Selasa, 30 Oktober 2018

Implementasi Tribrata

Berikut pemahaman tentang Tribrata sebagai Pedoman Hidup Polri :
1. Pengertian Tri Brata, Tri Brata berasal dari Bahasa Sansekerta  yang  berarti; tri = tiga, dan brata= kaul (nadar).  Kaul atau nadar adalah pernyataan seseorang/kelompok atas dasar kemurnian/ keikhlasan hati sanubarinya, (jadi  tidak dipakai oleh pihak manapun juga). Jadi Tri Brata berarti tiga kaul (tiga nadar) yang telah diikrarkan oleh  Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk selanjutnya diamankan dan diamalkan oleh setiap anggotanya secara sungguh-sungguh.
2. Sejarah singkat Tri Brata, Tri Brata pada awalnya berlaku hanya untuk mahasiswa PTIK, namun dalam perkembangan sejarah Polri selanjutnya pada tanggal 1 Juli 1955 pada Upacara Hari Bhayangkara IX di lapangan Banteng Jakarta  Tri  Brata diikrarkan oleh kepala kepolosian Negara (KKN) Jenderal Polisi R. SAID SOEKANTO  TJOKRO DIATMODJO dan resmi menjadi pedoman hidup Polri. Sebelumnya Tri Brata merupakan kaul dari Doktoral PTIK yang pertama kali diucapkan oleh perwakilan doktoral PTIK Angkatan II,  yaitu Komisaris Polisi Drs. Soeparno Soeriya Atmadja (Mayjen Polisi Purn) pada tanggal  8 Mei  1954.
Konsep Tri Brata disusun oleh Prof. Joko Soetono, SH., guru besar PTIK, dimaksudkan untuk kaul para doktoral PTIK, namun diangkat menjadi pedoman hidup Polri. Sebagai pedoman hidup Tri Brata diisi azas yang perlu penjabarannya lebih konkrit lagi untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas Polri. Oleh karena itu dalam rapat Kepala Polisi Komisariat seluruh Indonesia, pada 5 – 7 Mei 1958 diterbitkan 15 butir pedoman penjabarannya.
Adapun isi Tri Brata  adalah  sebagai berikut:
Polisi ialah:
1) Rastra Sewakottama (abdi utama daripada nusa dan bangsa);
2) Nagara Janottama (warga negara tauladan daripada negara);
3) Jana Anusasana Dharma (wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat)
Sebagai pedoman diharapkan bahwa makna yang terkandung di dalamnya dapat langsung dilaksanakan oleh segenap anggota Polri, namun salah satu kendala yang dihadapi justru pada pemahaman bahasa serta rumusan Tri Brata yang syarat dengan filsafat. Kemampuan anggota Pori terutama pada tingkat bawah untuk mencerna nilai-nilai yang sifatnya filsafat ternyata sulit dan oleh karenanya diperlukan rumusan dalam Bahasa Indonesia yang lebih sederhana dan mudah dimengerti.
  1. Pemaknaan Baru Tri Brata
1)  Dasar
a) Undang-undang no  2 tahun 2002 tentang  Kepolisian  Negara Republik Indonesia  (pasal  34)
b) Surat keputusan Kapolri No.Pol :  Skep/17/VI/2002, tanggal  24 Juni 2002,  tentang pengesahan Pemaknaan baru  Tri Brata
c) Surat Perintah kapolri No.Pol.: sprin/829/IV/2002, tentang Sosialisasi pemaknaan baru Tri Brata
2)  Sebagaimana  kita  ketahui  bahwa  isltilah  “Tribrata”  pada  Tri  Brata lama  merupakan dua kata  yang ditulis secara terpisah dan diambil dari bahasa  Sansekerta,  Tri  yang berarti tiga dan brata atau  wrata yang jalan  atau kaul.
Dalam  rumusan  Tribrata   yang baru:
a) “Tribrata” ditulis sebagai satu kata yang tidak terpisah
b) Berdasarkan Kamus Besar Bahas Indonesia, kata “Tribrata” telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi satu kata, yang artinya Tiga Azas kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilambangkan dengan bintang.
3)  Adapun bunyi  dari  pemaknaan  “Tribrata” yang  baru  adalah  sebagai berikut:  “TRIBRATA” KAMI POLISI  INDONESIA
SATU : BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
DUA : MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM  MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
TIGA : SENANTIASA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN  UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
4)  Rumusan Tribrata baru seluruhnya telah menggunakan bahasa Indonesia, demikian pula hakekat makna yang  menggambarkan dimensi hubungan Polri yang semula  hanya tiga, kini diatambah dimensi hubungan dengan Tuhan sehingga menjadi empat, yaitu  :
a) Dimensi hubungan dengan Tuhan
b) Dimensi hubungan dengan Nusa  dan Bangsa
c) Dimensi hubungan dengan Negara
d) Dimensi hubungan dengan  masyarakat
  1. Pemaknaan Tribrata
KAMI POLISI  INDONESIA”,  Mengandung  makna:
(1)  Menunjuk kepada Polisi  sebagai lembaga  maupun  sebagai individu anggota Polri
(2)  Merupakan  pernyataan  ikatan  jiwa  korps  yang  kuat  antar sesama  anggota Polri
(3)  Merupakan pernyataan netralitas  Polri  baik institusi  maupun pribadi, sepanjang hanyat
(4)  Menegaskan  sikap politik Polri, bahwa ketika  Negara Kesatuan Republik Indonesia “bubar”  polisi tetap utuh di bawah Panji Tribrata,  membela Indonesia seperti dimaksud  para  pemuda pada  tahun 1928
(5)  Menegaskan  bahwa  Polisi  telah  berperan  sebagai  pejuang kemerdekaan bersama rakyat, dan  pada awal  berdirinya Repulik  Indonesia sebagai satu-satunya pasukan  bersenjata pada  saat  itu  memproklamirkan  diri  sebagai Polisi  Indonesia
  1. BRATA pertama: “KAMI  POLISI  INDONESIA  BERBHAKTI KEPADA  NUSA  DAN  BANGSA  DENGAN  PENUH KETAQWAAAN TERHADAP TUHAN YANG  MAHA  ESA”, mengandung makna:
(1)  Pernyataan setiap individu  Polri sebagai  insan hamba Tuhan
(2)  Pernyataan  Nasionalisme, kebangsan, sepanjang hanyat  ke-Indonesiaan
(3)  Mengadung  nilai-nilai kerokhanan yaitu   Satu  Nusa,  Satu Bangsa, Satu Bahasa, sebagi perekat bangsa  yang harus dibela dan  dipertahankan
(4)  Nusa dan Bangsa  adalah  Indonesia  yang  dinyatakan  Politis pada  tanggal 28  Oktober 1928
(5)  Polisi bukan  alat politik/  alat kekuasaan
  1. c) BRATA kedua: “KAMI POLISI  INDONESIA  MENUNJUNG TINGGI KEBENARAN,  KEADILAN  DAN  DALAM MENEGAKKAN  HUKUM NEGARA  KESATUAN  REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA       DAN UNDANG-UNDANG  DASAR  10945”,  mengandung makna:
(1)  Pernyataan  setiap  individu Polri sebagai  aparat  negara yang bertugas menegakkan  hukum
(2)  Negara  adalah negara  yang berdasarkkan  hukum  (rechtstaat) bukan kekuasaan (machtstaat)
(3)  Merupakan  kesanggupan  anggota  Polri untuk  menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan  hak  azasi  manusia yang merupakan ciri-ciri masyarakat  madani
(4) Kesanggupan Polri  mempertanggung  jawabkan pelaksanaan tugasnya  kepada rakyat/  masyarakat  sebagai wujud akuntabilitas  publik.
(5)  Merupakan  pernyataan  sikap politik Polri  yang  secara  tegas menyatakan  bahwa Republik Indonesia yang diberla Polri adalah Negara  Kesatuan  Republik Indonesia  yang berdasarkan pancasila dan UUD  1945
  1. e) BRATA ketiga: “KAMI POLRI  INDONESIA  SENANTIASA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANII MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN  UNTUK MEWUJUDKAN  KEAMANAN  DAN  KETERTIBAN  ”, mengadung makna:
(1)  Pernyataan  setiap anggota Polri untuk  menlindungi  dan mengayomi masyarakat  dengan ikhlas  tanpa  paksaan dari  luar dirinya
(2)  Menggambarkan tugas Polri secara  Universal yaitu   melindungi dan melayani masyarakat  (to protect  and to service).
(3)  Masyarakat  menjadi  centrum/  pusat  pengabdian Polri
(4)  Polri  menempatkan diri  sejajar  dengan  masyarakat  yang dilayaninya.
Implementasi nilai-nilai  Tribrata
