Selasa, 16 Februari 2016

Jabatan dan Kekuasaan adalah Amanah

Jabatan adalah Amanah

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan berambisi merebut jabatan, dan nanti pada hari kiamat jabatan-jabatan itu akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari)

Maha benar Allah dan Rasul-Nya, fenomena ini nampak jelas di hadapan kita. Masih terekam jelas di dalam ingatan kita saat Pemilu dilaksanakan beberapa saat yang lalu. Sejak pemilu dilaksanakan secara langsung nampaklah orang-orang yang berambisi terhadap dunia memperebutkan suatu kedudukan yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Mereka tidak sadar akan hal tersebut, bahwa jabatan adalah sebuah amanat yang sangat berat. Tidak hanya di dalam Pemilu, saat ini banyak sekali jabatan yang diperebutkan melalui sistem pemilihan. Mulai dari bupati, walikota, rektor universitas, kepala desa atau bahkan sekedar ketua BEM sebuah fakultas.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang memintanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

Dari Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada saya, “Hai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan karena apabila kamu diberi jabatan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong dalam melaksanakannya dan apabila kamu diberi karena meminta maka pelaksanaan jabatan itu sepenuhnya diberikan kepadamu.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak akan menolong orang-orang yang mendapatkan jabatan karena meminta, jadi bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan amanat tersebut, kalau Allah telah berlepas diri darinya, maka takutlah wahai para peminta jabatan!

Juga telah diriwayatkan dari Abu Dzar,

Saya berkata, “Wahai Rasulullah kenapa engkau tidak memberi jabatan kepada saya?” Beliau langsung menepukkan tangannya di atas pundakku, kemudian bersabda, “Ya Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah dan jabatan itu amanah, pada hari kiamat ia akan menjadi penghinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan hak jabatan yang menjadi kewajibannya.” (HR. Muslim)

Hal lain yang membuat mata ini sesak ketika keluar rumah adalah terpampangnya gambar para peminta jabatan dimana-mana, di masa-masa kampanye. Di setiap penjuru jalan yang selalu terlihat dimata adalah foto para peminta jabatan dengan aksi yang bermacam-macam, padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar makhluk, maka bagaimana kita mengharapkan kebaikan untuk negara kita kalau kita masih sangat jauh dari jalan Islam yang sesungguhnya.

Kemudian yang lebih menyedihkan adalah para wanita ikut ramai di dalamnya, mereka tidak mau kalah ingin memperebutkan jabatan itu. Padahal para wanita mempunyai tugas tersendiri yang sesuai dengan fitrah dan kemampuannya, yaitu melakukan perbaikan terhadap bangsa ini dari balik tembok (di dalam rumah mereka), yaitu dengan mendidik anak-anaknya, mempersiapkan mereka sebaik mungkin untuk menjadi generasi penerus bangsa. Karena seorang ibu adalah madrasah (sekolah) yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Itulah tugas mulia yang diemban para wanita, semoga kita diberi taufik untuk bisa melakukannya.

################

Tidak bisa dipungkiri jabatan selalu menjadi daya tarik sepanjang masa. Entah sudah berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan (kekuasaan). Semua terekam dalam sejarah. Mulai dari masayarakat purba sampai masyarakat modern selalu menginginkan jabatan. Hal ini disebabkan pandangan mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius.

Ambisi jabatan telah menenggelamkan Fir’aun dengan kesombongannya, yang pada puncaknya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Ada pula Hitler yang gila kekuasaan dan menghalalkan genoside terhadap orang yang berada di luar rasnya.

Namun, jika kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi kepada kekuasaan, mereka menjawab itu semua untuk kebahagiaan. Denan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa menunjukkan aktualisasi dirinya. Selain itu, kekuasaan bagi mereka adalah alat untuk menguasai orang lain. Sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Namun, mereka tersiksa dalam kekalutan. Saat kekuasaan mereka berakhir.

Islam dan Jabatan

Tidak diragukan lagi Islam adalah agama paripurna. Dengan kesempurnaannya Islam memproklamirkan dirinya sebagai rahmatan lilalamin. Bukan saja bagi manusia, bahkan bagi semesta. Salah satu makna dari kata Islam adalah keselamatan. Keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat. Keselamatan adalah perangkat kebahagiaan. Intinya Islam menjamin kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Allah Swt berfirman,”Dan diantara mereka ada yang berdoa Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa nereka.” (Al-Baqarah: 201).

Sungguh banyak sekali disediakan Allah Swt jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Jabatan adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun jabatan hanya sarana, bukan tujuan. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana tersebut dan tidak mempergunakannya untuk mencapai tujuan, maka kebahagiaan tidak akan diperoleh.

Jabatan Adalah Amanah

Suatu ketika Abu Dzar RA meminta kepada Rasulullah Saw agar diberi suatu jabatan. Rasulullah menjawab permintaan Abu Dzar dengan sabdanya, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).

Imam Muslim dan an-Naisaburi menempatkan hadist ini pada kitab Imarah (kepemimpinan) bab Karahah al Imrah Biqhari Darwah (dibencinya menerima amanah kepemimpinan tanpa darurat).

Imam Nawawi mengatakan bahwa hadist ini adalah prinsip agung dalam menjauhi jabatan dan kepemimpinan, terutama bagi orang yang lemah memikul tanggungjawab. Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa jabatan adalah amanah. Rasulullah menolak permintaan Abu Dzar karena mengetahui ia lemah dalam hal ini. Hal ini dilakukan tanpa basa-basi, kendati Abu Dzar adalah sahabat generasi awal masuk Islam.

Hakikat Jabatan

Dalam Islam Masyarakat Islam mempunyai tabiat Haraki. Masyarakat yang bergerak dan dinamis. Masyarakat yang bergerak, beramal demi kepentingan Islam. Maka individunya juga bergerak. Dalam pergerakan ini akan sangat mudah diketahui kemampuannya, keikhlasannya, pengorbanan dan sifat-sifatnya tanpa harus mengkampanyekan dan mempromosikan dirinya kepada saudara-saudaranya.

Sehingga, jika ada individu dalam komunitas ini yang terlihat lebih baik dari yang lainnya mereka otomatis akan diminta menjadi pimpinan mereka. Sehingga kualitas Iman adalah kualitas pertama.

Kekuatan Ilmu dan pengetahuan adalah kekuatan selanjutnya. Kualitas Iman dan ilmu inilah juga yang menjadi parameter Rasulullan Saw mengangkat Bilal bin Rabah, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asari sebagai gubernur. Sedangkan masyarakat jahiliyah (mujtama’ jahili) adalah masyarakat yang stagnan.

Penilaian untuk menjadi pemimpin bagi mereka adalah kekuatan materi dan status sosial. Parameter mereka adalah keduniaan. Sehingga ketika memimpin mereka membangun fisik saja melupakan membangun jiwa.

Bukankah kebahagian itu dimulai dari jiwa baru raganya. Bahkan lagu kebangsaan kita ada lirik yang berbunyi, “Bangunlah Jiwanya, bangunlah raganya untuk Indonesia Raya.”

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah Swt mengangkat Thalut sebagai raja Bani Israil. Thalut bukanlah keturunan Yahudi. Ia hanyalah tentara biasa, orang miskin dan tidak memiliki kekayaan untuk memimpin dan mendirikan kerajaan. Bani Israil membantah dan menyanggah nabi mereka. “Bagaimana mungkin ia dapat memerintah kami, padahal kami lebih berhak daripada dia dan dia tiada dianugerahi kelapangan harta dan bukan pula keturunan raja.”

Seperti kondisi kita saat ini untuk bisa mencalonkan diri sebagai seorang pejabat (Presiden, gubernur, Bupati, walikota, anggota legislatif atau sebagainya) harus memiliki uang dalam jumlah yang banyak, karena dengan semua hal tersebut akan dibiayai segala keperluannya. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan adanya bisnis kekuasaan. Seorang yang sudah mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk mendapatkan jabatan, terdorong untuk mendapatkan kembali uang tersebut. Kalau bisa lebih. Selain itu, ia akan berusaha mempertahankan jabatannya. Karena ia menganggap itu adalah sumber penghasilan. Jadi kapan mereka akan memikirkan kemaslahatan umat dan rakyat yang mereka pimpin?

“Sesungguhnya Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)

#################


Amanah yang dibeban Allah kepada hambanya itu bermacam-macam. Di sini amanah sinonim dengan kewajiban dan beban seorang pribadi. Secara umum amanah itu dibagi menjadi dua : amanah individu dan sosial.

Amanah bersifat individu misalnya amanah fitrah. Dimana Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Tugas manusia adalah menjaga dan melestarikan fitrahnya agar senantiasa selaras dengan syariat Allah dan waspada terhadap dorongan hawa nafsu agar tidak menyimpang. (Al-A’raf: 172).

Amanah individu lainnya, adalah amanah taklif syar’i, dimana setiap hamba yang sudah memenuhi syarat tertentu dibebankan menunaikan kewajiban syariat Allah.

Selain itu amanah individu ada amanah tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama).

Di satu sisi ini bertujuan menjaga agama itu sendiri dari campur tangan manusia. Di sisi lain ia sebagai rujukan manusia dalam urusan agama.

“Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

Sementara amanah bersifat sosial adalah amanah dakwah. Setiap Muslim berkewajiban menyampaikan Islam kepada masyarakat. Tujuannya adalah membangun masyarakat Muslim sesuai dengan aturan Allah. Sehingga ia mampu menunaikan amanah lebih besar yakni amanah untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah Ta’ala dalam segala aspek kehidupannya.

Menyerahkan Urusan Yang Bukan Amanah

Menunaikan amanah bukanlah pekerjaan ringan. Bahkan langit, bumi dan gunung-gunung tidak mampu mengembannya. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim danamat bodoh.” (Al Ahzab: 72).

Manusia diberi beban amanah kerena ia memiliki kemampuan berbeda dengan benda-benda padat. Manusia memiliki hati dan akal fikiran, keimanan, perasaan kasih sayang empati kepada sesama yang mendukungnya menunaikan amanah. Amanah itu menentukan nasib sebuah bangsa.

Jika setiap orang menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggungjawab maka selamatlah mereka. Sebaliknya jika diselewengkan maka hancurlah sebuah bangsa.

Sehingga Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disia-siakan,maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?.Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Namun demikian amanah itu memiliki tingkatan dan kadar berat ringannya. Beratnya amanah dipengaruhi oleh faktor kapabilitas dan ruang lingkup dan cakupan penunaiannya.

Semakin tinggi kapabilitas, jabatan dan luas ruang lingkup seseorang, maka semakin berat pula amanahnya. Di sini bisa katakan bahwa amanah kepemimpinan adalah paling berat. Tak heran bila ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan amanah seperti di atas lebih ditujukan kepada para pemimpin, pejabat publik, dan penegak hukum.

Karenanya, Islam memiliki perhatian besar terhadap masalah yang satu ini. Dalam hal amanah jabatan (apakah sebagai anggota DPRD, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, Menteri atau  bahkan Presiden) bukanlah sesuatu yang diminta-minta atau dengan mengemis-ngemis apalagi dikejar dengan segala cara tanpa mempedulikan prinsip-prinsip agama. Sebab jabatan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat.

Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itupula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Dzarr, kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali orang yang memang berhak dan menunaikan amanah itu.” (H. R. Muslim).

Oleh karenanya, para ulama yang memiliki perhatian besar terhadap kepemimpinan dan politik Islam rata-rata memiliki buku khusus menguraikan hal ini. Ibnu Taimiyah misalnya memiliki buku “Al-ahkam as-sulthaniyah” (hukum-hukum terkait kekuasaan). Di dalamnya Ibnu Taimiyah menguraikan urgensi kepemimpinan, ”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin.

Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.

Terkait hal yang sama Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran.

Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan penguasa”.

Inilah yang menjadi alasan kenapa pemimpin itu memiliki amanah lebih berat di banding lainnya. Semakin tinggi cakupan kepemimpinannya semakin berat amanahnya. Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah Saw: “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”

Sebagian besar orang lebih memahami jabatan dan pangkat sebagai penghargaan dan penghormatan serta prestisius ketimbang sebagai amanah dan tanggungjawab. Sehingga di negeri ini amanah kepemimpinan dan jabatan diperebutkan secara massiv.

Tokoh dan pemimpin berlomba-lomba memperebutkan amanah itu. Masyarakat tidak memiliki jalan lain kecuali harus memilih mereka. Namun sebagai muslim tetap harus berperasangka baik kepada mereka bahwa itu dalam rangka kompetisi dalam kebaikan. Tugas kita adalah mengenal dan memiliki informasi watak, trackrecord, moral, visi misi calon-calon pemimpin bangsa itu. Apakah watak dan moralnya diharapkan mampu mengemban amanah atau berpotensi menyimpang. Apakah visi dan misinya ingin menegakkan syariat Allah di bumi ini sehingga menjadi negeri makmur “Gemah Ripah loh Jinawi” yang diberkahi Allah? Ataukah justru mempersempit ruang penerapan syariat Islam di segala bidang.

Wallahu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar