Selasa, 19 Juni 2018

Jenderal Polisi Hoegeng : Saya Polisi Bukan Politisi




“Saya polisi, bukan politisi,” demikian kata mendiang Jenderal Hoegeng Imam Santoso, Kapolri ke-5 yang dinobatkan sebagai polisi terjujur sedunia oleh MURI pada Maret 2015 lalu. Kata-kata ini rasanya relevan dan tepat untuk mengingatkan kembali sekaligus sebagai autokritik terhadap segenap korps kepolisian yang saat ini sering ikut “bermain” dalam politik praktis. Baik dalam bentuk mendukung partai politik tertentu dengan janji “imbalan” posisi penting kelak, atau menggunakan institusi sebagai alat berpolitik orang-orang tertentu di institusi.


Hoegeng ingin menegaskan bahwa polisi bukan politisi. Polisi tidak boleh berpolitik praktis, apalagi menggunakannya untuk tujuan politik, yakni mendapatkan kekuasaan atau menopang suatu kekuasaan politik di luar institusinya. Kerja dan tugas polisi adalah mengabdi pada masyarakat dan negara sebagai penegak hukum. Kedekatan seorang tokoh polisi dengan tokoh politik seyogianya tak menjadikannya sebagai jembatan untuk ikut berpolitik praktis. Penegakan hukum oleh polisi tak boleh pandang bulu. Jangan sampai karena ada “kedekatan” dengan politisi tertentu, hukum menjadi tumpul.

Apa yang menimpa Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK, yang dijadikan tersangka, kemudian ditangkap, lalu dibebaskan dan kasusnya akan diproses terus, menjadi salah satu indikator betapa polisi telah ikut bermain politik. Diduga, penangkapan Novel karena terkait dengan kasus yang tengah ditangani Novel terhadap salah satu kader partai politik. Polisi katanya punya banyak alasan untuk menangkap Novel yang ternyata alasan itu banyak sekali kejanggalan di dalamnya.

Sebelumnya, pelbagai masalah yang terjadi antara polisi dengan KPK diduga juga karena ada unsur politik. Seperti kita tahu, sebelum menjadi Wakapolri seperti saat ini, Budi Gunawan diajukan oleh PDI Perjuangan sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, KPK menetapkannya sebagai tersangka sebelum kemudian menang di sidang praperadilan, sehingga ia bebas dari status tersangka KPK. Selama proses itu, beberapa petinggi KPK balik ditersangkakan oleh polisi. Misalnya, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Kedua orang ini kemudian diberhentikan oleh Presiden Jokowi.

Lebih ke belakang lagi, sebelum pemilihan presiden berlangsung, salah satu petinggi partai kepergok mengadakan pertemuan dengan petinggi polisi yang disinyalir tengah membicarakan pilpres. Publik pun menduga-duga, ada kepentingan tertentu yang menurut mereka kemudian terbukti dengan diajukannya Budi Gunawan sebagai calon tunggal. Jika dugaan ini benar, betapa institusi polisi telah dijadikan sebagai alat atau kendaraan politik. Politisi dan polisi seperti “berselingkuh” di dunia politik praktis yang sama-sama menguntungkan. Ibaratnya, politisi perlu polisi untuk menjamin suatu kepentingan politik, dan polisi perlu politisi untuk menjamin kekuasaan akan tergenggam nantinya.

Naluri Jenderal Hoegeng benar-benar tajam. Ia sadar betul posisi institusi polisi yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, tidak terkecuali kepentingan politik praktis. Ketika institusi polisi masih di bawah Menteri Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri), polisi menjadi alat politik kekuasaan untuk menjamin status quo dan berlangsungnya kekuasaan tanpa perubahan apalagi goyangan dan ancaman. Di masa reformasi, institusi polisi ditarik keluar menjadi mandiri dan berada di bawah presiden langsung agar independen dari tarikan-tarikan politik praktis. Kenyataannya, harapan ke arah itu belum juga sepenuhnya terwujudkan sampai saat ini. Polisi, meskipun secara institusi sudah mandiri, dalam kenyataannya seringkali “bermain” politik praktis layaknya politisi.

Belakangan muncul wacana untuk mengembalikan polisi seperti di masa lalu, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ini seperti masalah pilkada diserahkan kepada DPRD (pilkada tidak langsung) seperti di era Orde Baru (Orba) yang sempat ramai beberapa waktu lalu sebelum kemudian dikembalikan lagi kepada pilkada langsung. Sebagian berpandangan mengambil jalan tengah dengan tetap menjadikan institusi polisi berada di bawah presiden, tetapi perlu ada kementerian khusus yang melakukan koordinasi dan pembinaan, seperti halnya TNI yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Untuk polisi, dalam hal ini bisa jadi adalah Kementerian Dalam Negeri.

Pandangan jalan tengah ini misalnya dikatakan oleh anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Menurutnya, kementerian yang ditunjuk antara lain bertugas untuk menyusun anggaran, prioritas kerja, dan standar profesi untuk polisi. Kementerian itu juga melakukan evaluasi terhadap polisi. Adapun tugas polisi adalah melaksanakan kebijakan teknis dan strategis yang diturunkan dari kebijakan politik yang ditetapkan kementerian tersebut. Mantan anggota Tim Sembilan yang dibentuk Presiden Joko Widodo terkait Polri-KPK, Bambang Widodo Umar, juga mendukung perlunya polisi di bawah koordinasi suatu kementerian. Ia menegaskan, polisi bukan lembaga politis.

Wacana jalan tengah ini tampaknya layak dipertimbangkan untuk meredam hasrat berpolitik praktis polisi. Dengan demikian, polisi tetap independen di bawah presiden langsung, namun berada dalam koordinasi kementerian tertentu, seperti halnya TNI. Pertanyaannya, siapkah institusi polisi melakukan reformasi internal seperti yang diharapkan, sehingga konsentrasi maksimal dan optimal pada upaya penegakan hukum yang adil tanpa motif-motif politik tertentu bisa benar-benar terwujud? Publik berharap, polisi benar-benar independen, menjauhkan diri dari pelbagai kepentingan politik praktis seperti ditegaskan Jenderal Hoegeng. Polisi, sekali lagi, adalah abdi masyarakat dan negara. Kepentingannya adalah menegakkan hukum, bukan bermain politik dengan mengatasnamakan penegakan hukum.


http://fajar-kurnianto.blogspot.com

Kamis, 14 Juni 2018

Apa itu WAHABI ?


Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *

Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:
  • Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
  • Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
  • Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
  • Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • Ringkasan dan penutup.
Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.
Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.
Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.
Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)
tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.
Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.
Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut
Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-‘am: 112)
Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:
  • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
  • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
  • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
  • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
  • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)
Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi
Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).
Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:
  • Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
  • Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
  • Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
  • Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
  • Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
  • Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
  • Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
  • Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
  • Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
  • Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
  • Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
  • Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
  • Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
  • Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
  • Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.
  • Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.
Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.
Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.
Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamyang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)
Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.
Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)
Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhabadalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)
Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)
Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.
  • Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanahkarangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah”karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah”karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid”karangan Ibnu Mandah, dll.
  • Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’iTafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At ThobaryTafsir Al Qurtuby Al MalikyTafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
  • Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
  • Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid”karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam”karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu'”karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny”karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.
Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”
Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.
Ringkasan Dan Penutup
Ringkasan:
  • Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
  • Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
  • Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
  • Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
  • Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.
Penutup
Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.


*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii,  Jember, Jawa Timur

***

Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *


Selasa, 12 Juni 2018

Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan


Baru-baru ini, isu cadar menjadi berita karena Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta melarang penggunaan cadar di wilayah kampus dengan alasan anomalitas dan kecurigaan terkait perluasan radikalisme. Belum lagi reda isu tersebut, ada lagi kontroversi soal puisi Sukmawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama Soekarno, yang membenturkan cadar dengan konde. Di media sosial, tidak sedikit pula aktivis feminis yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pemakaian cadar. Beberapa berkesimpulan bahwa cadar merupakan bentuk penindasan, ada pula yang berasumsi bahwa perempuan pemakai cadar adalah korban doktrinasi.
 