(1)  Guna  memudahkan implementasi nilai-nilai  dasar dan pedoman  moral dalam  Tribrata bagi  setiap anggota Polri, berikut ini diberikan  contoh tata laku  yang  terkandung penelitian pada  masing-masing  Brata:7 1.1  BRATA BERBAKTI KEPADA  NUSA  DAN  BANGSA, merupakan dorogan  hati  nurani  yang berasal dari kesadarannya sendiri untuk  memberikan  pengabdian tertinggi  dalam  upaya melindungi  seluruh tumpah darah  Indonesia dari sabang samapai  merauke dengan kesiapan  kerelaan  mengorbankan jiwa  dan raga KETAQWAAN TERHADAP  TUHAN YANG MAHA ESA,  merupakan pernyataan kesadaran sebagai  insane  hamba  Tuhan yang  wajib melaksanakan  syariat agama  masing-masing  dalam kehidupan sehari-hari  dan dilingkungan tugasnya
  BRATA  II MENJUJUNG TINGGI  KEBENARAN  DALAM MENGAKKAN  HUKUM, dengan tetap berbijak pada  fakta  yang  ada,  serta proses  penyelidikan  yang profesioanl berdasarkan ketentuan perundangundangan yang ada. MENJUNJUNG  TINGGI KEADILAN  DALAM MENEGAKKAN HUKUM,  dengan  tidak membedakan  perlukan bagi  pencari  keadilan sehingga tercapai jaminan kepastian  hukum MENJUNJUNG TINGGI  KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN  HUKUM, dengan  tetap memperhatikan hak  azasi  seseorang  secara langsung/  tidak langsung dalam  proses  menegakkan hukum BERDASARKAN  PANCASILA DAN UUD  1945, merupakan  indentitas bangsa berdaulat dan bernegara,  dan bukan  bangsa  Indonesia yang indentitas lain  atau  akan  diubah  dengan  indetitas lain  yang  bukan berdasarkan pancasila dan UUD 1945
BRATA  III
Sebagai  PELINDUNG,  meberikan  bantuan  kepada warga  masyarakat yang  merasa terancam  dari gangguan fisik atau  psikis tanpa  perbedaan perlakuan.
Sebagai PENGAYOM,  dalam  setiap kiprahnya mengutaakan tindakan  yang bersifat  persuasive edukatif
Sebagai PELAYAN,  melayani  masyarakat, dengan kemudahan,  cepat,  simpatik,  ramah  dan  sopan  serta tanpa pembedaan biaya  yang tidak semestinya
Catur Prasetya (pedoman kerja)
Kandungan makna
  1. MENIADAKAN SEGALA BENTUK  GANGGUAN KEAMANAN” “Setiap Insan  Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia
b) Bersama-sama dengan  masyarakat  meningkatkan  daya  cegah dan daya  penanggulangan  gangguan  kamtibmas
c) Senantiasa berperan secara aktif  dalam  menanggulangi  setiap permasalah yang  timbul  dalam  kehidupan  masyarakat  dan
d) Membangun kemitraan dengan mengemban  fungsi  keamanan lainya  dalam  rangka menjaga dan  memelihara kewibawaan Pemerintah  Republik Indonesia
  1. MENJAGA KESELAMATAN JIWA RAGA, HARTA BENDA DAN HAK  AZASI MANUSIA” Bermakna  : “Setiap Iinsan Bhayangkara” terpanggil  untuk:
a) Melindungi masyarakat  dari setiap  gangguan dan  ancamanb)  Menjamin  kelancaran  aktivitas  masyarakat sehari-hari
c) Memberikan  pengayoman, perlindungan  dan pelayanan  secara optimal  kepada  masyarakat  dan
d) Menghormati dan  menjujung tinggi  hak-hak  masyarakat dalam berbagai  bidang  kehidupan
  1. MENJAMIN KEPASTIAN  BERDASARKAN HUKUM” Bermakna  : “Setiap Iinsan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Menjunjung tinggi dan  menjamin tegaknya supermasi hukum
b) Memberikan kedaulatan  kepada  masyarakat  dalam  mematuhi dan mentaati  hukum
c) Memahami dan  menghormati  norma-norma  dan nilai-nilai  yang berlaku  dan  menjunjung  tinggi  dalam  kehidupan  masyarakat dan
d) Melaksanakan asas-asas pertanganggungjawaban publik (keterbukaan,  serta menghormati  hak asasi  manusia ) persamaan  di  hadapan  hukum  bagi  setiap  warga  masyarakat
  1. MEMELIHARA PERASAAN TENTRAM DAN DAMAI” Bermakna : “Setiap Insan Bhayangkara” terpanggil untuk:
a) Meniadakan segala bentuk kehawatiran, keresahan, ketakutan dan ketidaknyamanan dalam  kehidupan  masyarakat
b) Berkerja sama  dengan  masyarakat  dalam  upaya menjaga lingkungan  masing-masing dari segala bentuk gangguan
c) Membangun kerja sama  dengan  mitra  kamtibmas dalam  rangka menciptakan persaan  tentram  dan  damai
d) Berperan sebagai  pemelihara  kedamaian  dalam  kehidupan masyarakat,  berbangsa dan bernegara.(*)

