik-buruk dari aspek hakikatnya ini memerlukan pembahasan tersendiri.

Apakah dalam demokrasi, rakyat benar-benar berkuasa? Secara teori, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua jenis, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy). 

Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau. Namun menurut Rousseau, demokrasi langsung ini hanya mungkin dilaksanakan dalam masyarakat sederhana yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, jumlah rakyat harus sedikit, kedua pemilikan dan kesejehateraan harus sudah merata atau hampir merata, ketiga masyarakat harus homogen (sama) secara budaya, dan keempat masyarakat harus bermata pencaharian pertanian. 

Dalam demokrasi langsung, secara teoritis, kedaulatan rakyat memang lebih nyata karena rakyat terjun secara langsung tanpa perwakilan. Semua warga negara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, apakah demokrasi langsung ini benar-benar ada? Tidak ada. Bahkan, pada masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.

Dengan mustahilnya demokrasi langsung, maka demokrasi disulap menjadi demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap diasumsikan rakyat berdaulat. Ingat, diasumsikan. Sekali lagi, diasumsikan. Sebenarnya, rakyat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, pembuatan aturan dan UU. Yang membuat aturan adalah wakil rakyat.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat sebetulnya tidak terlibat dalam membuat UU dan aturan. Misalnya saja, dari hampir 240 juta jiwa warga negara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh sekitar 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Apakah 500 orang ini benar-benar mewakili rakyat? Secara teori memang harus begitu, tetapi jangan tanya praktiknya. Praktiknya, wakil rakyat justru mewakili para kapitalis atau mewakili dirinya sendiri atau partainya. Saat BBM dinaikkan, apakah itu wewakili suara rakyat??? Rakyat mana yang setuju BBM naik???

Dalam demokrasi, kekuasaan dan kepentingan menjadi tujuan. Karena itu kekuasaan dibagi-bagi. Oleh sebab itu, jika kekuatan-kekuatan politik berimbang, biasanya justru akan terjadi chaos (kekacauan), karena masing-masing kekuatan saling menyandra. Keadaan ini diungkapkan dengan pernyataan: bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Kondisi demokrasi yang seperti ini dinamakan dengan anarki atau mobokrasi. Anarki ini merupakan suatu bentuk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai. 

Jadi, pernyataan bahwa jika tidak demokrasi berarti tirani, merupakan pernyataan yang tidak ada landasan teoritisnya. Penyataan bahwa demokrasi selalu membawa kebaikan, juga tidak ada pijakan teoritisnya.

***
Telah dibahas bahwa baik buruknya kekuasaan bukan ditentukan dari jumlah pihak yang berkuasa, apakah mono, few atau many. Tidak bisa diambil kesimpulan bahwa demokrasi selalu berdampak baik, baik secara teori atau praktik. Bisa jadi, kekuasaan mono itu baik atau sebaliknya. Bisa jadi kekuasaan many itu baik atau sebaliknya.

Bahkan menurut para pakar sendiri bahwa kekuasaan yang dipegang satu orang (mono) terkadang lebih baik dibanding banyak orang. Sebab, jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi karena cuma ada satu kekuasaan yang dominan.

Namun kekuasaan yang hanya dipegang satu orang, akan menjadi tirani karena disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa. Tetapi, saat kekuasaan di pegang oleh many juga tidak ada jaminan tidak disalahgunakan oleh banyak (many) orang yang berkuasa. Bukankah kita sering mendengar tirani mayoritas? Bukankah kita melihat dengan kepala sendiri, korupsi berjamaah oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam sistem demokrasi?

Sebetulnya baik buruknya suatu kekuasaan sangat ditentukan oleh faktor lain, yaitu paradigma pihak yang berkuasa dan juga paradigma rakyat yang membentuk sistem. Selama paradigmanya adalah bahwa aturan dibuat manusia, maka baik yang berkuasan mono, few atau many, kekuasaan akan cendrung disalahgunakan oleh pihak yang membuat aturan. Pembuat aturan akan membuat aturan yang mementingkan dirinya, kelompoknya dan kolega-koleganya. Selama paradigma kebahagiaan hanyalah terpenuhinya kebutuhan indrawi, maka baik yang berkuasan mono, few atau many, kekuasaan akan dijadikan sebagai alat untuk memuaskan nafsu serakahnya. Di sini tidak ada bedanya kekuasaan itu mono, few atau many,.