Isu cadar dan wacana “menutup aurat” memang cukup kompleks karena menyangkut keyakinan agama dan ketubuhan perempuan. Bagaimana seharusnya kita memahami permasalahan ini? Bagaimana sebenarnya konteks kesejarahan penutup tubuh perempuan dalam tradisi Islam? Seperti apa kondisi politik yang sedang menaungi isu ini?
 
Pertanyaan-pertanyaan ini dikupas oleh diskusi Jakarta Feminist Group Discussion pekan lalu yang bertajuk, “Jilbab, Cadar, Niqab, dan Hijab: Antara Pembebasan dan Pemenjaraan Perempuan”. Sebagai narasumber adalah ahli sosiologi dan antropologi agama, Lies Marcoes Natsir, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB)—sebuah lembaga riset non-pemerintah yang mengadvokasi kebijakan guna memperjuangkan hak kelompok marginal akibat pandangan sosial keagamaan yang diskriminatif, dan Aquino Hayunta, mantan manajer program Yayasan Jurnal Perempuan yang sekarang bekerja di Koalisi Seni Indonesia (KSI), sebuah organisasi yang mengadvokasi kebijakan publik dalam bidang kesenian.
 
“Penting untuk melihat isu ini dengan perspektif feminisme, sebab pada dasarnya, feminisme sebagai pendekatan kritis mempersoalkan ketertindasan perempuan, baik karena tubuhnya atau persepsi atas dirinya. Cadar tentunya berkaitan langsung dengan persoalan tersebut,” jelas Lies, membuka diskusi.
 
Secara garis besar, kedua pembicara menggarisbawahi bahwa perspektif feminisme sama sekali tidak berupaya mempolitisasi ataupun mengatur tubuh perempuan.
 
Aquino secara spesifik menekankan bahwa pandangan-pandangan feminis bermuara pada aspek pentingnya memastikan bahwa perempuan memiliki kendali untuk menentukan apa yang baik atau buruk bagi dirinya sendiri.
 
“Dalam feminisme, terdapat dua posisi yang mungkin diambil. Pertama, feminis yang tidak mempermasalahkan jilbab, cadar, niqab, atau hijab percaya bahwa perempuan memiliki otonomi untuk memutuskan apa yang ingin mereka kenakan. Sedangkan, kelompok feminis yang menolak cenderung berasumsi bahwa ketika perempuan memutuskan untuk mengenakannya, mereka sedang berada di bawah tekanan lingkungan sosial, sehingga keputusan yang diambil bukan keputusan pribadi melainkan karena tuntutan atau paksaan,” ujar Aquino.
 
Perempuan dalam Kesejarahan Islam dan Transisi Zaman
 
Untuk dapat memahami tradisi penggunaan penutup kepala, Lies mengklasifikasikan jenis-jenisnya berdasarkan letak geografisnya.
 
“Di Indonesia, kita mengenal penutup kepala yang tidak terlalu panjang, sekitar sebahu atau sepunggung, yang secara umum dikenal dengan sebutan jilbab—meski sebenarnya istilah jilbab dalam bahasa Arab merujuk pada jenis pakaian abaya (gamis). Di Iran, jenis yang digunakan bernama chador, yakni jubah hitam yang menutup seluruh tubuh pemakainya kecuali bagian wajah. Sedangkan, di Afghanistan, jenis yang digunakan bernama burka, yakni serupa chador, umumnya berwarna biru, namun menutup juga bagian wajah dan ada jaring-jaring di area mata. Mirip dengan chador dan burka adalah niqab yakni jubah hitam dengan bagian wajah tertutup, kecuali di bagian mata,” jelas Lies.
 
Pakaian-pakaian tersebut berakar dari tradisi pada masa pra-Islam di jazirah Arab sampai Afrika, yang ditandai dengan pola masyarakat yang bertransisi dari masyarakat nomaden (berpindah-pindah tempat) ke masyarakat pra-modern, ujar Lies. Pada zaman ini tradisi literasi, puisi, dan sastra sudah ada, dan perekonomian tidak lagi berupa barter, melainkan perdagangan, tambahnya.
 
“Pada masa itu, wilayah Mesir, Ethiopia, dan Yemen termasuk wilayah-wilayah yang cukup dinamis. Kota Madina termasuk area metropolitan, sedangkan Makkah dikenal sebagai tempat orang berkumpul, berdiskusi, dan mengisi air perbekalan untuk perjalanan jauh. Di sisi lain, area kampung pesisir, yakni tepatnya di Bukit Nejd, memiliki corak budaya yang sangat homogen dan tertutup. Baju hitam yang sekarang digunakan di Arab Saudi berasal dari tradisi masyarakat Nejd,” Lies menjelaskan.
 
Wilayah-wilayah tersebut memiliki budaya tribal dengan banyak klan, dan sumber hukum yang berlaku adalah perjanjian-perjanjian antar kelompok.
 
“Kekuatan tiap klan ada pada kemampuan mengupayakan perjanjian, dan harga diri klan bergantung pada seberapa mampu mereka melindungi anggota perempuan. Dengan kata lain, penjagaan perempuan bukan karena kesadaran akan pentingnya hal tersebut, melainkan demi martabat klan,” ungkap Lies.
 
Dalam corak masyarakat seperti itulah Islam lahir, yang memengaruhi, misalnya, posisi perempuan di barisan belakang saat salat berjamaah, sebagai wujud upaya perlindungan perempuan terutama dalam situasi perang.
 
“Artefak sejak zaman sebelum Islam masuk menunjukkan bahwa perempuan merupakan suatu hal yang memalukan. Salah satu kisah, misalnya, menceritakan sosok khalifah Umar (bin Khatab) yang sering menangis karena teringat bagaimana ia membunuh anak perempuannya. Pada masa itu, memang pembunuhan anak-anak perempuan sangat wajar dilakukan,” kata Lies.
 
Oleh karena itu, agar perempuan dapat bertahan dalam tradisi tribal tersebut, perempuan harus “dimaskulinkan”, atau menjalankan peran laki-laki, yakni termasuk memiliki kemampuan berperang, mengendarai kuda, main pedang, berenang, hingga berdagang.
 
Lantas, apa yang ditawarkan oleh Islam untuk konteks zaman yang demikian?
 
“Pertama, Islam menawarkan reformasi hukum. Misalnya, perilaku zina yang pada waktu itu dihukum rajam, ditawarkan alternatif oleh Islam, yakni dalam bentuk penebusan, sehingga jika berzina maka tebuslah beberapa budak; berbuat dosa, maka beri makan ke anak yatim piatu, atau nafkahi janda, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, Islam berusaha mengganti hukum-hukum yang sifatnya fisik, dengan bentuk-bentuk penebusan,” papar Lies.
 
“Kedua, Islam menyuarakan revolusi kelas. Masyarakat pada zaman itu adalah masyarakat kelas, salah satunya diperlihatkan dengan cara perempuan berpakaian.”
 
Pakaian budak pada zaman itu hanya menutupi bagian pusar hingga betis, sementara perempuan dari kampung Nejd mengenakan pakaian jubah yang menutup wajah berwarna hitam, sedangkan, perempuan kelas atas yang aristokrat, seperti yang disebutkan dalam Alquran, menggunakan “perhiasan-perhiasan tali di lehernya”, yang menyiratkan kesombongan dan dikritik oleh Islam.
 
“Ketika sedang dalam upaya membangun peradaban Islam, Nabi Muhammad memanggil semua unsur rakyat. Nabi lantas berkata, ‘Bagi yang mengenakan penutup wajah, buka! Di sini amalmu sama dengan yang lain, karena kamu adalah seseorang’. Hal ini menjadikan kelompok perempuan yang anonim menjadi dikenali. Bagi kelas atas, ‘Tutup dadamu, karena kekayaanmu tidak akan dibawa ke mana-mana’. Untuk kelas budak, ‘Ulurkan jilbabmu, sebab di sini kau bukan milik siapa-siapa, bukan juga milik tuanmu’. Dengan kata lain, perintah ‘menutup aurat’ pada saat itu menandakan terjadinya revolusi kelas!” papar Lies.
 
Belakangan, pada abad 18, muncul kebudayaan baru dari pegunungan Nejd yang mengkritik masyarakat hedonisme. Kebudayaan ini kemudian dikenal dengan sebutan Wahabisme.
 
“Saat itu, Abdullah bin Wahhab yang memprotes hedonisme mendapat proteksi dari Inggris. Momen tersebut menandai transisi Islam era kolonialisme. Di era ini, kebiasaan untuk melindungi atas nama maskulinitas laki-laki tinggi sekali. Perempuan dirumahkan, karena berbeda dengan konteks tribal di masa sebelumnya, laki-laki tidak mampu melindungi perempuan dari orang-orang penjajah,” ujar Lies.
 
“Hasilnya, perempuan dilarang keluar rumah karena dinilai terlalu berbahaya. Sehingga, pada masa itu, hijab berperan penting memungkinkan perempuan untuk meninggalkan rumah. Di Afghanistan misalnya, perempuan pada masa kolonial baru bisa keluar rumah untuk mengambil air, pergi ke dokter, dan tempat lain dengan lebih bebas, saat ia memakai hijab. Tentu dalam konteks ini hijab berperan membebaskan perempuan.”
 
Kesejarahan Hijab dalam Konteks Politik Indonesia
 
Dalam konteks sejarah Indonesia, perguliran diskursus mengenai hijab terjadi terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, yang merepresi kelompok dan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, sebagai pengekangan kebebasan berekspresi.
 
“Di masa awal pemerintahan Orde Baru, ada larangan bagi perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab. Larangan tersebut berhubungan dengan pengekangan kebebasan berekspresi. Rezim otoriter tentu menekan berbagai bentuk ekspresi, termasuk ekspresi keagamaan untuk mencegah terbentuknya kelompok oposisi. Dengan membungkam ekspresi, maka tidak muncul keragaman pemikiran dan perbedaan identitas,” ungkap Aquino.
 
“Isu hijab dan cadar itu sendiri mengemuka pada 1979-80an. Pada saat itu, gerakan Islam Indonesia sedang terinspirasi oleh Revolusi Iran. Studi Islam pada waktu itu sangat terinspirasi dengan upaya penggunaan identitas politik sebagai Muslim atau Islam untuk melawan pemerintah. Oleh karena itu, pada masa Orde Baru, identitas Islam diredam—termasuk juga komunisme, gerakan perempuan, dan gerakan anak muda,” jelas Aquino.
 
Ia juga menggarisbawahi bagaimana jilbab diatur dalam standardisasi penggunaan seragam sekolah pada rezim Orde Baru.
 
“Akibatnya, delapan siswi di Bandung terancam dikeluarkan karena adanya kekhawatiran bahwa jilbab yang mereka kenakan mengandung unsur politik yang melawan pemerintah,” tambahnya.
 
Selain itu, Aquino juga menyebutkan berkembangnya rumor-rumor untuk mencegah pemakaian jilbab di Indonesia, misalnya “jilbab beracun”, mengacu pada perempuan-perempuan yang dipercaya menyebarkan racun di pasar-pasar.
 
“Pada isu jilbab, titik balik terjadi ketika rezim Orde Baru merasa memerlukan dukungan Islam. Soeharto sadar ia tak dapat menjadi presiden terus-menerus, dan pesaing kuatnya pada waktu itu adalah Benny Moerdani, yang beragama Katolik. Dalam tubuh ABRI, pendukung Soeharto dan Benny Moerdani sama-sama kuat, sehingga potensi bagi Benny untuk menjadi penerus kepresidenan cukup tinggi. Pada saat itulah, Soeharto akhirnya mencabut larangan berjilbab,” jelas Aquino.
 
Pencabutan larangan berjilbab, ujarnya, menandai masa-masa awal kemesraan Orde Baru dengan Islam, disusul dengan berita bahwa Soeharto naik haji dan ibu negara, Tien Soeharto, yang tiba-tiba menggunakan jilbab.
 
“Kelompok yang menolak larut dalam Islam politik, tidak lain adalah NU (Nahdlatul Ulama) yang pada saat itu dipimpin oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada perkembangannya, ia menjadi sosok oposisi yang cukup ditakuti oleh Soeharto,” tambahnya.
 
Kepentingan pemerintah pada saat itu menjadikan ekspresi perempuan sebagai komoditas, yang disesuaikan dengan kepentingan politik.
 
“Ketika dukungan Islam di ranah politik dibutuhkan, muncul peraturan daerah (perda) syariat dan pemakaian jilbab di beberapa kabupaten diwajibkan, bahkan warga non-muslim terpaksa memakai jilbab karena perda tersebut,” ungkap Aquino. “Sementara itu, di Sumatera Utara pemakaian jilbab dilarang di kalangan dokter karena dianggap menghambat kontak komunikasi dengan pasien. Sering terjadi pertarungan ketat antara identitas nasionalis dengan identitas Islamis,” ujarnya.

Aquino menyimpulkan bahwa aturan mengenai penggunaan atribut agama, termasuk jilbab, sering kali bergantung pada persaingan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkompetisi untuk meraih kekuasaan.

“Seringkali perdebatan dan perpecahan disulut untuk kepentingan-kepentingan politik. Oleh karena itu, kita semua dituntut untuk senantiasa kritis dalam menanggapi perguliran isu,” tutupnya.
 
Lies menambahkan bahwa di tengah kontroversi soal cadar, masyarakat seharusnya mempertanyakan apakah benar cadar atau jilbab mengganggu atau ada hal lain yang lebih fundamental.
 
Di tengah meningkatnya konservatisme agama di negara ini, di ruang publik ada kontestasi antara hukum manusia dan “hukum Tuhan”, yang diperburuk oleh “power” yang ikut bermain, ujarnya.
 
“Daripada menjadikan perempuan sebagai battleground atau arena berperang, lebih baik masyarakat menaruh perhatian terhadap gerakan politik yang mengancam demokrasi. Dan kita selalu ragu untuk bergerak atas nama demokrasi, malah terseret pada soal-soal partikular.”

Senin, 11 Juni 2018

Pengertian Rukhshah

Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:
الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:
{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]
PEMBAGIAN RUKHSHAH.
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:
1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. [al-Baqarah/2:184].
Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].
Pada kitab yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]
Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut: Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]
Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang lengah.
Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”
Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya. [3]
2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta’ala, berfirman : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].
Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya”. Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)”. Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]
3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.
4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].
Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.
6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].
7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar’i seperti bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].
Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].
Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :”Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.
Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].
Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka berpusa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata; Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].
Wallahu ‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :
1. Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.
2. Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101). Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).Umar bin Khatab berkata:
عجب مما عجبت منه ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك . فقال : صدقة تصدق الله بها عليكم ، فاقبلوا صدقته .
Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.
3. Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala senang kalau shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته .
Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata : “Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah [HR.Bukhari dan Muslim].
Wallahu ‘A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Albani menyebutkan dalam kitab Irwa’ juz 4 hal 19 dari al-Thabary dan beliau berkata; sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Muslim
[2]. HR.Daraquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Abdul Adzim al-Khalfi di kitab al-Wajiz hal. 142.
[3]. Fatawa lil Muwazhzhafin lajnah Daaimah , tartib Dakhilullah al-Mufhrafy
[4]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqh As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi, hlm. 141.


Sumber: https://almanhaj.or.id/3000-makna-rukhshah-dan-pembagiannya.html