Senin, 22 Oktober 2018

Bendera Rasulullah, Al Liwa dan Ar Rayah





Umat Islam memiliki simbol bendera keagamaan. Dan mengenai bendera tersebut sudah banyak di sebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu alaihi wassalam tentang ciri ciri dan warnanya yang hingga saat ini di akui oleh seluruh umat Islam di dunia.
Berikut ini kutipan mengenai bendera Rasulullah
Bendera Al Liwa’
Adalah berwarna putih dan tertera di atasnya kalimat ‘LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH’ dengan warna hitam. Kalimat tersebut bermaksud ‘Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasulnya’.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Bahwa bendera Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam berwarna putih, sedangkan panji beliau berwarna hitam” Riwayat Ibnu Abbas yang lain menurut Abi Syeikh dengan lafaz, “Bahwa pada bendera Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam tertulis kalimat ‘LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH’.
Semasa perang (jihad), bendera ini akan dipegang oleh Amirul Jihad (panglima/ketua) perang. Ia akan dibawa dan menjadi tanda serta diletakkan di lokasi Amirul Jihad tadi. Dalil yang menunjukkan perkara ini adalah perbuatan (af’al) Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam sendiri, di mana baginda (sebagai amir), semasa pembukaan kota Makkah telah membawa dan mengibarkan bendera putih bersamanya.
Dari Jabir, “Bahawa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam memasuki Makkah dengan membawa Bendera Al Liwa’ berwarna putih.” [HR Ibnu Majah]. An-Nasa’i juga meriwayatkan Hadits melalui Anas bahawa semasa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam mengangkat Usama ibn Zaid sebagai Amirul Jihad (panglima) pasukan ke Rom, baginda menyerahkan Bendera Al Liwa’ kepada Usama ibn Zaid dengan mengikatnya sendiri.
Panji Ar Rayah
Panji Ar Rayah adalah berwarna hitam, yang tertulis di atasnya kalimah ‘LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH’ dengan warna putih.
Hadis riwayat Ibnu Abbas di atas menjelaskan hal ini kepada kita. Semasa jihad, ia dibawa oleh ketua setiap unit (samada Division, Batalion, Detachment ataupun lain-lain unit). Dalilnya adalah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, semasa menjadi panglima perang di Khaibar, bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu Rasulullah memberikan panji itu kepada Ali.” [HR Bukhari]. Sayidina Ali karramallahu wajhah pada masa itu boleh dikatakan bertindak sebagai ketua division ataupun regimen.
Diriwayatkan dari Harits Bin Hassan Al Bakri yang mengatakan, “Kami datang ke Madinah, saat itu dan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam sedang berada di atas mimbar, sementara itu Bilal berdiri dekat dengan beliau dengan pedang di tangannya. Dan di hadapan Rasulullah terdapat banyak rayah (panji) hitam. Lalu aku bertanya: “Ini panji-panji apa?” Mereka pun menjawab: “(panji-panji) Amru Bin Ash, yang baru tiba dari peperangan.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi, menggunakan lafaz, “Aku datang ke Madinah, lalu aku masuk ke masjid di mana masjid penuh sesak dengan orang ramai, dan di situ terdapat banyak panji hitam, sementara Bilal -ketika itu- tangannya sedang memegang pedang dekat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. Lalu aku bertanya: “Ada apa dengan orang-orang itu?” Mereka menjawab: “Beliau (Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam) akan mengirim Amru bin Ash ke suatu tempat.”
Maksud ungkapan “terdapat banyak rayah (panji) hitam” menunjukkan bahawa terdapat banyak panji-panji yang dibawa oleh para tentera, walaupun amir (panglima perang)nya hanyalah seorang, iaitu Amru Bin Ash. Dalam riwayat An Nasa’i, dari Anas, “Bahawa Ibnu Ummi Maktum membawa panji hitam, dalam beberapa pertempuran bersama Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.” Hadits-hadits di atas dan banyak lagi hadits-hadits lain menunjukkan kepada kita bahwa itulah ciri-ciri bendera dan panji Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. Nas-nas tersebut juga menunjukkan bahwa hanya terdapat satu bendera (liwa’) di dalam satu pasukan, tetapi boleh terdapat banyak panji (rayah) di dalam setiap unit dalam pasukan yang sama, yang dipegang oleh ketua unit masing-masing.
Nah, demikian sobat mengenai bendera dan panji Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Dan jelas warnanya adalah putih dan hitam bertuliskan kalimat syahadat ‘ain.

Sabtu, 20 Oktober 2018

Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.


Allah telah menjamin rejeki bagi semua hambanya. Manusia, jin, hewan bahkan tumbuhan semuanya sudah dijamin rezekinya oleh Allah subahanhu wa ta’ala selama masih bernyawa, Allah berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya…” (QS. Hud: 6).
Allah telah menjamin rezeki seluruh hambanya yang bernyawa, namun Allah subahanhu wa ta’alamemberikan jalan bagi hambanya untuk mencapai rezeki yang telah ditakdirkan untuknya. Dalam mencari rezeki manusia bisa memilih antara dua cara; halal atau haram. Baik dengan cara halal ataupun haram manusia bisa mendapatkan harta, namun kedua cara tersebut memiliki konsekuensi dan dampak di dunia dan akhirat.
Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan kepada hal-hal yang halal akan menjadi keberkahan bagi seseorang, jika Allah subahanhu wa ta’ala sudah memberkahi maka harta tersebut akan mencukupinya bahkan berkembang. Sedangkan harta yang didapatkan dengan cara yang haram akan menjadi bumerang yang suatu saat akan mencelakakan pemiliknya cepat ataupun lambat, di dunia ataupun di akhirat.
Orang yang mendapatkan hartanya dengan cara yang haram, dalam  hidupnya tidak akan merasakan ketenangan walau memiliki harta berlimpah, ia akan selalu dihantui oleh kekhawatiran dan rasa bersalah, dan itu adalah hukuman paling minimal baginya didunia, dan di akhirat tentu hukumannya jauh lebih berat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به
 Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.” (HR. Thabrani).
Harta yang haram akan menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta’ala, harta tersebut akan menjadi penghalang dikabulkannya doa, Rasulullah shalllallahu alaihi wasallam besabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً – وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ – ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ
Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk (melakukan) perintah yang disampaikan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amalan yang shaleh.” Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu.” Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh (lama), tubuhnya diliputi debu lagi kusut, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, ‘wahai tuhanku wahai tuhanku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim).
Mencari harta dengan cara yang haram banyak bentuknya, misal; mencuri, merampok, korupsi, menipu dalam jual-beli, makan uang riba, sogok-menyogok dan lain-lain. Dan semuanya tidak akan luput dari pengadilan Allah subhanahuwa ta’ala di akhirat kelak, andai orang yang mencari harta dengan cara haram luput dari pengadilan dunia, ia tidak akan luput dari pengadilan Allah subhanahu wa ta’ala di Akhirat.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَعَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْ أَيْ شَيْءٍ أَنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ كَيْفَ عَمِلَ فِيْهِ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara; Tentang badannya, untuk apa ia gunakan, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia beramal dengannya.” (HR. Tirmidzi).
Alangkah baiknya kita mencari rezeki yang Allah hamparkan bagi kita didunia dengan cara yg halal walau harus dengan berkerja keras dan hasil yang pas-pasan. Itu jauh lebih baik daripada menikmati harta haram di dunia lalu diakhirat menjadi bumerang yang melemparkan pemiliknya ke dalam api neraka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya”. [HR. Ibnu Hibban]

