Jumat, 29 April 2016

Perbedaan Tinggi Badan Pagi dan Malam

Pertumbuhan tinggi badan akan berhenti ketika seseorang memasuki fase dewasa. Tapi tahukah Anda, saat pagi hari tubuh orang dewasa akan lebih tinggi 1 cm dibandingkan malam hari.

Otot dan tulang menyediakan kerangka kerja bagi tubuh manusia dan memungkinkan untuk melompat, berlari atau hanya berbaring di sofa.

Ada beberapa fakta menarik seputar otot dan tulang, salah satunya tubuh manusia lebih tinggi sekitar 1 cm di pagi hari daripada di malam hari. Hal ini dipengaruhi tulang rawan.

Tulang rawan antara tulang-tulang akan dikompresi atau tertekan saat berdiri, duduk dan kegiatan sehari-hari lainnya yang orang lakukan sepanjang hari. Inilah yang membuat tubuh seseorang sedikit lebih pendek di malam hari, setelah melakukan berbagai aktivitas di malam hari, seperti dilansir Health24, Senin (8/8/2011).

Selain pertambahan tinggi di pagi hari, ada beberapa fakta menarik lain seputar otot dan tulang, antara lain:

1. Otot yang dibutuhkan untuk tersenyum lebih sedikit dibandingkan cemberut
Dibutuhkan 17 otot untuk tersenyum dan 43 untuk mengerutkan kening. Itu sebabnya tersenyum adalah pilihan yang jauh lebih mudah dilakukan bagi kebanyakan orang dibandingkan cemberut.

2. Jumlah tulang bayi lebih banyak dibandingkan orang dewasa
Bayi lahir dengan 300 tulang, tapi pada saat dewasa jumlah ini berkurang menjadi 206. Banyak tulang anak-anak terdiri dari komponen tulang yang lebih kecil yang belum menyatu seperti di tengkorak. Hal ini membuat lebih mudah bagi bayi untuk melewati jalan lahir. Tulang akan mengeras dan menyatu seiring dengan pertambahan usia anak.

3. Otot terkuat dalam tubuh manusia adalah lidah dan tulang yang paling keras adalah tulang rahang.

4. Orang membutuhkan 200 otot saat melakukan 1 langkah
Jika sekali langkah membutuhkan 200 otot, maka bisa dihitung berapa otot yang akan berfungsi ketika Anda melakukan sekitar 10.000 langkah sehari.

5. Gigi satu-satunya bagian dari tubuh manusia yang tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri
Lapisan luar enamel gigi bukan merupakan jaringan hidup, karena itu tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri. Jika Anda mengalami patah gigi, maka solusinya hanya bisa diatasi oleh dokter gigi. 

Senin, 25 April 2016

"CARILAH MAKHLUK YANG LEBIH HINA DARI DIRIMU".

UJIAN TERAKHIR DARI KYAI. "CARILAH MAKHLUK YANG LEBIH HINA DARI DIRIMU".

Di sebuah pondok pesantren, terdapat seorang santri yang tengah menuntut ilmu pada seorang Kyai. Sudah bertahun-tahun lamanya si santri belajar .Hingga tibalah saat dimana dia akan diperbolehkan pulang untuk mengabdi kepada masyarakat

Sebelum kang Santri tersebut pulang, Kyai memberinya satu ujian untuk membuktikan bahwa si Santri benar-benar sudah matang ilmunya dan siap menghadapi kehidupan diluar Pesantren.

Pak Kyai kemudian berkata pada Kang santri.

"Sebelum kamu pulang, dalam tiga hari ini, aku ingin meminta kamu mencarikan seorang ataupun makhluk yang lebih hina dan  buruk dari kamu, “ujar sang Kyai.

“Tiga hari itu terlalu lama Kyai, hari ini aku bisa menemukan banyak orang atau makhluk yang lebih buruk daripada saya,”jawab Santri penuh percaya diri.

Sang Kyai tersenyum seraya mempersilakan muridnya membawa seorang ataupun makhluk itu kehadapannya.
Santri keluar dari ruangan Kyai dengan semangat, ”hem, ujian yang sangat gampang!”

Hari itu juga, si Santri berjalan menyusuri jalanan ibu kota. Di tengah jalan, dia menemukan seorang pemabuk berat. Menurut pemilik warung yang dijumpainya, orang tersebut selalu mabuk-mabukan setiap hari. Pikiran si Santri sedikit tenang, dalam hatinya dia berkata, 

“ähay.. pasti dia orang yang lebih buruk dariku, setiap hari dia habiskan hanya untuk mabuk-mabukan, sementara aku selalu rajin beribadah.”

Dalam perjalanan pulang Si santri kembali berpikir,

" kayaknya si pemabuk itu belum tentu lebih buruk dari aku , sekarang dia mabuk-mabukan tapi siapa yang tahu di akhir hayatnya Allah justru mendatangkan hidayah hingga dia bisa khusnul Khotimah, sedangkan aku yang sekarang rajin ibadah, kalau diakhir hayatku, Allah justru menghendaki Suúl Khotimah, bagaimana? “Huuh… berarti pemabuk itu belum tentu lebih jelek dari aku,”ujarnya bimbang.

Kang  Santri kemudian kembali melanjutkan perjalanannya mencari orang atau makhluk yang lebih buruk darinya. Di tengah perjalanan, dia menemukan seekor anjing yang menjijikkan karena selain bulunya kusut dan bau, anjing tersebut juga menderita kudisan. 

“Akhirnya ketemu juga makhluk yang lebih jelek dari aku, anjing tidak hanya haram, tapi juga kudisan dan menjijikkan, ”teriak santri dengan girang.

Dengan menggunakan karung beras, si Santri membungkus anjing tersebut hendak dibawa ke Pesantren, Namun ditengah jalan , tiba-tiba dia kembali berpikir, 

“anjing ini memang buruk rupa dan kudisan, namun benarkah dia lebih buruk dari aku?” Oh tidak, kalau anjing ini meninggal, maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia, sedangkan aku harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama di dunia dan bisa jadi aku akan masuk ke neraka. 

Akhirnya si santri menyadari bahwa dirinya belum tentu lebih baik dari anjing tersebut.

Hari semakin sore , Kang  Santri maaih mencoba kembali mencari orang atau makluk yang lebih jelek darinya. Namun hingga malam tiba, dia tak jua menemukannya. Lama sekali dia berpikir, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke Pesantren dan  menemui sang Kyai.

“Bagaimana Anakku, apakah kamu sudah menemukannya?”tanya sang Kyai.

“Sudah, Kyai,”jawabnya seraya tertunduk. “Ternyata diantara orang atau makluk yang menurut saya sangat buruk, saya tetap paling buruk dari mereka,”ujarnya perlahan.

Mendengar jawaban sang Murid, kyai tersenyum lega,

”alhamdulillah.. kamu dinyatakan lulus dari pondok pesantren ini, anakku,”ujar Kyai terharu. 

Kemudian Kyai berkata "Selama kita hidup di Dunia, jangan pernah bersikap sombong dan merasa lebih baik atau mulia dari orang ataupun makhluk lain. Kita tidak pernah tahu, bagaimana akhir hidup yang akan kita jalani. Bisa jadi sekarang kita baik dan mulia, tapi diakhir hayat justru menjadi makhluk yang seburuk-buruknya. Bisa jadi pula sekarang kita beriman, tapi di akhir hayat, setan berhasil memalingkan wajah kita hingga melupakan_Nya.

Kamis, 14 April 2016

Dzikir Setelah Shalat Jumat

Ada berbagai macam amalan yang bisa dilakukan setelah sholat Jum’at, mulai dari  sholat sunnah, i’tikaf, sedekah, membaca Al Quran hingga Dzikir. Sebagian Ummat Islam ada yang rutin membaca zikir tertentu usai sholat jumat dengan bilangan tertentu pula. Salah satunya membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas masing-masing tujuh kali.  Pertanyaannya, apa dasar bacaan tersebut? Hukumnya sunnah atau bid'ah sebagaimana yang selalu dituduhkan saudara-saudara seiman lainnya?

Hari Jumat merupakan sayyidul ayyam (penghulu hari), hari di mana kaum muslimin yang berkumpul bersama di masjid untuk menjalankan shalat Jumat. Karena itu hari Jumat merupakan salah satu hari raya umat Islam. Pada hari itu kita dianjurkan untuk memperbanyak pelbagai kebajikan seperti sedekah dan lain-lain.

Sedangkan mengenai hukum membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas setelah imam salam sebanyak tujuh kali menurut para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i adalah sunah.

Kesunahan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan al-Hafizh al-Mundziri dari Anas bin Malik RA. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Tuhfatul Habib karya Sulaiman al-Bujairimi.

وَرَوَى الحَافِظُ اَلْمُنْذِرِيُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ :مَنْ قَرَأَ إذا سَلَّمَ الإمامُ يَوْمَ الجُمُعَةِ قَبْلَ أنّ يُثْنِيَ رِجْلَهُ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وقُلْ هُوَ الله أحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ سَبْعاً سبعاً غَفَرَ الله له ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وما تَأخَّرَ وأُعْطِيَ مِنَ الأجْرِ بِعَدَدِ كُلّ منْ آمَنَ بالله ورَسُولِه.

“Al-Hafizh al-Mundziri meriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan surat An-Nas (al-mu`awwidzatain) masing-masing sebanyak tujuh kali ketika imam selesai membaca salam shalat Jumat, sebelum melipat kakinya, Allah akan mengampuni dosanya yang lalu dan sekarang, dan diberi pahala sebanyak orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, II, h. 422).

Hadits yang dikemukakan di atas dengan sangat gamblang menunjukkan bahwa membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali setelah shalat Jumat memiliki keutamaan yang sangat luar biasa, yaitu bisa menjadi sebab turunnya ampunan Allah SWT. Bahkan selain ampunan, Allah juga memberikan pahala besar bagi orang yang melakukannya. Dari sini lah kemudian kesunahan atau ajuran membaca surat-surat tersebut setelah shalat Jumat dapat dimengerti.

Lebih lanjut Sulaiman al-Bujairimi juga mengutip hadits lain yang diriwayatkan Ibnus Sunni dari hadits riwayat Aisyah RA.

وَرَوَى ابْنُ السُّنِّيِّ مِنْ حَدِيثِ عاَئِشَةَ أَنَّ النَّبِيِّ قَالَ : ( مَنْ قَرَأ بَعْدَ صَلاةِ الجمعة ) قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (الاخلاص) وقُلْ أَعُوذُ بربَّ الفَلَقِ (الفلق) وقَلْ أَعُوذُ بَربَّ النَّاسِ (الناس) سَبْعَ مَرَّاتٍ أعَاذِهُ اللهُ بِهَا مِنَ السّوُّءِ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Ibnus Sunni meriwayatkan dari hadits riwayat Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Barang siapa yang membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali, maka Allah akan melindunginya dari kejelekan sampai hari Jumat yang lain,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, juz, II, h. 422)

Lebih jauh, Sulaiman al-Bujairimi mengemukakan pendapat Abu Thalib al-Makki—seorang sufi besar, penulis kitab Qutul Qulub fi Mu’amalah al-Mahbub—yang menganjuran membaca ‘Ya ghaniyyu ya hamid, ya mubdi’u ya mu’id, ya rahimu ya wadud, aghnini bi halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, setelah shalat Jumat sebanyak empat kali.

قَالَ أَبُو طَالِبٍ اَلْمَكِّيُّ : وَيُسْتَحَبُّ لَهُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ أَنْ يَقُولَ يَا غَنِيُّ يَا حَمِيدُ يَا مُبْدِىءُ يَا مُعِيدُ يَا رَحِيمُ يَا وَدُودُ ، أَغْنِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ، أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

“Abu Thalib al-Makki berkata, ‘Dan dianjurkan bagi orang yang telah selesai melaksanakan shalat Jumat untuk membaca ‘Ya ghaniyyu ya hamid, ya mubdi`u ya mu’id, ya rahimu ya wadudu, aghnini bi halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, sebanyak empat kali,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, juz, II, h. 422).

