Senin, 16 September 2013

PERANG SAUDARA, SEJARAH KELAM UMAT ISLAM

UMAT Islam punya riwayat perang saudara (civil war) yang banyak dalam literatur Sejarah Islam. Perang saudara pertama di mulai pada masa kekhalifahan Usman bin Affan ra (644-655 M). Saat itu terjadi aksi demonstrasi besar-besaran, melancarkan protes dan menuntut mudur khalifah yang sah, Usman bin Affan. Sebab dalam kepemimpinannya, Usman dianggap telah melakukan praktik nepotisme dengan menempatkan kroni-kroninya pada jabatan-jabatan penting di lingkup kekhalifahan.

Usman waktu itu sudah berusia lebih 70 tahun, dituntut mundur dan menunjuk calon khalifah lain sebagai penggantinya. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh anggota keluarga Usman sendiri. Bahkan, keluarganya berupaya para demonstran dengan senjata, sesuatu hal yang sama sekali tidak diinginkan Usman. Sikap keras keluarga untuk tetap mempertahankan Usman sebagai khalifah, akhirnya harus dibayar mahal dengan terbunuhnya Usman bin Affan ketika ia sedang melaksanakan shalat.

 Tugas berat kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib Karamalalhu wajhah (656-661 M) menjadi khalifah pengganti Usman. Tugasnya sangat berat waktu itu. Ia harus menstabilkan keadaan negeri dan menyanggupi permintaan rakyatnya. Tapi yang menjadi ‘bebannya’ dalam memimpin adalah upaya mencari pembunuh Usman kemudian menghukumnya dengan peraturan yang sah. Pihak (keluarga dan simpatisan) Usman terus mendesak agar kematian Usman segera di usut.

Demikian pula pihak Aisyah (isteri Nabi saw) menaruh iba dan bersikeras agar kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan itu diungkapkan ke publik. Thalhah menentang kekhalifahan Ali dan menaruh curiga bahwa kelompok Ali yang membunuh Usman. Muawiyah dengan jelas tak mem-bai’at kekhalifahan Ali. Akibatnya situasi kekhalifahan memanas dan kacau, sehingga ia harus mengungsi dari Madinah ke Kufah yang relatif aman dari rongrongan kaum Muawwiyah.

Perang saudara terjadi lagi, Aisyah dengan naik unta ikut berperang sehingga disebut perang jamal (unta). Suatu hal yang tidak diinginkan Ali, bagaimana mungkin ia akan berperang dengan Isteri Nabi saw, sosok pujaannya? Tapi tak bisa dielakkan. Semua karena situasi yang tak dapat dikendalikan. Kemenangan berpihak pada pasukan Ali. Muawwiyah menjadi ‘berang’ dan memutuskan perang lagi di Lembah Shiffin (perang Shiffin).

Perang saudara berkecamuk lagi, lantunan suara Allahuakbar menggema ke angkasa, malaikat menjadi sibuk membawa doa-doa mereka kepada Allah swt. Peperang hendak di menangkan Ali, pasukan Muawwiyah sudah melemah, dengan kecerdikannya Muawwiyah mengangkat Alquran diujung tombaknya, tanda ingin damai. Justru itulah yang diinginkan Ali, atas peristiwa arbitrase (tahkim) ini terjadi mediasi forum publik.

Proses perundingan menjadi alot dan panas, delegasi Ali (Abu Musa al-Asy’ari) membuat pernyataan bahwa kedua mereka tidak boleh lagi menjadi calon khalifah tapi dipilih lain, tetapi delegasi Muawwiyah (Amr bin ‘Ash) menyatakan sebaliknya, karena delegasi Ali menginginkan pemilihan ulang, maka itu tak elok dilakukan, tapi Muawwiyah saja diangkat menjadi khalifah. Akhirnya Muawwiyah (661-680 M) memegang tampuk pimpinan, ia membai’at dirinya sendiri waktu itu. Ali dan pengikutnya tak habis pikir akan peristiwa itu. Di tambah sebagian pengikutnya membangkanginya karena peristiwa arbitrase itu.