Selasa, 09 Oktober 2018

GHIRAH

Hamka: Ghirah Adalah Nyawa

Sesungguhnya Allah pun cemburu (yagharu) dan orang yang beriman juga cemburu (yaghaar). Kecemburuan Allah, yaitu jika orang mukmin melakukan apa yang diharamkan” (Bukhari dan Muslim)
Banyak asumsi beredar di kalangan kaum muslimin Indonesia tentang makna ghirah. Namun, agaknya konvensi yang sering muncul menyebutkan ghirah memiliki arti semangat. Definisi ini  tentu masih menyisakan sejumlah pertanyaan: apa, mengapa, dan bagaimana “semangat” yang dimaksud itu? Maka, penting bagi kita memahami makna sesungguhnya istilah tersebut dan bagaimana kedudukannya dalam Islam.
Adalah Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang pada sekitar tahun 1954 menulis buah pikirannya terkait makna dan kedudukan ghirah. Goresan pena ulama dan sastrawan Minang yang akrab disapa Buya Hamka ini kemudian dicetak dalam bentuk buku tipis berjudul “Ghirah dan Tantangan terhadap Islam”.
Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hal. 3) atau cemburu (hal. 9). Dalam bukunya itu, Buya membagi ghirah (cemburu) ini menjadi dua macam: cemburu karena perempuan dan cemburu karena agama. Keduanya, menurut Buya, adalah simbolnya masih hidupnya jiwa seseorang, utamanya seorang muslim. Artinya, jika sudah tak ada lagi ghirah ini, mengutip pernyataan Buya Hamka, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (hal. 8) Demi menegaskan, Buya Hamka sengaja menyatakan kalimat serupa makna dengan ini di beberapa tempat. Ghirah inilah tanda bahwa kita masih hidup, begitu penulis Tafsir Al-Azhar ini hendak berpesan kepada kita. Mengapa demikian?
Secara implisit Buya menyampaikan argumentasinya menyebut ghirahsebagai nyawa kita dengan mengutip syair Ali bin Abi Thalib r.a. Kata sahabat dan sepupu Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh Buya Hamka, saat menyindir orang yang sudah luntur ghirahnya:
Sangat awaslah kalau harta bendanya tersinggung tetapi tak ada perasaannya apabila agamanya kena musibah
Di bagian lain, Buya Hamka juga menyitir sabda Rasulullah:
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)
Dengan kata lain, kecemburuan ini sah dan bahkan diperintahkan dengan syarat keimanan yang menjadi landasan. Hal yang perlu kita cemburui juga, kata Buya Hamka, menyangkut dua hal: wanita dan agama. Wanita maksudnya ialah hendaknya kita tidak rela dan lebih bagus lagi berbuat sesuatu atas tindakan tidak sewenang-wenang terhadap wanita. Tentu ini tidak berarti bahwa hanya wanita yang dianggap makhluk lemah dan patut dibela. Bukan demikian. Melalui dua dalil di atas sejatinya kita bisa menyimpulkan bahwa segala macam ketidakadilan mestinya dilawan. Mengapa wanita? Dengan berhusnuzhan  kepada Buya, sepertinya Buya ingin lebih memprioritaskan persoalan wanita sebagai objek yang kerap menjadi korban penindasan ketimbang kaum Adam. Dengan dalih international minded, eksploitasi wanita sering terjadi. Mode pakaian, tata pergaulan, norma berkedok custom(kata orang Inggris) atau etiquette (kata orang Perancis) sering menjadikan wanita sebagai “tumbal”. Tak bisa dibayangkan bagaimana rupa perempuan Indonesia, khususnya para muslimah, jika hal-hal semacam ini menggeser nilai yang lebih tinggi dan terjamin mutunya. Terhadap fenomena seperti inilah kita diharuskan memainkan peran ghirah kita. Lakukan perlawanan dengan cara yang kita bisa. Sekali lagi, jika tidak ada perlawanan, sejatinya nyawa sudah tercabut dari raga kita.
Adapun ghirah terhadap agama, sebagaimana dikatakan oleh Ali r.a. di atas adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Sehingga tidak bisa kita menegasikan dengan ketentuan bahwa agama Allah akan menang dengan sendirinya walaupun tidak kita bela. Bukankah Mahakaya, Mahaperkasa, dan tidak membutuhkan makhluk-Nya? Allah ialah Al-Qayyuum, Maha Berdiri Sendiri. Kuasa Allah memelihara Islam sebagai undang-undang-Nya tidak boleh diragukan. Namun, ketahuilah bahwa janji Allah memenangkan Islam ialah satu hal, sedangkan kewajiban kita membelanya adalah hal lain. Ghirah terhadap Islam ini adalah kebutuhan kita sendiri, bukan untuk Allah. Maka, sudah sepantasnya kita bereaksi tatkala Islam dilecehkan. Tentu saja tetap diperlukan ilmu untuk menentukan apa dan bagaimana bentuk konkret ghirah kita.
Lebih lanjut, demi merampungkan pembahasan tentang ghirah agama, Buya Hamka mengisahkan beberapa fakta yang tidak banyak diketahui tentang sosok Mahatma Gandhi. Pribadi salah satu tokoh besar India ini dikenal dalam level internasional sebagai orang yang toleran, tidak fanatik, dan selalu menghargai perbedaan. Namun, ternyata dalam beberapa kesempatan ia juga tidak bisa menafikan perlunya ghirah terhadap agamanya, Hindu. Apakah ini salah? Tentu tidak. Asalkan perwujudan kecemburuan seseorang terhadap agamanya masih dalam koridor yang bisa diterima. Sekali lagi, karena ghirah itu adalah nyawa dan jiwa. Raga kita tiada berguna manakala ia telah tiada.