Sungguh besar pahala setiap amal kebajikan dan dzikir pada hari Jumat karena memiliki keutamaan yang agung dan bermanfaat kelak di akhirat. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah swt.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 10 April 2016

Beberapa Kesalahan yang terjadi di bulan Rajab

Ustadz Abū Sulaiman Aris S
sum
https://almanhaj.or.id/3089-beberapa-kesalahan-yang-terjadi-pada-bulan-rajab.html

〰〰〰〰〰〰〰〰〰

BEBERAPA KESALAHAN YANG TERJADI PADA BULAN RAJAB

Makalah berikuti ini merupakan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin, yang diangkat dari muhadharah beliau di Universitas Jami’ah Islamiyah, … pada tanggal 9 Rajab tahun 1419H, kemudian disusun dalam sebuah risalah yang berjudul At Tamassuk Bi Sunnah Wa Atsaruhu, dan diterjemahkan dengan sedikit ta’liq (tambahan) oleh Ustadz Abu Sulaiman Aris S
_____________________________

▪1. Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan Harām yang empat (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan Sya’ban). 

Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa terkecuali bulan Rajab.

Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling baik. 

🔗 Sebagian Syafi’iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”.

~~> Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imām Nawawi dan yang lainnya.

🔗 Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. 

~~> Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi.

🔗 Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. 

~~> Pendapat ini diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat. 

Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha’if, karya Ibnu Rajab Al Hambali.

Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu :

⑴ Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. 
⑵ Karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan harām.


▪2. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah, yakni mereka mengharāmkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana pada bulan-bulan harām lainnya. 

Kaum muslimin berbeda pendapat tentang harāmnya berperang pada bulan ini.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa harāmnya berperang pada bulan ini adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang. Yaitu memerangi orang-orang kāfir pada bulan Rajab dan bulan-bulan harām lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini.

Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa memulai berperang pada bulan Rajab hukumnya harām. 

Namun jika mereka (musuh, Red.) memerangi kita, atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya, maka tidaklah mengapa.


▪3. Bulan Rajab diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah dengan berpuasa. 

Akan tetapi tidak ada dalil yang shahīh dari Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam masalah mengkhususkan puasa pada bulan Rajab ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/290 berkata:

Berpuasa pada bulan Rajab secara khusus diriwayatkan dari hadīts-hadīts yang semuanya dha’if, bahkan palsu. Sedikitpun tidak diakui oleh para ulama. Tidak termasuk dha'if yang diriwayatkan di dalam fadha'ilul a'mal, bahkan seluruhnya adalah maudhu' …,” 

Hingga Ibnu Taimiyah Rahimahullāh berkata,"Telah diriwayatkan dari Umar dengan jalan yang shahīh. Bahwa Umar memukul tangan-tangan kaum muslimin, sehingga mereka meletakkannya di atas makanan pada bulan Rajab, sambil mengatakan,"Janganlah kalian menyerupakannya dengan bulan Ramadhan."

Dan suatu ketika, Abū Bakar Ash Shiddiq masuk ke rumahnya, dan melihat keluarganya telah membeli satu bejana tempat air. Mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Kemudian beliau bertanya,"Untuk apakah ini?" Mereka menjawab,"Untuk berpuasa pada bulan Rajab." Beliau berkata,"Apakah kalian ingin menyerupakannya dengan bulan Ramadhan?"Kemudian beliau memecahkan bejana tersebut.

Al Hāfizh Ibnu Rajab menyebutkan atsar dari Umar, seperti yang disebutkan dalam Majmu Fatawa. Beliau menambahkan: "Dahulu, bulan Rajab begitu diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika datang Islam, kemudian ditinggalkan".


▪4. Bulan Rajab diagungkan oleh bangsa Arab. 

Mereka mengerjakan umrah pada bulan ini. Karena mereka pergi haji pada bulan Dzulhijjah. Sedangkan Rajab adalah pertengahan tahun yang dihitung dari Muharram. 

Oleh karena itu, mereka mengerjakan umrah, agar Ka'bah menjadi makmur dengan orang yang haji dan umrah pada pertengahan dan akhir tahun.

Ibnu Rajab di dalam Al Latha’if berkata: 

Disunnahkan oleh Umar untuk umrah pada bulan Rajab. Dan dahulu, ‘Aisyah dan Ibnu Umar mengerjakannya. Ibnu Sirin menukilkan, bahwa dahulu, para salaf mengerjakannya. [1]


▪5. Pada bulan Rajab terdapat shalāt yang dinamakan dengan Shalāt Raghaib. 

Dikerjakan malam Jum’at pertama antara Maghrib dan Isya’, sebanyak 12 raka’at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyinul ‘Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.

· An Nawawi di dalam Syarah Al Muhadzdzab 3/548, berkata:

"Shalāt yang dikenal dengan shalāt Raghaib, yaitu 12 raka’at, dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan demikian pula shalat Nishfu Sya'ban 100 raka'at. 

Kedua macam shalāt ini adalah bid'ah yang munkar. 

Janganlah engkau tertipu dikarenakan kedua shalāt ini disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin. 

Semua hadīts-hadīts yang disebutkan di dalamnya adalah batil.

Jangan tertipu dengan sebagian ulama yang terkena syubhat dalam masalah ini, yang mengarang suatu risalah disunnahkannya shalāt ini, karena mereka salah dalam masalah ini. 

Dan Al Imām Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il Al Maqdisi telah mengarang kitab yang menerangkan mengenai batilnya dua shalāt tersebut.

🔗 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu Fatawa 23/124, berkata: 

"Menurut kesepakatan ulama, shalat Raghaib adalah bid'ah, tidak disunnahkan oleh Rasūlullāh dan (tidak pula) oleh seorangpun dari Khulafaur Rasyidin. 

Dan tidak dianggap sebagai sunnah oleh para Imām , seperti Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsaury, Al Auza’i, Al Laits dan yang lainnya. 

Sedangkan menurut kesepakatan ahlul hadits, hadīts-hadīts yang diriwayatkan dalam hal ini adalah palsu".

🔗 Ibnu Rajab di dalam Al Latha’if, berkata:

"Tidak ada (riwayat) yang sah pada bulan Rajab suatu shalā tertentu. Adapun hadīts-hadīts yang diriwayatkan tentang keutamaan shalāt Raghaib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab adalah palsu dan tidak shahīh".