Lalu, bagaimana solusi atas masalah ini? Inilah yang membuat Aristoteles dan para filosof lainnya pusing tujuh keliling. Sebab, solusi atas masalah itu haruslah memenuhi tiga syarat: 

Pertama, bahwa aturan itu harus dibuat oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal, karakter dasar manusia selalu mementingkan diri dan kelompoknya.

Kedua, pihak yang berkuasa harus memahami bahwa pertanggung-jawaban kekuasaannya harus lebih substantif, dibanding hanya pertanggung jawaban di hadapan manusia yang bisa dimanipulasi. 

Ketiga, rakyat yang diatur harus memiliki pemahaman tentang aturan yang berlaku, sehingga mereka terlibat dalam memberikan kontrol kepada penguasa saat mereka mengalami penyimpangan.

Terus terang ketiga syarat ini tidak akan pernah ditemukan, kecuali hanya dalam Islam. Hanya Islam dengan sistem Khilafahnya yang akan memnuhi ketiga syarat di atas. 

Pertama, dalam Khilafah, aturan datang dari Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta, yang tidak memiliki kepentingan apapun kecuali kebaikan umat-Nya. 

Kedua, hanya dalam Islam, pihak yang berkuasa, siapapun dia, akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT, pada suatu hari manusia tidak akan bisa berdusta. Sikap inilah yang dinamakan taqwa. Apakah ada taqwa dalam sistem selain Islam? 

Ketiga, hanya dalam Islam, rakyat memiliki pemahaman yang sama baiknya dengan para pemimpinnya. Sebab, al quran dan hadits  bukan hanya dipegang oleh para penguasa, tetapi juga dipegang dan dikaji dengan teliti oleh semua rakyat. Dengan demikian, saat seorang penguasa menyimpang dari aturan Allah SWT, rakyat akan maju ke depan mengoreksi pemimpinnya yang menyimpang. Bahkan Rasulullah SAW. menyampaikan dalam hadits: “Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. (HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy).

Dalam praktiknya yang sangat panjang selama lebih dari 1000 tahun, sistem Khilafah telah membawa kepemimpinan yang adil, berkah dan membawa kesejahteraan rakyatnya. Sebagai manusia biasa, seorang Khalifah meskipun dipilih dari kalangan orang yang ber-taqwa, tetapi dalam perjalanan waktu mereka bisa menyimpang. Kita juga telah melihat bagaimana masyarakat Islam (terutama para ulama) tampil di garda terdepan untuk mengoreksi para penguasa yang menyimpang. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh para ulama itu terdokumentasi dengan sangat baik, di berbagai kitab para ulama yang datang setelah, diantaranya adalah kitab Al Islam Bainal Ulama Wal Hukkam, karya Syeikh Abdul Aziz Al Badry.

Dalam Islam telah dipisahkan dengan sangat jelas antara assiyadah (kedaulatan, pembuat undang-undang) dan assulthan (kekuasaan, pihak yang memilih Khalifah). Dalam Islam assiyadah berada di tangan Allah SWT. Hanya Allah SWT yang memilikinya. Sementara assulthan itu milik umat, artinya pemimpin dipilih oleh umat bir-ridlo wal ikhtiyar (dengan keridloan dan kebebasan). Inilah yang membedakan Khilafah dengan semua sistem pemerintahan di dunia lainnya.

Itulah Islam. Itulah sistem Khilafah. 

Khilafah bukan demokrasi, namun juga bukan anarki. Khilafah bukan aristokrasi, namun juga bukan oligarki. Khilafah bukan monarki, namun juga bukan tirani. Khilafah adalah Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang datang dari Sang Pencipta alam semesta.

Saya tidak tahu bagaimana respon Aristoteles, seandainya dia mengetahui Islam dengan sistem Khilafahnya. Mungkin, dia akan menyatakan bahwa sistem inilah yang diidam-idamkannya.

Wallahu 'alam.

Surat Al Quran tentang RIBA

Berikut ini daftar 7 ayat dalam Al Quran tentang larangan riba. Dari 7 Ayat tersebut 4 Ayat terdapat dalam surat Al Baqarah, 1 ayat dalam surat Ali 'Imran, 1 Ayat dalam surat An Nisa' dan 1 ayat dalam surat Ar Rum.

1. Al Baqarah, Ayat : 275

Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

2. Al Baqarah, Ayat : 276

Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

3. Al Baqarah Ayat : 278

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

4. Al Baqarah Ayat 279

Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

5. Ali 'Imran, Ayat : 130

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda  dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.


6. An Nisa', Ayat : 161

Artinya : Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

7. Ar Rum, Ayat : 39

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang- orang yang melipat gandakan (pahalanya).