Dari peristiwa tersebut disebutkan lahirnya perpecahan yang akut dalam tubuh umat Islam. Umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan (sekte). Kaum Syiah (pengikut setia Ali) tetap tak mengakui kekhalifahan Muawwiyah, Khawarij (golongan yang membelot dari Ali) mengatakan darah Ali dan Muawwiyah halal karena mereka telah berhukum bukan dengan hukum Allah. Kaum Murjiah tetap berada pada pertengahan. Sedangkan golongan Muawwiyah (Sunni) sudah memimpin, dan bersedia menjaga kepemimpinannya dari ancaman apapun darimanapun.

Sejarawan dan Teolog muslim menulis disitulah awal mula perseteruan Teologi dalam Islam. Mereka memiliki alur pemikiran masing-masing dalam menterjemahkan Islam, Alquran, juga surga dan neraka. Akibatnya hari ini dapat kita saksikan golongan (sekte) Islam itu. Ada yang bersikap keras dan sebaliknya biasa-biasa saja. Sehingga orang Barat melabelkan Islam dengan beberapa Istilah seperti Fundamentalisme, Ekstrimisme, Terorisme dan lain-lain. Kalau diteliti lebih lanjut kaum-kaum itu, ujung-ujungnya mereka adalah korban konflik perang saudara waktu dulu. Di sini juga dapat dikatakan banyak umat Islam sekarang berIslam berdasarkan peristiwa Sejarah (Islam sejarah) dari pada Islam itu sendiri.

Perang Saudara Saat Ini
Rasanya perang saudara (sesama umat Islam) akan terus terjadi dalam tubuh umat Islam, kalau tidak ada ‘pencerahan’ intelektualitas umat Islam semacam ketercapaian mediasi musyawarah. Suriah di bawah presiden Bashar Assad berideologikan Syiah mati-matian menjaga kepemimpinannya dari amukan sipil militeristik rakyatnya yang berteologikan Sunni. Otomatis Iran mendukung tentara al-Asad dan memerangi ‘bughah’ dari rakyatnya. Dan menariknya umat Islam yang berafiliasi Sunni pun mengikat kerja sama yang baik, yang dibelakangnya juga ada negara besar seperti Arab Saudi. Beberapa hari yang lalu Raja Arab Saudi meminta Rusia supaya tidak mendukung Bashar Ashad dengan ditawarkan hadiah yang menarik dan mahal.

Contoh lain ‘perang’ saudara, Mesir. Presiden terpilih secara demokrasi Muhammad Mursi dikudeta oleh militer. Kudeta ini juga disponsori oleh ulama al-Azhar (grand syaikh). Rakyat kebanyakan dari organisasi Ikhwanul Muslimin menolak kudeta ini dan melakukan demontrasi besar-besaran menuntut Mursi dikembalikan menjadi presiden. Pihak militer di bawah Jenderal al-Sisi tetap pada pernyataan pertama. Konflik ini telah memakan ribuan nyawa manusia. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mendukung langkah-langkah yang dilancarkan oleh pihak militer Mesir.

 Bagaimana sikap kita?
Lalu, bagaimana sikap kita dalam menyikapi kenyataan yang terjadi sekarang inidi negara-negara Islam itu? Terlalu naif kalau disimpulkan bahwa kita pro dan kontra pada satu kelompok tertentu. Agama (Islam) sebagai rahmatan lil’alamin, mengajarkan kita membawa kedamaian kepada seluruh penduduk bumi, dari bangsa, rasa, warna kulit, agama manapun di dunia ini. Sikap yang terbaik menurut hemat penulis hanyalah berdoa supaya Allah swt memberikan solusi perdamaian kepada saudara-saudara kita, baik yang ada di Suriah maupun di Mesir. Memberi donasi obat, makanan, pelayanan kesehatan dan apapun yang bermanfaat semampu kita.

Selanjutnya dimanapun berada kita dapat menyuarakan perdamaian bukan saling menprovokasi, mengadu domba apalagi menfitnah. Karena yang sedang berperang adalah saudara kita sesama Islam. Kita tidak perlu menggotong senjata ke sana dengan alasan jihad. Ya Allah mohon karuniakan kepada seluruh umat Islam kemenangan dan kedamaian, Anugerahkanlah kepada umat Islam di Mesir, Suriah dan seluruh umat Islam di dunia rasa persaudaraan, semoga umat Islam dapat bersatu tidak terpecah belah. Lindungi kami dari fitnah dunia dan jagalah kami dari musuh-musuh yang membenci kami. Amin ya Rabbal ‘alamin.