Beliau (Ibnu Rajab) berkata:

"Para ulama mutaqaddimin tidak menyebutkannya, karena hal ini ada dan muncul sesudah zaman mereka". 

Pertama kali dikenal setelah tahun 400-an hijriah, sehingga tidak dikenal oleh ulama mutaqaddimin.

🔗 Asy Syaukani di dalam Al Fawa’id Al Majmu’ah, halaman 48, berkata:

"Para huffazh telah sepakat, bahwasanya shalāt Raghaib adalah berdasarkan hadīts yang palsu. hingga beliau berkata,’Kepalsuan hadītsnya tidak diragukan lagi oleh orang yang memiliki sedikit pemahaman terhadap hadīts-hadīts".

🔗 Al Fairuz Abadi di dalam Al Mukhtashar, berkata, bahwa hadīts tersebut palsu berdasarkan kesepakatan ulama. 

Demikian pula dikatakan oleh,

🔗 Al Maqdisi Asy Syaukani menyebutkan di dalam kitab tersebut satu hadīts tentang keutamaan shalāt pada malam pertengahan bulan Rajab, kemudian beliau mengomentari:

"Diriwayatkan oleh Al Jauzqani dari Anas secara marfu'. Tetapi hadīts ini adalah maudhu', dan para rawinya adalah orang-orang majhul".


▪6. Pada bulan Rajab, banyak orang datang ke kota Madīnah untuk berziarah. 

Mereka menamakannya "Rajabiyah". Mereka berkeyakinan, bahwa hal ini sebagai sunnah mu'akkadah. 

Mereka pergi untuk berziarah ke beberapa tempat. Sebagian dari ziarah ini disyari'atkan, seperti ziarah ke masjid Nabawi, ke masjid Quba', ke kubur Nabi, dan kubur dua orang sahabatnya (Abū Bakar dan Umar, serta kubur para syuhada' Uhud). Dan (ziarah ini) ada yang tidak di syari'atkan, seperti ziarah ke masjid yang dinamakan masjid Ghamamah, masjid kiblatain dan masjid-masjid yang tujuh.

Ziarah Rajabiyah ini tidak ada asalnya di dalam perkataan Ahlul Ilmi. 

Tampaklah, hal ini baru saja muncul pada masa-masa terakhir ini.

Tidak diragukan lagi, bahwa masjid Nabawi merupakan satu diantara tiga masjid yang disyari'atkan untuk ziarah kepadanya, yakni Masjidil Harām , Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha'. 

Akan tetapi, mengkhususkan ziarah pada bulan tertentu, atau hari tertentu, maka hal ini memerlukan dalil, dan (sesungguhnya) tidak ada dalil yang mengkhususkan bulan Rajab dengan hal itu. 

Sehingga, meyakininya sebagai sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allāh pada bulan ini, adalah termasuk bid'ah yang tertolak. 

Karena sabda Rasūlullāh :

“من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد”

Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami, maka dia akan tertolak.

Dalam lafadz yang lain:

“من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami yang tidak ada perintah darinya, maka dia tertolak. (Yakni ditolak dari pelakunya).


▪7. Pada bulan Rajab, terjadi peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Sebagaimana telah masyhur di kalangan kaum muslimin pada masa-masa terakhir ini, (yang terjadi) pada malam ke 27. 

Mereka mengadakan beberapa perayaan. Dan barangkali mereka menjadikan hari itu sebagai hari libur resmi. 

Padahal, hal ini memerlukan penelitian dua masalah yang penting. 

↝Pertama, dari segi tarikh (kepastian peristiwa)
↝Kedua, apakah dengan mengadakan perayaan ini termasuk ibadah?

MASALAH YANG PERTAMA

Para ulama telah berselisih pendapat.

📌 Ibnu Katsir menyebutkan di dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah 3/119, Cetakan Al Fajjalah, dari Az Zuhri dan Urwah: 

"Bahwa Isra' Mi'raj terjadi satu tahun sebelum Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam hijrah ke Madīnah". Yakni pada bulan Rabi’ul Awwal.

√ Dari As Suddi, beliau berkata:

"Terjadi 16 bulan sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madīnah", yakni pada bulan Dzulqa'dah.

√ Al Hāfizh Abdul Ghani bin Surur Al Maqdisi membawakan satu hadīts, namun tidak sah sanadnya, bahwasanya Isra’ Mi’raj (terjadi) pada malam 27 bulan Rajab.

√ Sebagian orang berkeyakinan, bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab. 

Mereka menamakan malam raghaib, yang disyari’atkan untuk shalāt (shalàt Raghaib), padahal tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam. 

~~>Sampai disini perkataan Ibnu Katsir.


📌 As Saffarini menyebutkan di dalam Syarah Aqidah-nya 2/280, dari Al Waqidi dari rijalnya: 

Bahwa Isra' Mi'raj (terjadi) pada malam Sabtu, 17 Ramadhan tahun ke12 dari kenabian, 18 bulan sebelum hijrah. 

√ Dan diriwayatkan pula dari para gurunya, mereka berkata: 

Rasūl diisra'kan pada malam 17 bulan Rabi'ul Awwal, satu tahun sebelum hijrah. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengaku adanya Ijma'. Demikian ini pendapat Ibnu Abbas dan 'Aisyah.

Kemudian As Saffarini menyebutkan satu perkataan dari Ibnul Jauzi: 

Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, atau Rajab, atau Ramadhan.


📌 Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari 7/203, bab Al Mi’raj, dari Shahih Al Bukhāri: 

Bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini (terdapat) lebih dari 10 pendapat.

√ Diantaranya, satu tahun sebelum hijrah. Demikian ini pendapat Ibnu Sa’ad dan lainnya, dan (yang) dianggap tepat oleh An Nawawi.

√ Pendapat yang lain, 8 bulan sebelum hijrah, atau 6 bulan, atau 11 bulan, atau 1 tahun 2 bulan, atau 1 tahun 3 bulan, atau 1 tahun 5 bulan, atau 18 bulan, atau 3 tahun sebelum hijrah, atau 5 tahun.

√ Ada (pula) pendapat yang mengatakan, terjadi pada bulan Rajab. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, dan dikuatkan oleh An Nawawi di dalam kitab Raudhah. 