Sumber:
Hamka. (1984). Ghirah dan tantangan terhadap islam. Pustaka Panjimas: Jakarta

Kamis, 04 Oktober 2018

Waktu Mustajab untuk berdoa

Doa adalah senjata orang mukmin, ia penghilang kegundahan, pelenyap kesusahan dan solusi jitu untuk menyelesaikan berbagai problematika hidup, karena memang pada saat berdoa kita sedang memohon kepada Dzat yang Menguasai dan Memiliki seluruh jagad raya ini; di tangan-Nya lah segala perbendaharaan langit dan bumi. Pertanyaannya, kapankah waktu ketika doa dijamin akan dikabulkan pada hari Jum’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh  Al-Bukhari dan Muslim dalam shahihnya?

Sebaik-baik hari bagi umat Islam dalam sepekan adalah hari Jum’at. Ia-lahsayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Ta’ala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat Al-Kahfi, shalat Jum’at berikut amalan-amalan yang menyertainya, dan amal ibadah lain yang sangat dianjurkan sekali pada hari Jum’at.

Di dalamnya juga terdapat satu waktu di mana doa begitu mustajab; dijanjikan akan dikabulkan. Tidaklah seorang hamba yang beriman memanjatkan do’a kepada Rabbnya pada waktu itu kecuali  Allah akan mengabulkannya selama tidak berisi pemutusan silaturahmi dan tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan dan memanfaatkan waktu yang berbarakah ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum’at lalu beliau bersabda,
« فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ »
“Pada hari  itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim shalat berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (HR. Bukhari nomor 893[1]dan Muslim nomor 852) [2]

Hadits ini berkaitan dengan salah satu keutamaan hari Jum’at di mana pada hari tersebut Allah akan mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Nya. Doa yang dipanjatkan pada saat itu mustajab (mudah dikabulkan) karena bertepatan dengan waktu pengabulan doa.

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang waktu dikabulkannya doa pada hari Jum’at ini. Sampai-sampai Ibnu Hajar[3] dan Asy-Syaukani[4] menyebutkan empat puluh tiga pendapat beserta argument masing-masingnya.

Dari kesemuanya, pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ini ada dua; yaitu pertama, sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai, dan kedua, di akhir waktu setelah shalat Ashar.

Tentang hal ini, Ibnu Hajar berkomentar, “Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling kuat adalah hadits Abu Musa (sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai) dan hadits Abdullah bin Salam (akhir waktu setelah shalat Ashar).” Muhibb Ath-Thabari juga berkata, “Hadits yang paling shahih adalah hadits Abu Musa, dan pendapat yang paling masyhur adalah pendapat Abdullah bin Salam.[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah dua pendapat yang dituntut oleh hadits-hadits yang tsabit, dan salah satunya lebih kuat daripada yang lain.”[6] Dari sinilah kemudian para ulama salaf berbeda pendapat manakah dari keduanya yang lebih kuat.

Berikut ini uraian lebih rinci tentang kedua pendapat tersebut :
Pendapat pertama : waktu mustajab itu dimulai sejak duduknya imam di atas mimbar sampai shalat selesai. Hujjah dari pendapat ini adalah hadits Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari, dia bercerita, “Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jum’at?’ Aku (Abu Burdah) menjawab, “Ya, aku pernah mendengarnya berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ

“Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat.” (HR. Muslim nomor 853 [7] dan Abu Dawud nomor  1049 [8]).

Pendapat kedua : waktu mustajab berada di akhir waktu setelah shalat Ashar.

Hadits yang menerangkan hal ini cukup banyak, di antaranya :

1. Hadits Abdullah bin Salam

Abdullah bin Salam berkata, “Aku berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jum’at terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sesaat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya,‘kapan saat itu berlangsung?’ beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Saat itu berlangsung pada akhir waktu siang.” Setelah itu  Abdullah bertanya lagi, ‘Bukankah saat itu bukan waktu shalat?’ beliau menjawab,

بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاة

“Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat.” (HR. Ibnu Majah nomor 1139, dan Syaikh Al-Albani menilainya hasan shahih[9]).

2. Hadits Abu Hurairah

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Suatu ketika saya keluar menuju sebuah bukit, lalu saya berjumpa dengan Ka’ab Al-Ahbar, maka saya pun duduk-duduk bersamanya. Lantas, ia menceritakan perihal kitab Taurat kepada saya, dan saya pun menceritakan perihal Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepadanya.
Di antara perkara yang saya ceritakan kepadanya ialah, ketika itu saya mengatakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sebaik-baik hari yang disinari matahari ialah hari Jum’at –sampai pada sabda beliau- ‘Di dalamnya terdapat satu waktu, tidaklah seorang muslim melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, lalu ia memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya itu.”

Ka’ab berkata, ‘Apakah yang demikian itu berlangsung satu hari dalam setahun?’, maka, saya menjawab, ‘Bukan, tetapi dalam setiap hari Jum’at.’ Lantas, Ka’ab pun membaca kitab Taurat, lalu ia berkata, ‘Rasulullah benar’

Abu Hurairah melanjutkan, “Lalu saya berjumpa dengan Bashrah bin Abu Bashrah Al-Ghifari. Lantas, ia bertanya kepada saya. ‘Dari mana Anda tadi?’ saya menjawab, ‘Dari sebuah bukit’ maka ia berkata, ‘Kalau saja saya berjumpa dengan Anda sebelum Anda keluar ke sana, maka saya tidak akan keluar. Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak boleh bepergian (dalam rangka beribadah) kecuali ke tiga masjid: masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi), dan masjid Elia (masjil Aqsha di Baitul Maqdis). Ia ragu.’

Abu Hurairah berkata, “Saya kemudian berjumpa dengan Abdullah bi Salam. Maka saya pun menceritakan perihal perbincangan saya dengan Ka’ab Al-Ahbar kepadanya, dan mengenai apa yang saya ceritakan kepadanya tentang hari Jum’at.”

Saya –Abu Hurairah- berkata, “Ka’ab mengatakan bahwa yang demikian itu terjadi satu hari dalam setahun.”

Abu Hurairah melanjutkan, “Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab telah berbohong.’, lalu saya mengatakan, ‘Kemudian Ka’ab membaca kitab Taurat, dan berkata, ‘Ya, benar, yang dimaksud ialah pada setiap hari Jum’at.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab benar.’ Selanjutnya, Abdullah bin Salam mengatakan, ‘Sesungguhnya saya mengetahui persis mengenai waktu yang dimaksud itu?’

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata kepadanya, ‘Beritahukan kepada saya tentang waktu itu, dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya terhadap saya.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Waktu yang dimaksud adalah waktu yang akhir pada setiap hari Jum’at.’

Abu Hurairah berkata, “Lantas, saya bertanya, ‘Bagaimana mungkin kalau waktu yang dimaksud ialah saat-saat yang terakhir pada hari Jum’at, sementara Rasulullah sendiri telah bersabda, “Tidaklah seorang muslim menjumpainya, di kala ia sedang melakukan shalat…; sementara waktu yang kamu sebutkan itu ialah waktu yang tidak boleh melakukan shalat?’

Lantas, Abdullah bin Salam menjawab,

أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ حَتَّى يُصَلِّىَ »

‘Bukankah Rasulullah juga telah bersabda, ‘Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis sambil menunggu-nunggu shalat, maka ia itu berada dalam kondisi melakukan shalat hingga ia benar-benar melaksanakan shalat?’.” 

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata, ‘Ya, tentu.’ Abdullah bin Salam berkata, ‘Ya, itulah waktu yang dimaksud’.” (HR. Abu Dawud nomor 1046[10], At-Tirmidzi nomor  491, dan Abu Isa berkomentar hadits hasan shahih, sedangkan Al-Albani berkomentar hadits shahih.[11]).

3. Hadits Jabir bin Abdillah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Dari Jabir bin Abdillah, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari Jum’at adalah dua belas jam. Di dalamnya terdapat satu waktu di mana tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu, melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah ia pada saat-saat terakhir setelah shalat Ashar.”  (HR. An-Nasa’I nomor 1388[12]).

Dari dua pendapat ini, pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini dianut oleh Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad dan yang lainnya.[13] Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, “Saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahli Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut.” [14]

Sekalipun pendapat kedua lebih kuat, beberapa ulama tetap menganggap bahwa pendapat pertama juga perlu diakui keabsahannya. Oleh karenanya mereka berusaha mengambil jalan tengah dengan menggabungkan kedua pendapat di atas. Tetap melazimi berdoa pada kedua waktu tersebut.
Imam Ahmad berkata, “Mayoritas hadits tentang waktu yang diharapkan terkabulnya doa menunjukkan bahwa itu terjadi setelah Ashar, tetapi juga diharapkan setelah tergelincirnya matahari (setelah imam berdiri untuk berkhutbah pen.).” [15]

Ibnu Abdil Barr berkata, “Semestinya yang dilakukan seorang muslim adalah bersungguh-sungguh memanjatkan doa kepada Allah untuk kebaikan agama dan dunia pada dua waktu yang telah disebutkan karena berharap dikabulkan. Karena doa itu tidak akan sia-sia, insyaAllah. Sungguh benar perkataan Ubaid bin Abrash yang mengatakan, “Siapa yang meminta kepada manusia, mereka akan menolaknya, dan siapa yang meminta Allah, pintanya tidak akan sia-sia.” [16] Bahkan, Ibnul Qayyim yang menguatkan pendapat kedua pun, beliau tetap menekankan agar setiap muslim tetap membiasakan berdoa pada waktu shalat. Katanya, “Menurut hemat saya, waktu shalat juga merupakan waktu yang diharapkan terkabulkannya doa. Jadi, keduanya merupakan waktu mustajab meskipun satu waktu yang dikhususkan di sini adalah akhir waktu setelah shalat Ashar. Sehingga ia merupakan waktu yang telah diketahui secara pasti dari hari Jum’at; tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat, ia mengikuti shalat itu sendiri; maju atau mundurnya. Sebab, dengan berkumpulnya kaum muslimin, shalat, kekhusyukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki dampak dan pengaruh yang sangat besar untuk dikabulkan. Karena, ketika kaum muslimin sedang berkumpul sangat diharapkan sekali doa terkabulkan.” [17]

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkesimpulan, “Dengan demikian, semua hadits yang disebutkan di atas sesuai dan berkaitan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanjatkan doa dan bermunajat kepada Allah pada dua waktu dan masa ini.”[18]

Hal ini juga diikuti oleh Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa’id bin Ali al Qahthan dalam Shalâtul Mukmin. Syaikh Ibnu Bazz berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jum’at. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar. Mungkin saat ini juga terjadi setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan.” [19]

Jadi, mari tetap memuliakan dua waktu tersebut dengan banyak-banyak berdoa, karena doa kita pasti dikabulkan, entah kapan; diijabahi langsung, atau dihindarkan dari bahaya yang setara dengan doanya, atau sebagai penghapus dosa, atau menjadi simpanan di akhirat kelak. Wallahu A’lam bish Shawab.

[1]  .  Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, Tahqiq : Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha, Cet. III, 1407 H/ 1987 M, Dar Ibni Katsir-Beirut, juz I, hal.  316,
[2]  . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal.  583.
[3]  .  Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bârî Syarh Shahihil Bukhârî, Cet. I, 1410 H/ 1989 M, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, juz II, hal. 529-535.
[4]  .  Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authâr Syarh Muntaqal Akhbâr, Darul Fikr, Beirut, juz III, hal. 297-299.
[5]  .  Fathul Bârî Syarh Shahihil Bukhârî, ibid, juz II, hal. 535.
[6]  .  Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, Tahqiq : Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-Arnauth, Cet. XIV, 1407 H/ 1986 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut , I/389.
[7]  . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal. 584.
[8]  . Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud As-Sajastani Al-Azdi, Sunan Abî Dâwud, Tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Darul Fikr, juz I, hal. 342.
[9]  .  Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Al-Qazwaini, Sunan Ibni Mâjah, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Darul Fikr, Beirut,  juz I, hal. 360.
[10]  .  Sunan Abî Dâwud, ibid, juz I, hal. 341.
[11]  . Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Silmi, Al-Jâmi’ush Shahîh Sunan At-Tirmidzî, Tahqiq : Ahmad Muhammad Syakir, dll, Dar Ihya’it Turats Al-Arabi, Beirut, juz II, hal. 362.
[12]  .  Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I bi Syarhis Suyuthi wa Hasyiyatis Sandi, Cet. V, 1420 H, Tahqiq : Maktab Tahqiqit Turats, Darul Ma’rifah-Beirut, juz III, hal. 110.
[13]  .  Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, ibid, juz I, hal. 390.
[14]  . Idem, juz I, hal. 396.
[15]  . Abu Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzî bi Syarhi Jâmi’it Tirmidzî, 1415 H/ 1995 M, Darul Fikr, Beirut, juz III, hal. 5.
[16]  . Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An-Namiri Al-Andalusi,At-Tamhîd lima fil Muwaththa’ minal Ma’âni wal Asânîd, Tahqiq : Usamah bin Ibrahim, Cet. IV, 1431 H/ 2010 M, Al-Faruq Al-Haditsah, juz IV, hal. 57.
[17]  .  Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, ibid, juz I, hal. 394.
[18]  . Idem, juz I, hal. 394.
[19]  . Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Shalâtul Mu’min, Cet. II, 1424 H/ 2003 M, Muassasah Al-Jarisi-Riyadh, juz II, hlm. 758-759.
 Sumber :  El-Afifi-OaseImani