Selasa, 14 April 2015

Jaga Shalat Shubuh

Seandainya kita mencukupkan penyebutan keutamaan shalat Subuh dengan bab-bab yang telah lalu, yaitu masuk surga, melihat wajah Allah, dan semua yang disediakan oleh Allah bagi mereka yang menjaga shalat subuh, sungguh itu telah cukup untuk menjamin mereka terbebas dari siksa api neraka dan terjauhkan dari murka Allah. Kalau bukan karena ridha-Nya, niscaya Allah tidak memasukkan mereka ke dalam surga dan memberi karunia kepada mereka di dalamnya dengan memandang wajah-Nya. Tetapi mungkin ada yang berkata, bisa saja pahala itu diberikan setelah terlebih dahulu masuk neraka dan merasakan pedihnya siksa. Supaya tidak dikatakan demikian, makhluk yang paling menyayangi kita, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membawakan kabar gembira yang agung berikut ini. Diriwayatkan dari Imran bin Ru’biah bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sekali-kali tidak akan masuk neraka seseorang yang mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya.”[1]

Yang dimaksud dengan “shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya”, adalah Shalat Subuh dan Ashar, dikerjakan berjamaah di masjid bagi yang mampu.

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, beliau bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat sebelum tenggelamnya, Allah akan mengharamkannya atas neraka.”[2]

Dan siapa pun yang aman dari siksa neraka kemungkinan besar akan aman dari berbagai hal: dari siksa kubur, dari menunggu lama di mahsyar, dari mizan (timbangan), dari hisab yang buruk, dari tergelincir saat melintasi shirath, dan semua yang kita memohon kepada Allah supaya diselamatkan darinya.

Cahaya Mereka Berpijar di Hadapannya

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan dan dia mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al-Hadid: 57: 28)

Juga “(Yaitu) pada hari ketika kalian melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka). ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Yang kalian kekal di dalamnya.’ Itulah keberuntungan yang besar. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu!’ Dikatakan (kepada mereka), ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)!’ lalu diadakan diantara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS: Al-Hadid: 57: 12-13)

Kelak, dipancangkan shirath antara bumi mahsyar menuju surga di atas neraka Jahannam. Shirath ini adalah satu-satunya jalan yang mesti dilewati untuk sampai ke surga. Allah berfirman, “Dan tidak ada seorangpun dari kalian melainkan melewatinya. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalamnya dalam keadaan berlutut.” (QS: Maryam: 19: 71-72)

Kegelapan menyelimuti shirath ini. Tidak ada seorang pun yang dapat melewatinya kecuali jika dia memiliki cahaya yang menerangi langkahnya. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Orang-orang akan mendapatkan cahaya sekadar dengan amal mereka, lantas mereka meniti shirath. Diantara mereka ada yang cahayanya sebesar pohon kurma. Orang yang paling kecil cahayanya di atas ibu jarinya, kadang-kadang padam dan kadang-kadang menyala.”[3]

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, Abu Umamah ra berkata, “Kegelapan akan diratakan pada hari kiamat. Tidak ada seorang mukmin dan kafir pun yang dapat melihat telapak tangan masing-masing. Sampai Allah memberikan cahaya kepada orang-orang yang beriman sekedar dengan amal mereka. Orang-orang munafik mengikuti mereka seraya berkata, ‘Tunggulah kami! Kami minta cahaya kalian!’ Al-Hasan berkata ‘Cahaya itu dipakainya untuk berjalan diatas shirath.’ Mujahid berkata, ‘Cahaya yang memandu mereka menuju surga.”[4]

Barangsiapa ingin Allah menyempurnakan cahaya-Nya hingga selesai meniti Shirath tanpa terpeleset, hendaklah dia berjalan ke masjid di kegelapan malam untuk melaksanakan shalat shubuh. Dalilnya adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Berilah kabar gembira orang-orang yang berjalan di tengah malam gulita ke masjid-masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.”[5]

Allah berfirman, “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu!” (QS: At-Tarhim: 66: 8).

Shalat Wustha

Di dalam At-Tahmid, Ibnu Abdul Barr menulis, “Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan shalat Wustha adalah shalat subuh. Sebagian berpendapat, shalat wustha adalah shalat subuh. Diantara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Abdullah bin Abbas ra, riwayat paling shahih darinya berkenaan dengan ini, Abdullah bin Umar ra dan Aisyah ra; dengan adanya perbedaan pendapat ini diantara mereka dalam masalah itu. Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Ibnu Umar berkata, ‘Shalat wustha adalah shalat subuh.’ Ini juga pendapat Thawus, Mujahid, dan Imam Malik bin Anas serta sahabat-sahabatnya. Ikrimah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas ra berkata, ‘Shalat Wustha adalah shalat subuh. Ia dikerjakan dalam pekatnya malam dan (awal) benderang siang. Ia adalah shalat yang paling banyak ditinggalkan orang.’ Dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat ini adalah firman Allah, “Dan (dirikanlah pula) bacaan fajar! Sungguh, bacaan Fajar itu disaksikan.” (QS: Al-Isra’: 17: 78) ayat ini mengistimewakn shalat subuh. Shalat yang waktunya berdiri sendiri, tidak ada shalat (wajib) lain di waktu ini. Ada ulama lain yang menambahkan alasannya. Yaitu bahwa ia tidak dijamak bersama shalat lain dalam satu waktu. Wallahu a’lam.[6]

Menurut saya, pendapat ini menyelisihi pendapat jumhur ulama dan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Ali ra, bahwa pada saat perang Ahzab beliau bersabda, “Mereka telah membuat kita ketinggalan shalat wustha, shalat Ashar, semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api.”[7] Kemudian beliau melaksanakannya selepas Maghrib sebelum Isya’.

Bacaan dalam Shalat Subuh

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abdullah bin As-Sa’ib ra, berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengimami kami mengerjakan shalat subuh di Mekah. Beliau membaca surat Al-Mu’minun. Saat sampai kisah Musa dan Harun atau kisah Isa beliau terbatuk-batuk maka beliau rukuk.”[8]

Jabir bin Sumarah ra, menyebutkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca surat Qaf saat shalat subuh.[9]

Amru bin Huraits ra menyebutkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca surat At-Takwir saat shalat subuh.[10]

Jabir bin Samurah ra berkata, “Saat shalat Dzuhur Nabi halallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca Al-Lail, saat shalat Ashar sepanjang itu, dan saat shalat subuh lebih panjang dari itu.”[11]

Jabir bin Samurah, juga meriwayatkan bahwa beliau pernah membaca surat Yasin saat shalat subuh.[12]

Di dalam Musnad disebutkan bahwa beberapa orang sahabat Nabi mendengar beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca surat Ar-Rum saat mengimami mereka shalat Subuh.[13]

Abu Dawud meriwayatkan, seseorang dari Juhainah mendengar Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca surat Az-Zalzalah saat shalat Subuh baik di rakaat yang pertama maupun yang kedua. “Saya tidak tahu apakah Rasulullah saw lupa atau sengaja membacanya.” Katanya.[14]

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, membaca surat Al-Baqarah saat mengimami para sahabat shalat subuh. Dia membacanya sebagian di rakaat pertama dan sebagian lagi di rakaat kedua. (Setelah selesai) para sahabat menyampaikan kepadanya, “Wahai khalifah Rasulullah, matahari hampir terbit!” Kalau pun terbit, matahari tidak menyinari kita sebagai orang-orang yang lalai.” Jawabnya.[15]

Umar saw membaca 120 ayat dari surat Al-Baqarah pada rakaat pertama dan membaca salah satu surat yang sedang panjangnya pada rakaat kedua.