Akan tetapi sebagian ulama tidak menjumpainya di dalam Raudhah.

√ Syaikhul Islam berkata, seperti dinukil oleh muridnya Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma'ad, ketika menyebutkan keistimewaan hari-hari dan bulan tertentu daripada yang lainnya, beliau menjawab: "Orang yang mengatakan bahwa malam Isra' lebih mulia daripada malam lailatul qadar, yakni dia berkeyakinan bahwa shalāt dan berdo'a pada malam Isra' yang dikerjakan setiap tahunnya lebih afdhal, maka pendapat ini adalah batil. 

Belum pernah dikatakan oleh seorangpun dari ummat ini. Sangat jelas kebatilannya menurut agama Islam. 

Hal ini, jika telah diketahui waktu terjadinya malam Isra' mi'raj dengan pasti. 

Namun, bagaimana jika belum diketahui dalil yang menetapkan bulannya atau detailnya? Bahkan nukilan-nukilan dalam masalah ini terputus dan berbeda-beda.

Tidak terdapat kepastian padanya, dan tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan suatu shalāt atau ibadah lainnya pada malam yang diyakini sebagai malam Isra' dan Mi'raj …, hingga beliau berkata: Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang meyakini malam Isra' lebih lebih baik dari yang lainnya, terlebih dengan malam lailatul qadar. 
Demikian pula para shahabat dan tabi'in, mereka tidak mengkhususkan malam ini, dan mereka tidak mengenalnya. Bahkan tidak dikenal kapan terjadinya malam itu”.

Ini masalah pertama yang ada kaitannya dengan Isra' Mi'raj. Telah jelas bahwa malam tersebut belum diketahui kapan terjadinya.


MASALAH YANG KEDUA

Adapun masalah yang kedua, yaitu menjadikan malam tersebut sebagai ‘id, yang dirayakan dan diadakan muhadharah, serta dibacakan hadīts-hadīts yang dha'if atau palsu tentang kisah Isra' Mi'raj. 

Maka, tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bid'ah yang diada-adakan di dalam agama Islam. 

Apabila seseorang berlepas diri dari hawa dan mengetahui dengan sebenarnya, maka perayaan-perayaan seperti ini tidak pernah dikenal pada zaman sahabat dan para tabi’in. 

📌 Dalam Islam tidak ada hari raya, kecuali tiga. Yaitu :

⑴ Idul fithri 
⑵ Idul adha (Keduanya adalah 'id yang berulang setiap tahun)
⑶ Sedangkan yang ketiga adalah hari Jum’at, hari raya setiap pekan.

Tidak ada hari raya selain tiga ini.

Hendaknya diketahui, bahwa ittiba' Rasūlullāh yang sebenarnya adalah dengan berpegang teguh terhadap sunnahnya, mengerjakan yang Beliau kerjakan, meninggalkan sesuatu yang Beliau tinggalkan. 

Barangsiapa menambah atau mengurangi, maka telah berkurang kadar mutaba'ahnya (ketaatan) kepada Rasūlullāh. 

Menambah (permasalahan) di dalam agama lebih berat, karena mendahului Allāh dan Rasūl-Nya.

Orang yang berakal, adalah orang yang mengetahui bahwa perbuatan seperti ini merupakan bencana yang besar. Sehingga seorang mukmin yang sempurna adalah orang yang beribadah kepada Allāh dengan syari’at Rasūlullāh. 

Dan seseorang mempunyai kekurangan yang besar, apabila ia menambah (sesuatu) pada syari’at Allāh dan Rasūl-Nya.

Hendaknya seorang mukmin berhati-hati dari perbuatan bid'ah yang dianggap baik oleh hawa nafsunya. Karena Nabi memperingatkan kita dari hal itu, dan Beliau menyampaikannya dalam khutbah Jum’at. 

Beliau berkata:

أما بعد:فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

Adapun sesudah itu, maka sebaik-baik perkataan adalah Kitabullāh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat. (Seperti ini diriwayatkan dalam Shahīh Muslim. Dan dalam riwayat An Nasa’i (disebutkan):

وكل ضلالة في النار

Dan setiap kesesatan adalah di neraka.

Saya berdo’a kepada Allāh untuk meneguhkan kita dengan perkataan yang kuat di dunia maupun di akhirat. 
Dan semoga Allāh melindungi kita dari berbagai fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi dan Maha Pemurah.

Tanggal 11 Rabi’ul Awwal 1425H, bertepatan tanggal 1 Mei 2004M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata: “Bahwasanya para ulama mengingkari pengkhususan adanya memperbanyak ibadah umrah pada bulan Rajab”. 

Dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At Tuwaijiri di dalam kitab Al Bida’ Al Hauliyah, halaman 238, berkata: “Yang rajah, menurut saya -wallahu a’lam- bahwasanya mengkhususkan bulan Rajab dengan umrah itu tidak ada asalnya, karena tidak ada dalil syar’i yang mengkhususkannya. 

Dan Rasulullah tidak pernah mengerjakan umrah pada bulan Rajab. Seandainya hal ini terdapat keutamaan, pasti Beliau menganjurkan ummatnya, karena Beliau orang yang bersemangat untuk (berbuat) kebaikan, sebagaimana Beliau menganjurkan untuk mengerjakan umrah pada bulan Ramadhan.

Adapun yang dikatakan sunnah oleh sahabat Umar bin Khathab, maka saya belum menemukan sanadnya. Dan yang dinukil oleh Ibnu Sirin, bahwa para salaf dahulu mengerjakannya, maka tidak terdapat dalil yang mengkhususkan umrah pada bulan Rajab. 

Karena maksud mereka tidak untuk mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah umrah, tetapi maksud mereka -wallahu a’lam- ialah untuk mengerjakan haji pada satu kali safar dan mengerjakan umrah pada safar tersendiri, untuk menyempurnakan haji dan umrah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam uraiannya yang dinukil Ibnu Sirin dari para salaf

Kamis, 07 April 2016

Meminta Jabatan

Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"

Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)

Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."

Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.

Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.

Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."

Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"

Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."

Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.

la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"

Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"

la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.

Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.

Sepeninggal Rasulullah saw, sang paman senantiasa meluruskan pemimpin yang khilaf dan hidup terhormat di tengah-tengah para Khulafaur Rasyidin.

Minggu, 03 April 2016

Terima kasih sudah meremehkanku.

(Catatan seorang kawan)

Punya masa depan yang cerah tentu jadi harapan semua orang. Bisa hidup mapan, karir tinggi, punya penghasilan yang cukup – pastinya semua orang mengamini. Dan untuk mewujudkan hal itu, setiap orang pun terpacu untuk berusaha dan memaksimalkan kemampuan dirinya.

Namun dalam perjalanan menggapai kesuksesan, seringkali muncul berbagai halangan. Kadang kita pun harus melewati momen jatuh bangun yang melelahkan. Bahkan saat kegigihan sedang ditempa, tak jarang banyak orang yang memandang sebelah mata. Meremehkan niat, kemampuan, dan impian-impian besar yang ingin diwujudkan segera. Tapi,

“Haruskah saya merasa tak terima? Tidakkah diremehkan malah membuat semangat saya berlipat-lipat kuatnya?”

Wajar jika saya sakit hati karena diremehkan. Toh tidak seorang pun mau dianggap lemah atau punya kemampuan yang pas-pasan.

Di dunia ini, tidak seorang pun manusia yang mau direndahkan dan diremehkan. Pada hakikatnya, manusia lebih suka dipuji atau dielu-elukan. Itulah alasan mengapa banyak orang yang akhirnya berusaha memaksimalkan kemampuan diri, salah satunya agar tidak diremehkan atau sekadar butuh pengakuan.

“Tugas kelompok biar aku aja yang ngerjain. Kayaknya aku lebih tahu tentang tema ini daripada kamu.”

Mendengar kalimat semacam itu misalnya, wajar jika saya merasa sakit hati. Saya dianggap tidak punya cukup kemampuan. Orang lain tidak percaya dengan apa yang mungkin sebenarnya bisa saya kerjakan. Padahal, sepatutnya saya diberi kesempatan. Menunjukkan apa yang saya bisa kerjakan, tidak lantas begitu saja diremehkan.

Tapi baiknya, dianggap remeh tidak membuat saya larut dalam emosi – menyimpan dendam atau bahkan merutuki kekurangan diri sendiri.

Setiap orang tentu punya cara yang berbeda untuk menghadapi situasi semacam ini. Ada yang mungkin sedih, marah, atau bahkan biasa saja ketika diremehkan oleh orang lain. Untungnya, saya merasa bisa menghadapi hal ini dengan cukup bijaksana. Tidak semata-mata marah, sedih, atau bersikap cuek tanpa keinginan untuk introspeksi diri. Ketika diremehkan oleh orang lain, saya justru segera melakukan refleksi.

“Kenapa sih saya diremehkan? Apa mungkin saya memang belum punya cukup kemampuan? Atau, orang yang merehkan saya sebenarnya hanya iri dan tidak senang?”

Pertanyaan-pertanyaan macam itu akan beberapa saat berputar-putar dalam kepala. Bukan hanya emosi, menyimpan dendam, atau justru merutuki diri – yang saya lakukan justru semata-mata ingin memperbaiki jika ada kekurangan yang saya miliki.

Dianggap tidak punya kemampuan berarti tamparan, yang justru membuat saya sadar lalu bangun untuk segera melakukan sesuatu.

Saya tidak mau menyimpan sakit hati yang terus-menerus. Seketika sakit hati wajar saja, tapi setelahnya saya harus bisa menetralkan rasa. Karena semakin lama menyimpan sakit hati, semakin saya akan menyakiti diri sendiri. Semakin saya menyimpan dendam, maka semakin saya tidak bisa maksimal mewujudkan masa depan.

Prinsip itulah yang akhirnya mendorong saya untuk sadar. Meskipun pandangan remeh dari orang lain itu ibarat tamparan, tamparan itu juga yang membuat saya bangun – bangun untuk segera melakukan sesuatu. Jika benar kemampuan yang saya miliki memang kurang, satu-satunya yang harus dilakukan adalah membuat perbaikan.

Pandangan miring orang lain juga menjadikan saya semakin terpacu. Meyakinkan diri bahwa tidak ada pilihan lain kecuali melangkah maju.

Selain menyadarkan saya untuk memperbaiki diri, diremehkan orang lain justru membuat saya terpacu. Bahwa dengan keterbatasan yang saya punya, saya tetap menyimpan keyakinan atas mimpi dan harapan-harapan saya. Dan dengan keterbatasan yang saya punya pula, saya mau terus gigih berusaha.

Tentu saja bukan semata-mata ingin membuat pembuktian. Bagaimana pun, mendapat pengakuan bukan hal utama yang ingin saya kejar. Lebih dari itu, kepuasan atas perjuangan diri sendiri justru yang paling saya inginkan. Saya mau sukses karena saya memang ingin. Saya mau berhasil karena memang saya mau.

“Dan ketika kekuatan itu munculnya dari dalam diri. Bukan hal yang mustahil untuk menggapai apa yang paling diingini.”

Maka, terima kasih untuk siapapun yang pernah meremehkan saya. Karena hari ini dan seterusnya, saya berjanji untuk jadi orang yang luar biasa.

Unik memang, karena diremehkan ternyata tidak melulu berakhir buruk bagi seseorang. Ada kalanya justru ‘pernah diremehkan’ membuat seseorang menjadi lebih kuat. Alih-alih terpuruk, ia malah bangkit dan semakin gigih untuk melakukan yang terbaik. Bukan sebagai pembuktian pada orang yang pernah meremhkan, tapi semata-mata demi tujuan awal – menggapai apa yang paling diinginkan.

Maka, saya berterima kasih untuk siapa saja yang dahulu pernah meremehkan saya. Terima kasih karena pernah menyakiti hati saya. Terima kasih pernah menyadarkan saya untuk bangkit dan melakukan perbaikan. terima kasih karena telah mamacu diri saya untuk mewujudkan apa yang paling saya impikan.

Pencipta WA

Setiap hari kita pake WA,  bersilahturahmi, bertukar informasi, bercanda, mengucapkan selamat ulang tahun dsb. Tapi tentu jarang yang tau siapa sesungguhnya penemu WA.
inilah kisah inspiratifnya...

Ia lahir & dibesarkan di Ukraina dari keluarga yang relatif miskin. Di usia 16 tahun, ia nekat pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang dikenal sebagai “American Dream”.

Pada usia ke-17, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah, nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih2 supermarket.

Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesehatan seadanya. Ia lalu kuliah di San Jose University. Tapi kemudian memilih drop-out, karena lebih suka belajar programming secara autodidak.

Karena keahliannya sebagai programmer, pemuda tsb diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo! Ia bekerja di sana selama 10 thn. Di situ, ia berteman akrab dengan Brian Acton. Keduanya membuat sebuah program aplikasi di tahun 2009, setelah resign dari Yahoo!

Keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah menanjak popularitasnya saat itu, namun diitolak.

Facebook mungkin kini sangat menyesal pernah menolak lamaran mereka karena setelah beberapa tahun, program aplikasi mereka justru resmi dibeli Facebook dengan harga fantastis USD 19 Miliar (sekitar Rp 247 Triliun). 

Pemuda itu bernama Jan Koum, pendiri "WhatsApp" yang fenomenal dan sedang kita nikmati saat ini.

Beberapa waktu lalu, Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu saat berumur 17 thn, setiap pagi antri untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antri. Mengenang saat-saat sulit, dimana bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang...

Pelan2, air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu. Ia pun mengenang ibunya yang rela menjahit baju buat dia demi menghemat. “Tak ada uang, Nak…”. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan berita bahagia ini kepada ibunya.
***

Teruslah BERMIMPI,
Teruslah BELAJAR,
Teruslah BERUSAHA,
Teruslah BERDOA.

Sungguh kita tak pernah tahu warna dan rupa masa depan kita.

All we have to do just make sure that we'll keep tryin'....
KEEP SPIRIT..🆗👌🏼
NEVER GIVE U

Jumat, 01 April 2016

Jihad dalam Islam

Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab kokoh dan kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila umat Islam meninggalkan jihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shohih [1],

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud)

Ibnu Taimiyah menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa jihad melawan orang yang menyelisihi para rasul  dan mengarahkan pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepadaNya” [2].

Namun amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat islam karena kedua hal ini adalah syarat diterima satu amalan. Di samping juga jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa dan memiliki hubungan dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta yang menjadi perkara agung dalam Islam sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam sabdanya,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan atas kalian (saling menzholiminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian.Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya”. Maka beliau pun bersabda, “Ya Allah persaksikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian saling membunuh sebagian lainnya.”(Muttafaqun ‘Alaihi) [3]

Demikian agungnya perkara jihad ini menuntut setiap muslim melakukannya untuk menggapai cinta dan keridhoan Allah. Tentu saja hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen terhadap ketentuan dan batasan syari’at, komitmen terhadap batasan dan hukum Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merealisasikan target dan tujuan syari’at tanpa meninggalkan satu ketentuan dan batasannya, agar selamat dari sikap ekstrim dan berlebihan sehingga jihadnya menjadi jihad syar’i di atas jalan yang lurus dan dia mendapatkan akibat dan pahala yang besar diakhirat nanti. Hal itu karena ia berjalan di atas cahaya ilahi, petunjuk dan ilmu dari Al Qur’an dan sunnah NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar mengenai konsep islam tentang jihad secara benar dan bertanya kepada para ulama pewaris nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Apalagi dalam permasalahan yang sangat penting dan berbahaya ini, lagi-lagi di masa kaum muslimin tidak mengenal syari’atnya dengan benar. Sebab bisa jadi yang dianggap jihad syar’i sebenarnya adalah jihad bid’ah.

Pengertian Jihad dalam Pandangan Islam

Kata Jihad berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. [5]

Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan, “Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak dipahami selain untuk makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina” [6].

Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan, “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” [7].

Di tempat lainnya, beliau rahimahullahjuga menyatakan, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” [8].

Tampaknya tiga pendapat di atas sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat islam, hanya saja penggunaan lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu, Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi Ibnu Taimiyah di atas dan beliau menyatakan: Dipahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah istilah yang meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi serta menolak perbuatan, perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai. [9]

Jenis dan Tingkatan Jihad

Kata jihad bila didengar banyak orang maka konotasinya adalah jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk dan jenis jihad karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya dengan menyatakan bahwa jihad memiliki empat tingkatan, yaitu (1) jihad memerangi hawa nafsu, (2) jihad memerangi syetan, (3) jihad memerangi orang kafir dan (4) jihad memerangi orang munafik. [10]  Namun dalam keterangan selanjutnya Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran.[11]

Kemudian beliau menjelaskan 13 tingkatan bagi jenis-jenis jihad di atas dengan menyatakan bahwa jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1. Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Robbaniyyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Robbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.

Adapun jihad memerangi syetan memiliki dua tingkatan:
1. Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24). Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.

Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan munafik memiliki 4 tingkatan yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.

Sedang jihad memerangi pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaranmemiliki 3 tingkatan yaitu (1) dengan tangan bila mampu, (2) apabila tidak mampu, berpindah pada lisan, (3) bila juga tidak mampu maka diingkari dengan hati.

Inilah tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu cabang kemunafiqan [12] [13].

Dari keterangan Ibnul Qayyim di atas dapat diambil beberapa pelajaran:

1. Banyak kaum muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja, ini adalah pemahaman parsial.

2. Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud tujuan ilmu adalah diamalkan. Setelah itu barulah ia memerangi jiwa untuk berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam,

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

“Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah.” (HR. Ahmad 6/21, sanadnya shahih, -ed)

Maka jihad memerangi jiwa didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa), dan menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang di luar. Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya padahal musuhnya yang di sampingnya berkuasa dan menjajahnya serta belum ia jihadi dan perangi. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad?” [14]
Jihad memerangi jiwa hukumnya wajib atau fardhu ‘ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang. [15]
3.    Para ulama menjelaskan bahwa pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu syahwat dan syubhat. Syetan mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu syahwat. Bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada kebid’ahan [16].

Jihad melawan syetan ini hukumnya fardhu ‘ain juga karena berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً

“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu).” (QS. Fathir: 6)

4.    Jihad melawan orang kafir dan munafik dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud no. 2504, An Nasai no. 3096 dan Ahmad 3/124. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, -ed)

Pengertian jihad dengan hati melawan orang kafir dan munafik adalah membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas dan kecintaan serta senang dengan kerendahan dan kehinaan mereka dan sikap lainnya yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.

Pengertian jihad dengan lisan adalah dengan mejelaskan kebenaran, membantah kesesatan dan kebatilan-kebatilan mereka dengan hujjah dan bukti kongkrit.

Pengertian jihad dengan harta adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah serta menolong dan membantu kaum muslimin. Adapun jihad dengan jiwa maksudnya adalah memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk islam atau kalah, sebagaimana firman Allah,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan firmanNya,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)

Kaum kafir dan munafik diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan karena permusuhannya terang-terangan. Sedangkan munafik khusus dihadapi dengan lisan karena permusuhannya tersembunyi dan gamang dalam keadaan mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan asli mereka serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang tahu hal itu dan berhati-hati dari mereka dan dari terjerumus pada kemunafikan tersebut. [17]

5.    Ibnul Qayyim mengutarakan bahwa jihad memerangi pelaku kezaliman, kebid’ahan dan kemungkaran dilakukan dengan tiga tingkatan, yaitu (1) dengan tangan, (2) bila tidak mampu maka dengan lisan, dan (3) bila tidak mampu juga maka dengan hati.  Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu‘anhu yang berbunyi,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat suatukemungkaran, maka hendaklah iamerubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.”(HR Muslim).

Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamjelaskan dalam hadits Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang menghadapi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin, dan siapa yang menghadapi mereka dengan hatinya maka ia seorang mukmin. Tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman.”(HR. Muslim, Kitab Al Iman  no. 71)

Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini dengan hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan membenci kebid’ahan, kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya dan berharap hilangnya hal-hal tersebut.

Maksud Tujuan Jihad [18]

Satu kepastian bahwa Allah tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dalam pernyataan-pernyataan mereka. Di sini akan disampaikan sebagian pernyataan tersebut agar dapat kita petik maksud dan tujuan jihad dalam Islam.

1.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, ”Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah” [19].

2.    Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Maksud tujuan jihad adalah agar tidak ada yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorang pun yang berdoa, sholat, sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumroh dan berhaji kecuali ke rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya dan tidak bernazar dan bersumpah kecuali denganNya …” [20].

3.    Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Sa’di menyatakan, “Jihad ada dua jenis. Pertama, jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku) dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik ilmiyah dan amaliyah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya, serta menjadi dasar bagi jihad yang kedua yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang islam dan kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafik, mulhid dan seluruh musuh-musuh agama dan menentang mereka” [21].

4.    Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad ath tholab (attack/ menyerang) dan jihad ad daf’u (defence/ bertahan). Maksud tujuan keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)

Dan dalam surat Al Anfal,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal: 39), dan ayat yang semakna dengannya banyak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyatakan,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan bahwa tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad utusannya, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan hak islam, dan hisab mereka diserahkan kepada Allah.” (Muttafaqun Alaihi) [22]

Dari keterangan para ulama di atas jelaslah bahwa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.

Demikian mudah-mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Artikel www.muslim.or.id


==============================
Catatan Kaki:
[1] Diambil dari pernyataan Syaikh Al Albani dalam Al Salafiyun Wa Qadhiyah Falestina Fi Waaqi’ina Al Mu’ashir karya Muhammad Kaamil Al Qadhdhaab dan Muhammad ‘Izuddin Al Qassaam, ditakhrij dan diberi Muqaddimah oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama tahun 1423 H =2002M, penerbit Markaz Baitul Maqdis Liddriasaat Al Tautsiqiyyah hal.65
[2] Dinukil dari makalah berjudul Dhwabith Jihaad Fi Al Sunnah Al Nabawiyah oleh DR. Muhammad Umar Bazmul hal. 4 menukil dari kitab Al Radd ‘Ala Al Akhna’Ioleh Ibnu Taimiyah hal 326-329.
[3] HR Al Bukhari – kitab Al Ilmu -no. 67 dan Muslim –kitab Al Qasaamah wal Muhaaribin Wal Qishash– bab Taghlidz tahrim Al Dima’ Wal Aghradh Wal Amwal.- no. 1679
[4] Disarikan dari Al Quthuf Al Jiyaad Min Hikam Wa Ahkam Al Jihad, karya Prof. DR. Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al ‘Abaad, cetakan pertama tahun 1425 H, Dar Al Mughni. Hal 4.
[5] Al I’lam Bi Fawa’id Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1421H, Dar Al ‘Ashimah, 10/267.
[6] Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369, kami nukil dari kitab Mauqif Al Muslim Minal Qitaal Fil Fitan, Utsman Mu’allim Mahmud cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Al Fath 41 dan majalah Al Asholah edisi 21/IV/ 15 rabi’ul awal 1420 H hal. 43
[7] Majmu’ Al Fatawa, 10/192-193
[8] ibid 10/191
[9] Al Quthuf Al Jiyaad 5.
[10] Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdulqadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H, Muassasat Al Risalah, Bairut 3/9
[11] Ibid 3/10.
[12] Ini adalah ungkapan hadits nabi yang diriwayatkan imam Muslim –kitab Al Imaarah-no. 1910.
[13] Zaad Al Ma’ad 3/9-10.
[14] Ibid 3/6.
[15] Al Quthuf Al Jiyaad hal. 15
[16] Lihat lebih lanjut tulisan Ust. Muslim dalam rubrik Tazkiyatun Nufus pada majalah As Sunnah edisi 09/tahun IX/1426H/2005M hal 55-60.
[17] Diringkas dari Al Quthuf Al Jiyaad hal 12-13.
[18] Diambil dari Al Quthuf Al Jiyaad hal. 18-20 secara bebas.
[19] Lihat Majmu’ Fatawa 15/170
[20] ibid 35/368
[21] Wujub Al Ta’awun Baina Al Muslimin– merupakan bagian dari Al majmu’ah Al Kaamilah jilid 5/186
[22] Majmu’ Fatawa Wa Maqaalat Mutanawi’ah, 18/70.