* Syamsul Bahri, Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: syamsulbahri167@ymail.com

Senin, 02 September 2013

DIALOG antara Guru Sejati vs Santri-nya



Seringkali kita dihadapkan pada perselisihan tentang kebenaran suatu aliran dalam agama. Di satu sisi mengatakan bahwa alirannyalah yang terbenar sedang aliran lain atau agama lain itu tidak benar, sehingga banyak terjadi pertikaian bahkan berujung pada peperangan.  Marilah kita resapi dialog di bawah ini.

Terjadi dialog di dalam SARUNG antara Guru Sejati vs Santri-nya tentang hakekat ketuhanan, dan doktrin sangkar keagamaan. Dialog ini dapat terjadi kapan saja, di mana saja, pada setiap pribadi tanpa sadar maupun benar-benar disadari.

Dari hasil dialog berikut, tidak akan mencari siapa pemenangnya, karena hal itu tidaklah penting. Yang lebih utama adalah bagaimana kita belajar berdialog dengan tema yang sangat sensitif dan krussial. Siapapun bila sering melakukan dialog dengan diri sendiri (kontemplasi) paling tidak akan mendapat hasil minimal berupa mental yang lebih matang dan emosi yang lebih stabil.

Maka semakin sering kita melakukan kontemplasi terutama hal-hal yang sangat kontradiktif akan membawa sikap mental kita lebih arif dan bijak dalam memahami dan memandang kehidupan yang teramat kompleks ini.

Santri :
agama adalah jalan kebenaran.

Guru Sejati :
menurutku agama adalah jalan menggapai kebaikan, kearifan, dan kebijaksanaan dalam hidup.

Santri :
berarti kebenaran menjadi tidak penting ?

Guru Sejati :
memang apa pentingnya berbicara kebenaran, jika hasilnya membuat kerusakan di muka bumi dan bencana kemanusiaan ? Jika kita bicara kebenaran, terlalu repot melakukan verifikasi kebenaran itu sendiri. Sebab kebenaran bukan hanya sekedar jargon, tembung omongane, jarene, kata ini dan kata itu. Tapi buktikan sendiri. Kebenaran bukan ada dalam kulit yg penuh keberagaman. Itulah sebabnya, kamu baru menyaksikan kebenaran dengan mudahnya pada saat memasuki dimensi HAKEKAT. Hakekat, adalah nilai yg merambah universalitas universe, dapat dirasakan oleh seluruh makhluk, oleh manusia segala macam bangsa, suku, dan semua umat berbagai agama. Jika hanya dirasakan oleh salah satu suku, ras, agama, golongan, hal itu belumlah merupakan nilai hakekat. Artinya, nilai-nilai masih terkait dengan cara pandang subyektif, dan sarat demi kepentingan pribadi.

Santri :
contohnya ?

Guru Sejati :
gula pasir itu manis, merupakan sesuatu yg pasti, dan lidah semua org bisa merasakan bahwa gula itu manis. Gula adalah unsur ragawi atau “kulit” (sembah raga), sementara rasa manis adalah hakekatnya (sembah rasa). Nah, rasa manis tidak hanya dimiliki oleh gula pasir, ada gula jawa, gula merah, gula aren, gula-gula, sakarin, madu, sari bunga, getah pohon, jagung, sari buah, dan sebagainya. Itulah agama atau keyakinan, yang sepadan dengan berbagai materi yg manis tersebut. Kamu ingin merasakan rasa manis, kamu bebas memilih mau pake gula merah, gula pasir, gula aren, sakarin atau pemanis buatan, sari buah, madu, jagung (tropicana), atau yg lainnya semua terserah pilihan kamu, mana yang paling kamu sukai dan pas dengan selera lidah kamu. Nah…apa yg terjadi dengan umat beragama di dunia ini ? Yaitu tadi…berebut saling mengklaim bahwa rasa manis hanya bersumber dari gula pasir, umat yg lain bilang salah itu keliru dan sesat, karena yang bener sumber rasa manis adalah berasal dari sakarin. Hahaha….seperti org buta yg pegang gajah. Tapi orang buta tersebut suka menuduh org lain sebagai org buta yg pegang gajah.

Santri :
loh..bukankah agama mempunyai misi menyebarkan kebenaran di muka bumi..?!

Guru Sejati :
waaaahh, daya pikir rasio kamu kok terbatas banget ya Ndhul ?. Kok ramudheng-mudheng to !. Yah..begitulah misi agama, bahkan banyak agama misinya ya demikian itu…menyebar dan mengkampanyekan kebenaran, tapi itu tidak menjamin dunia ini tenteram dan damai ?

Santri :
loh kok kontradiksi dengan misinya ?

Guru Sejati :
sudah jelaskan … apa hasilnya? masing-masing agama saling berebut dirinyalah yg paling bener, bahkan terkesan memaksakan diri mbener-benerke ajarane dewe-dewe !

Santri :
tapi bukankah hanya ada satu agama yg benar ?!

Guru Sejati :
semua agama bisa mengklaim demikian, dirinyalah yg paling benar.

Santri :
ahh…jadi bingung saya !

Guru Sejati :
agar tidak bikin bingung, … hormati saja agama yg menebarkan kebaikan. Bukan agama yg cari benere dewe !

Santri :
agama yg menebarkan kebaikan belum tentu benar !

Guru Sejati :
juga belum tentu TIDAK benar !

Santri :
lantas bagaimana kita harus mensikapi agama supaya lebih arif dan bijak ??

Guru Sejati :
agama hanya perlu keyakinan kamu !

Santri :
berarti saya cukup yakin saja ?

Guru Sejati :
semua agama hanya berdasarkan keyakinan. Rasakan saja…jangan pake nalar, agama yg paling pas dengan jiwa dan membuat nurani kamu tenteram.

Santri :
tidak semua agama hanya berdasarkan keyakinan saja, artinya, agama atas dasar kebenaran !

Guru Sejati :
mana buktinya ?!

Santri :
agamaku !

Guru Sejati :
itulah contoh orang yg barusan kita bahas, merasa diri paling bener !

Santri :
lalu bagaimana idealnya sikap saya terhadap agama saya ?

Guru Sejati :
saya ulangi, cukup dengan yakin, dan jadilah orang yg bijak dan arif kepada siapa saja, jangan menyakiti hati dan mencelakai orang lain, dan seluruh makhluk. Tak usah membeda-bedakan apa agama yg dianutnya. Lihat saja perbuatannya yg bisa kamu lihat. Jangan menebak-nebak isi hatinya untuk memvonis apakah seseorang baik atau buruk. Kamu menebak hati sendiri saja susahnya bukan main, apalagi menebak hati org lain !

Santri :
kan… seseorang yg tidak punya agama dinamakan kafir, orang kafir pasti celaka hidupnya dan masuk neraka.

Guru Sejati :
binatang dan tumbuhan adalah makhluk hidup, mereka kafir semua, tetapi hidupnya bukan hanya mendapatkan berkah ilahi, justru lebih mulia menjadi berkah bagi alam semesta termasuk berkah bagi manusia !

Santri :
hmmm…??

Guru Sejati :
mereka itulah umat yg paling taat pada perintah tuhan, paling setia pada kodrat alam, paling patuh terhadap rumus-rumus alam semesta. Mereka tak pernah menganiaya manusia dan lingkungan alamnya. Tidak seperti manusia.

Santri :
lalu…?

Guru Sejati :
saya balik tanya… lebih tepat mana, agama yg menyiarkan kebenaran, atau agama yg menyiarkan kebaikan, bagaimana manusia harus berperilaku baik..?

Santri :
ya jelas…agama yg menyiarkan kebenaran.

Guru Sejati :
berarti kamu terlalu telmi (telat mikir) atas apa yg dibahas di atas. Carilah agama yg paling ikhlas dan jujur !!

Santri :
bagaimana agama yg ikhlas dan jujur ?

Guru Sejati :
Agama yg paling ikhlas adalah agama yang hanya mengajak seluruh manusia berbuat arif dan bijak, berperilaku terpuji dan budi pekertinya luhur (akhlakul karim) tanpa perlu mengajak-ajak, bahkan setengah memaksa orang lain utk bergabung ke dalam institusi agama tersebut. Mau bergabung silahkan mau enggak juga enggak apa-apa. Itulah agama paling ikhlas dan fairplay (jujur).

Santri :
kalau agama yg selalu berusaha mencari pengikut yg sebanyaknya ?

Guru Sejati :
itu tak ubahnya agama PARPOL. Kegiatannya adalah agitasi, propaganda, kampanye, dirinyalah partai yg paling baik dan benar. Diam-diam institusi agama sudah berubah misi menjadi institusi politik. Mencari pengikut sebanyaknya supaya menjadi kuat dan semakin kuat untuk menyerang dan melawan keberadaan keyakinan orang lain yg tdk seagama dianggapnya sebagai musuh.

Santri :
kalau nggak ada musuh ?

Guru Sejati :
ya.. dibuatlah musuh imajiner, musuh yg dibuat-buat dan diada-adakan.

Santri :
kan musuh agama biasanya agama lainnya?.

Guru Sejati :
itu merupakan kecurigaan kamu pribadi, bahkan rasa curiga kamu akan meretas kecurigaan umat lain pada kamu, begitulah kecurigaan dan sentimen antar agama sudah menjadi lingkaran iblis yg sulit dimusnahkan. Jadinya kerjaan umat hanyalah saling curiga-mencurigai. Bahkan di antara umat dalam satu agama pun terjadi perilaku saling mencurigai. Agama menjadi bahan peledak yg setiap saat akan menghancurkan bumi, alias membuat kiamat planet bumi ini. Tak ubahnya agama lah yg menciptakan neraka bagi manusia.

Santri :
kenapa bisa begitu ?

Guru Sejati :
karena agama keluar dari misi sucinya, yakni menebarkan kedamaian, ketentraman dan kebaikan bagi alam semesta seisinya. Agama juga lebih mengutamakan kampanye dirinyalah yg paling benar.

Santri :
apa salahnya ?

Guru Sejati :
salahnya, bukankah kebenaran itu perlu kepastian, seperti ilmu pasti, dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan sains. Itu barulah kebenaran pasti, yg real. Sementara agama merupakan sistem kepercayaan, atau keyakinan.

Santri :
lho…dalam ajaran agama kan ada beberapa kejadian dan sinyalemen atau gejala akan suatu kebenaran dalam realitas alam semesta.

Guru Sejati :
sejak abad keberapa kitab-kitab suci semua agama itu ada ? umurnya masih muda bukan ? sementara itu manusia sudah ada sejak (paling tidak) 2 juta tahun silam. Bumi ini ada sejak bermilyar tahun silam. Sebelum agama-agama dengan kitab-sucinya ada, manusia pun telah menemukan berbagai kebenaran tak terbantahkan dalam menjalani kehidupan. Itu juga karena welas asih dan keadilan tuhan. Isi ajaran agama tidak termasuk kebenaran pasti, tetapi berisi ajaran kebaikan, semacam aksioma yang runut dan logis. Namun bisa ditafsirkan dengan multi interpretasi sesuai kepentingan dan kemauan pembacanya. Maka dikatakan kitab itu fleksibel sesuai perkembangan zaman. Ini pengertian yg bias sekali. Alias, isi kitab selamanya tak akan pernah bertentangan dengan penafsiran manusia. Karena sadar atau tidak manusialah yg selalu berusaha (baca; memaksakan diri) utk menundukkan pola pikir dan persepsinya sendiri agar sesuai dengan isi kitab. Itulah kebiasaan manusia selama ini, membiarkan kesadaran dirinya di dalam sangkar emas. Sementara agama banyak mengajarkan ttg kegaiban, lalu manusia buru-buru menyimpulkan bahwa akal manusia sangat terbatas utk memahami kegaiban. Bagi saya kegaiban itu sangat masuk akal, jika tak masuk akal berarti belum tahu rumus-rumus yg berlaku di alam gaib. Jika mengkamulkan isi kitab pun kenyataannya sudah mengalami perluasan dan penyempitan makna setelah ditranslate ke dalam berbagai bahasa oleh banyak orang yg memiliki penafsiran beragam corak dan warnanya.

Santri :
apa buktinya ...?

Guru Sejati :
lihat saja, begitu banyaknya aliran dan faham dalam satu agama saja. Tidak hanya puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Semua itu sudah menjadi hukum alam, bahwa aliran dan faham (mazab) akan selalu bermunculan dan kian banyak seiring perjalanan waktu, sesuai dengan kompleksitas rasio manusia, dan daya nalar yg menimbulkan persepsi dan penafsiran beragam. Apa jadinya kalau mereka saling mengklaim dirinya paling benar ?

Santri :
yaaah .. berebut kebenaran atau golek benere dewe. Yang menimbulkan perpecahan, perselisihan, permusuhan, saling curiga, saling menjatuhkan, saling bunuh, saling fitnah.

Guru Sejati :
akar segala macam fragmentasi dan kehancuran di dalam satu agama, tidak lain disebabkan oleh penafsiran, persepsi dan pemahaman setiap individu, pengikutnya, dan akhirnya menjadi kelompok besar yg siap bersimbah darah demi kesadaran palsunya.

Santri :
hmmmm jadi..? agar supaya agama turut andil menciptakan ketenangan batin, ketentraman, dan kaedamaian dunia ini, idealnya tak usah menekankan akan kebenaran dirinya, tetapi lebih mengutamakan kampanye untuk selalu berbuat baik kepada seluruh makhluk. Nah kebaikan kan relatif, masing2 org punya penafsiran pula yg berbeda-beda akan nilai kebaikan itu… ? apa patokannya ? sama saja kan…harus kembali pemurnian diri ke kitab dan sunah thok thil. Makin bingung saya !

Guru Sejati :
pandaganmu itu terlalu menyempitkan realitas kemaha luasan hakekat Tuhan Yang Maha luas tiada batas. Idealnya, suatu perbuatan barulah menjadi kebaikan, dengan syarat, tidak menerjang kodrat universe. Kodrat alam semesta. Nilai yang paling universal dan tidak menabrak kodrat alam, adalah setiap perbuatan yang kita lakukan selalu didasari dengan rasa KASIH SAYANG yg tiada bertepi,  rasa welas-asih kadya samudra tanpa tepi, welas tanpa alis, kasih sayang yg TULUS, tanpa pamrih. Kecuali berharap saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk dalam jagad raya ini.

(http://www.yaskum.info)

APA BEDA SUNNI DAN SHIAH


INILAH.COM, Jakarta --Perang saudara yang kini berkecamuk di Suriah mengarah pada perang sektarian antara kelompok mayoritas Islam Sunni dan Islam Shiah. Kelompok oposisi yang mayoritas menganut Islam Sunni didukung oleh negara-negara kaya minyak di Teluk Arab, Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa.
 
Sementara kubu pemerintah Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad representasi dari kubu Islam Shiah dari aliran Alawiyah, didukung oleh Iran, Rusia dan China.
Sebetulnya peperangan ini sungguh merugikan umat Islam. Tokoh Shiah dan bekas Presiden Iran Ayatollah Akbar Hashemi Rafsanjani dan pemikir terkemuka Sunni Yusuf Al-Qadarawi “menekankan tak perlu sampai terjadi gontok-gontokan antara penganut Sunni dan Shiah,” dan mesti “mewaspadai konspirasi kekuatan-kekuatan hegemoni dan Zionsime yang memang bertujuan melemahkan Islam.”
Apa sebetulnya perbedaan yang mewarnai Islam Sunni dan Shiah? Berikut penjelasan yang dirangkum dari berbagai sumber:

Teologi

Lima rukun Islam menjadi kewajiban setiap Muslim. Kewajiban itu meliputi; mengucapkan kalimat sahadat, menjalankan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, mendermakan zakat dan berhaji ke Mekkah. Lima pilar ini sangat penting bagi Muslim Sunni.
Lima rukun Islam itu juga diterima kaum Shiah. Tapi kaum Shiah menganggap dua konsep terpenting untuk mendefinisikan agama sebagai sebuah kesatuan, yakni Akar Agama (usul al-din) dan cabang-cabang agama (furu al-din).

Pewaris Nabi Muhammad SAW

Kaum Sunni meyakini bahwa Abu Bakar, ayah Aisha isteri Nabi Muhammad, adalah pengganti sah dan bahwa metode memilih para pemimpin (shura) seperti yang termaktub dalam Al Qur’an adalah berdasar musyawarh umat.
Sementara kaum Shiah meyakini bahwa Muhammad boleh mewariskan kepemimpinannya kepada keponakan dan menantunya Ali (ayah Hasan dan Hussein ibnu Ali, yang juga para cucu Nabi) sesuai dengan perintah Allah untuk menjadi kalifah berikut sepeninggal Muhammad. Ali menikah dengan Fatimah, puteri Muhammad.
Aisha, isteri Nabi, mengusulkan ayahnya Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad. Dalam Perang Jamal (656 M) di luar kota Basrah (sekarang masuk wilayah Irak), Aisah berseberangan dengan menantunya tirinya Ali, karena Aisha menghendaki agar pembunuh kalifah sebelumnya diadili.
Pasukan Aisha kalah dan janda Nabi ini dihormati dan dikawal kembali ke Medinah. Kaum Sunni meyakini empat kalifah sepeninggal Muhammad yang patut memimpin umat Islam, adalahAbu Bakar (622-634), Umar ibnu al-Khattab (634-644), Usman ibnu Affan (644-656) dan Ali ibnu Abi Talib (656-661).
Teologi Shiah meredusir legitimasi tiga kalifah pertama dan meyakini Ali sebagai kalifah yang paling layak menjadi orang mewarisi ajaran Muhammad. Dan para keturunan Mohammad dari Fatimah (anak Nabi dari isteri Khaijah binti Khuwailid), menjadi satu-satunya para pemimpin Islam yang sah (imam).
Keimaman dalam Shia lebih mengemukakan fungsi Kenabian daripada Kekalifahan di kalangan Sunni. Tidak seperti kaum Sunni, Shiah meyakini kualitas spiritual tidak hanya diberikan kepada Nabi Muhammad,namun juga kepada Ali dan para imam lainnya.
Sementara Shiah meyakini para imam jauh dari dosa dan kesalahan manusia (ma’sum), dan dapat memahami serta menerjemahkan ajaran Islam yang tersembunyi. Dalam pengertian ini,imam adalah wali kepercayaan yang mendapat sinar Nabi Muhammad (Nur Muhammad).

Imam Mahdi

Sementara Shiah dan Sunni berbeda pendapat mengenai siapa sesungguhnya Imam Mahdi, tapi banyak orang dari dua aliran besar Islam ini (khususnya kaum Sufi), meyakini Imam Mahdi akan muncul pada akhirul zaman yang membawa keadilan dan kesempurnaan di dalam masyarakat Islam.
Dalam Shiah “simbol Imam Mahdi dikembangkan menjadi ide keagaman sentral dan kuat. Shiah yakin Imam Mahdi sesungguhnya adalah Muhammad al-Mahdi, Imam ke-12 yang kembali darikesirnaannya, karena disembunyikan Allah sejak tahun 874 M.
Sebaliknya, arus besar Sunni meyakini Imam Mahdi akan bernama Muhammad, yang bisa berasal keturunan Mohammad, yang dapat menghidupkan kembali keyakinan datangnya Imam Mahdi, tapi tidak perlu terkait dengan akhir zaman. Namun Al Qur’an tidak merujuk adanya Imam Mahdi.

Hadis

Shiah menerima beberapa hadis yang digunakan oleh kaum Sunni sebagai bagian sunnah Rasulullahuntukberargumentasi. Sebagai tambahan, mereka menganggap perkataan Ahlul Bait yang tidak berhubungan langsung dengan Muhammad,juga sebagai hadis.
Shiah tidak mau menerima hadis-hadis kaum Sunni, kecuali hadis-hadis itu juga terekam dalam sumber-sumber Shiah.
Namun, beberapa kalangan Sunni dapat menerima hadis yang kurang disukai kaum Shiah. Salah satu contoh: karena posisi Aisha terhadap Ali (menantu tiri), maka hadis yang diriwayatkan oleh Aisha tidak mendapat otoritas seperti yang diriwayatkan para sahabat lain.
Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang dianggap kaum Shiah sebagai musuh Ali. Argumen kaum Shiah, bahwa Abu Hurairah baru menjadi Muslim empat tahun sebelum Muhammad meninggal. Meskipun dia mendampingi Muhammad hanya selama empat tahun, tetapiia berhasil mengumpulkan hadis sepuluh kali lebih banyak dari pada hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Abu Bakar atau Ali masing-masing.

Penekanan

Aliran utama Sunnisme mementingkan “shariah”, hukum suci. Sebaliknya, Shiah juga mengikuti hukum Islam dengan “kehati-hatian” ketat, namun keyakinannya itu ditambah dengan ijtihad, atau menggunakan pikiran dalam meneliti ajaran Al Quran.

Shiahisme dan Sufisme

Shiahisme dan Sufisme sama-sama menganut simbol yang sama: percaya pada makna Al Qur’an yang dalam, status keutamaan para almarhum (wali dalam Sufi, imam dalam Shiah), dan penghormatan yang tinggi kepada Ali serta keluarga Muhammad.

Praktik keagamaan

Salat
Dalam salat, orang Shiah meletakkan keningnya saat sujud ke sebuah material yang secara alamiah terbentuk, kebanyakan sebuah papan tanah liat (mohr), atau tanah (turbah) semasa zaman Karbala, tempat Hussein ibnu Ali meninggal, atau kini bersujug dengankening di atas sajadah.
Juga ada kebiasaan semacam ini di kalangan Sunni, seperti bersujud di atas tanah, atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah.
Orang Shiah melakukan salat secara jamak: subuh sekali, sementara dhuhur dan asar digabung dan magrib disatukan dengan Isha’. Jadi orang Shiah memang salat lima kali namun dengan jeda yang sangat mepet antara dua waktu salat. Sementara orang Sunni bersalat dengan jeda waktu paling tidak satu jam.
Kaum Shiah dan pengikut mazhab Sunni Maliki menyedekapkan tangan mereka agak menyamping, sementara kalangan Sunni menyilangkan kedua tangan (tangan kanan di atas tangan kiri).
Nikah Mut’ah
Di kalangan Shiah diperboleh melakukan nikah mut’ah, perkawinan sementara dengan waktu terbatas – yang justru tidak diperbolehkan di komunitas Sunni atau kaum Shiah Ismailia tau Shiah Zaidi. Pernikahan semacam ini dianggap tidak sah karena seperti perzinahan.
Nikah mut’ah tidak sama dengan pernikahan misyar atau pernikahan arfi, yang tidak mengenal masa berlakunya dan diizinkan oleh beberapa kalangan Sunni.
Penikahan Misyar berbeda dengan pernikahan konvensional Islam, karena lelaki dalam pernikahan ini tak berkewajiban memberi nafkah kepada si wanita atas kehendak si wanita sendiri. Sementara si laki-laki dapat menceraikan si wanita kapan pun dia mau.
Jilbab dan pakaian
Wanita Sunni maupun Shiah sama-sama mengenakan jilbab atau hijab. Wanita Shiah yang taat secara tradisional mengenakan hijab berwarna hitam sama seperti para wanita Sunni di Teluk Arab. Para pemimpin Shiah juga menggunakan jubah hitam.
Wanita Shiah dan Sunni mengenakan hijab dengan cara berbeda. Beberapa pemuka Sunni menekankan perlunya menutupi seluruh badan termasuk melindungi muka di public, sementara ulama lain mengatakan muka tak perlu ditutup hijab.
Kaum Shiah meyakini bahwa hijab harus menutupi lingkaran wajah hingga dagunya. Sebagian wanita Shiah, seperti yang di Iran dan Irak, menggunakan tangan mereka memegangi cadar hitam, agar menutupi wajahnya saat berada di muka umum seperti orang Sunni.

(www.inilah.com)