Al-Ahnaf membaca surat Al-Kahfi pada rakaa pertama dan memabca surat Yusuf atau Yunus pada rakaat kedua.”[16]

Imam At-Tirmidzi menyatakan, “Diriwayatkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca surat Al-Waqi’ah saat shalat subuh. Diriwayatkan juga bahwa beliau saw biasa membaca 60 sampai 100 ayat saat shalat subuh. Diriwayatkan juga bahwa beliau membaca surat At-Takwir. Diriwayatkan bahwa Umar ra, menulis surat yang panjang kepad Abu Musa supaya dalam shalat subuh membaca surat yang panjang dari surat-surat yang pendek.” Kemudian At-Tirmidzi berkomentar, “Berdasarkan dalil-dalil inilah bacaan para ulama. Ini pula pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Asy-Syafi’i”[17]

Dari dalil-dalil tersebut kita jadi tahu bahwa memanjangkan bacaan saat shalat subuh termasuk sunnah. Ia dicontohkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, para khilafah, para imam dari kalangan sahabat dan Tabi’in, serta orang-orang mengikuti jejak mereka dan meneladani sunnah mereka sampai hari pembalasan. Diantara hikmah memanjangkan bacaan sahalat subuh disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalm Zad Al-Ma’ad. Ibnu Qayyim menulis, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memanjangkan shalat subuh melebihi shalat-shalat lainnya. Yang demikian itu karena bacaan Fajar disaksikan oleh Allah ta’ala dan para malaikat-Nya. Ada yang mengatakan, disaksikan oelh malaikat siang dan malaikat malam. Kedua pernyataan di atas didasarkan pada keterangan bahwa turunnya Allah ke langit dunia berakhir sampai selesainya shalat subuh ataukah sampai terbit matahari. Masing-masing ada dalilnya. Juga, karena shalat subuh berakaat sedikit, maka memanjangkannya menjadi gantinya. Selain itu, karena shalat subuh dilaksanakan setelah tidur dan istirahat, karena orang-orang belum memulai aktivitas mencari nafkah, dan karena pada waktu shalat subuh pendengaran, lisan dan hati lebih bisa berkonsentrasi sehingga Al-Qur’an pun lebih bisa dipahami dan ditabburi. Terakhir, karena shalat subuh adalah asas dan awal amal, sehingga layak mendapatkan perhatian yang lebih dan dipanjangkan. Inilah beberapa rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang yang punya perhatian kepada rahasia, tujuan, dan hikmah syariah. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Memanjangkan bacaan shalat subuh

Meskipun memanjangkan bacaan saat shalat subuh adalah sunnah, namun tidak seyogiaya imam memanjangkannya sampai memberatkan orang-orang yang ada di belakangya. Sungguh, merepotkan dan memberatkan orang banyak bukan termasuk ajaran agama. Allah berfirman, “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama.” (QS: Al-Hajj: 22: 78). Apalagi Ibnu Abbas ra, meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak shalat bukan karena sakit atau berpergian. Saat ditanya, beliau saw menjawab bahwa beliau tidak ingin memberatkan umatnya.

Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Abu Mas’ud bercerita, “Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Sungguh, saya terlambat karena saat shalat subuh tadi Fulan memanjangkannya.’ Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam marah –aku belum pernah melihat Rasulullah semarah hari itu- dan kemudian bersabda, ‘Wahai sekalian manusia! sungguh, diantara kalian ada yang membuat (orang-orang) lari (dari masjid). Maka barangsiapa mengimami orang banyak hendaklah dia mengerjakan sekedarnya. Karena di belakangnya ada orang yang lemah, yang tua dan yang punya keperluaan.”[18]

Dalam riwayat lain Abu Mas’ud berkata, “Aku belum pernah melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi nasihat dengan kemarahan seperti hari itu. Kemudian beliau bersabda, “Sungguh, diantara kalian ada yang membuat (orang-orang) lari (dari masjid). Siapa saja diantara kalian yang mengimami orang banyak hendaklah dia mengerjakan sekadarnya. Sesungguhnya diantara mereka ada orang yang lemah, yang tua dan yang punya keperluan.”[19]

Ada yang keliru, mengira imam yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Mu’adz ra. Peristiwa Mu’adz terjadi saat shalat Isya’ di masjid bani Salamah. Di sanalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menegur, “Wahai Mu’adz! Apakah kamu mau membuat fitnah?”[20] sedangkan hadits yang kami bawakan berkenaan shalat subuh di masjid Quba’. Di dalam Fath Al-Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa imamnya adalah Ubay bin Ka’ab. Disitu Al-Hafizh juga membawakan satu hadits riwayat Abu Ya’la dan dinyatakannya sebagai hadits hasan.[21] Wallahu a’alam bish-shawab.

Terkait dengan ini di dalam At-Tahmid, Ibnu Abdul Barr menyitir pernyataan Amirul Mukminin Umar Bin Khaththab ra, “Wahai sekalian manusia! Janganlah kalian membuat Allah tidak disukai oleh hamba-hambaNya!” seseorang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Umar menjawab “Seseorang mengimami orang banyak; dia memanjangkan bacaannya sehingga orang-orang tidak suka kepada apa yang mereka lakukan. Atau seseorang berkhutbah; dia memanjangkan khutbahnya sehingga orang-orang tidak suka kepada apa yang mereka kerjakan.”[22]

Tentu saja ini bukan berarti memendekkannya sampai mengurangi, merusak shalat atau menyepelekannya. Moderat, tidak berlebih-lebihan dalam segala sesuatu adalah terpuji. Timbangannya adalah melihat yang bisa ditahan oleh orang yang paling lemah. Sebagaimana diriwayatakan dari Utsman bin Abul Ash, katanya; “Saya pernah meminta, ‘Wahai Rasulullah, jadikan saya imam untuk kaum saya!’ ‘Ya, kamu imam mereka. Lihatlah yang paling lemah dari mereka. Angkatlah seorang muadzin yang tidak meminta upah atas adzannya.”[23]

Lebih dari itu, lemahnya iman yang menimpa hati lebih parah dan lebih memprihatinkan daripada lemahnya badan. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. [Syahida.com]

[1] Muslim hadits no. 643 dan shahih sunan Abu Dawud haits no 427

[2] Shahih Ibnu Khuzaimah hadits no. 318

[3] Ad-Durr Al-Mantsur, tafsir Al-Hadid ayat 12.

[4] Ibid

[5] Shahih Sunan At-Tirmidzi hadits no. 223, shahih Sunan Abu Dawud hadits no. 561 shahih Jami’ shagir hadits no. 2823, Al-Misykat hadits no. 721, shahih At-Targhib wat Tarhib hadits ke 313, Mustadrak Al-Hakim 1/332. Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.”

[6] At-Tahmid, Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdul Barr 4/ 285

[7] Muslim 1/438

[8] Muslim hadits No. 455

[9] Muslim hadits No. 458

[10] Muslim hadits No. 456

[11] Muslim hadits No. 459

[12] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath. Para periwayatnya para periwayat Ash-Shahih. Demikian dikatakan dalam Majma’ Az-Zawaid 2/119.

[13] Ibnu Katisr menyebutnya di tafsir surat Ar-Rum bagian yang terakhir. Dia menyatakan bahwa isnadnya baik. Tafsir Ibnu katsir 4/ 456

[14] Hadits ini menerangkan kebolehan membaca satu surat untuk dua rakaat. Memaknai hadits diatas bahwa Nabi membacanya dalam dua rakaat untuk menerangkan bahwa hal itu boleh dilakukan lebih baik daripada memaknai bahwa beliau lupa. Yang demikian itu karena asal perbuatan beliau adalah tasyri’, sedangkan  lupa bertentangan dengan asal. Nail Al-Authar 2/230 dengan diringkas. Hadits ini ada di dalam shahih Abu Dawud no.816.

[15] Al-Muntaqa Syarth Al-Muwaththa’ 1/153, dan Mushannaf Abdur Razzaq.

[16] Al-Bukhari namun secara mu’allaq 2/503

[17] shahih Sunan At-Tirmidzi 1/98.

[18] Al-Bukhari hadits no. 704

[19] Al-Bukhari hadits no. 702

[20] Al-Bukhari hadits no. 705

[21] Lihat Fath Al-Abri, 2/431

[22] At-Tahmid 19/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar