Kamis, 04 Februari 2016

Aku Memilih Kehidupan Akhirat

DI antara langkah-langkah setan adalah menyibukan manusia dengan hal-hal yang mubah –perbuatan yang boleh dilakukan tetapi tidak mendapat pahala disisi-Nya—secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan kelalaian dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan menyita waktu.

Termasuk dalam berlebih-lebihan ialah, berlebihan dalam bergaul, makan, minum, tidur, bebicara, mendengar, melihat, dan lain sebagainya. Nah, kegiatan itu merupakan halal –boleh-dikerjakan. Ada yang perlu dicatat, bahwa itu boleh dikerjakan akan tetapi tidak berlebihan, kerjakan sesuai porsinya saja, biar mantap!

Ketika seseorang melakukan segala sesuatu secara berlebihan hingga apa yang ia lakukan itu menjadi sebuah kebiasaan, maka akan mempengaruhi hati, dan jika manusia bersikap melampaui batas dalam melakukan perbuatan-perbuatan halal –makan, minum, tidur, dan lain-lain—maka apa yang akan terjadi, ia akan angkuh dan lupa untuk mengingat Allah SWT.

Dan apabila manusia hidup dalam buaian kenikmatan dan kemewahan yang mubah, maka akan terjerumus ke dalam lembah-lembah keragu-raguan (Syubhat), dan pada akhirnya akn terjerumus pada jurang syahwat, lalu pada gilirannya akan tumbuh pemikiran dan kemampuan mujahadahnya.

Padahal, kalau kita lihat sejarah kehidupan Rasulullah SAW dan generasi pertama dari umat Islam ini, mereka akan dapatkan bahwa kehidupan mereka akan lebih banyak unsur kezuhudan dan kefakirannya.

Itu karena Allah mengetahui bahwa tidak ada yang dapat memperbaiki keadaan mereka kecuali kefakiran, maka dari itu Allah SWT memilih kefakiran bagi mereka.

Padahal sekiranya Nabi SAW menginginkan kekayaan dunia, pasti Allah memberikan kepadanya, akan tetapi Nabi lebih memilih dan lebih menyukai kehidupan akhirat atas kehidupan dunia. Bahkan beliau wafat tanpa meninggalkan dirham, dinar, hamba sahaya, dan harta lainnya, beliau hanya meninggalkan baju besinya yang ia gadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’(sukat) makanan.

Dari Anas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda pada suatu hari, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak pernah ada pada keluarga Muhammad satu sha’ biji-bijian dan tidak pula satu sha’ buah kurma sampai sore hari, padahal keluarga Muhammad itu (terdiri)s Sembilan bilik dan saat itu beliau memiliki Sembilan istri.” (HR Ahmad).

Nabi Muhammad SAW menjalani hidupnya dengan kefakiran dan meninggalkan kenikmatan duniawi, maka dari itu beliau mendapatkan kenikmatan dalam ketaatan dan dapat menikmati manisnya bermunajat kepada Allah.

Dengan demikian beliau telah mendapatkan kekayaan yang hakiki, maka beliau mulia di hadapan Allah dan mulia di hadapan manusia. beliau dicintai langit dan bumi, dicintai tumbuhan dan pepohonan, bahkan hewan dan bebatuan menyampaikan salam kepadanya.

“Cukuplah bagi seseorang beberapa suap makanan saja untuk menegakkan tulang punggungnyam, dan kalau harus lebih, maka sepertiga (isi perutnya) untuk makanan, sepertiganya lagi untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk nafsunya,” (HR Ahmad).

Dan demikianlah para sahabat Nabi serta orang-orang setelah mereka terdidik hidup zuhud di dunia, mereka semua mengetahui bahwa kehidupan dunia hanya sesaat, maka dari itu mereka menjadikan kehidupan ini untuk Allah sebagai ketaatan.

Inilah pesan terakhir Abu Baqar ash-Shiddiq, ketika ajal telah mendekat, ia berkata kepada ‘Aisyah RA,“Sesungguhnya saya tidak mengetahui pada keluarga Abu Bakar sedikit harta pun kecuali seekor unta jantan dan budak yang selalu mengurus pedang-pedang kaum Muslimin ini dan selalu membantu kami, jika aku mati, maka serahkan ia kepada Umar,”

Maka ketika ‘Aisyah menyerahkan budak itu kepada Umar, maka Umar berkata, “Semoga Allah mengasihi Abu Bakar, sesungguhnya ia telah memberi beban kepada orang setelahnya.”

Dan beginilah kehidupan para sahabat Rasulullah SAW, mereka lapar makanan, akan tetapi mereka kenyang akan keimanan dan mereka telah menggunakan sebaik-baiknya pakaian, yaitu pakaian ketakwaan.

Maka dari itu mereka pusa dengan sedikit karena mereka mengharapkan sesuatu yang ada di sisi Allah SWT.

Amat jauh dengan kita sekarang, di mana kita saat ini masih amat erat berhubungan dengan segala sesuatu keduniawian. Bahkan, ada di antara kita menjadikan dunia ini sebagai kekasih dan pendamping hidup.

Allah SWT berfirman, “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja), dan kamu telah bersenang-senang dengannya,” (QS Al-Ahqaf: 20).

Sesungguhnya, manusia telah bersikap berlebihan dalam urusan kehidupan dunia hingga angan-angan dan tujuan ada hanyalah untuk memenuhi segala tuntutan nafsu.

Sebagian orang salaf berkata, “Dahulu ada beberapa generasi muda Bani Israil rajin beribadah dan berpuasa hingga jika tiba waktu untuk berbuka, maka seseorang di antara mereka berdiri lalu berkata, ‘Janganlah kamu banyak makan, karena hal itu akan banyak menyebabkan kamu banyak merugi’,”

Ibnu Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa membuka lebar-lebar pintu halal dapat menyebabkan banyak gangguan dalam menjalankan perintah agama, maka tutupilah bejana-bejana sebelum membuka air, gunakan baju besi sebelum turun ke medan perang, dan pikirkanlah sebelum akibat yang akan terjadi sebelum engkau menggerakkan tangan.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar