Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
KOMPAS.com - Inilah visi Reformasi Birokrasi Polri: mabes kecil, polda sedang, polres besar, dan polsek kuat. Artinya, kekuatan Polri harus diletakkan di polsek, yakni kepolisian tingkat kecamatan, sebab di situlah fungsi polisi yang sebenarnya.
Masyarakat menilai Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) dari pelayanan polisi-polisi yang bertugas di polsek (kepolisian sektor), bukan jenderal-jenderal atau kombes-kombes (komisaris besar) di mabes (markas besar). Jangan lupa, masyarakat Indonesia itu bukan hanya di Jakarta, melainkan tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari desa ke kota, dari gunung ke laut, dan polisi harus bisa menjangkau masyarakat di mana pun berada.
Karena itu, polsek tidak cukup hanya diawaki personel yang banyak, tetapi juga harus berkualitas. Polsek-polsek perairan seperti di Maluku atau Kepulauan Natuna perlu dilengkapi dengan polsek-polsek terapung, berupa kapal-kapal yang diawaki polisi pelaut, lengkap dengan reserse, bimas (pembinaan masyarakat), dokes (kedokteran kepolisian) yang bisa mencapai hingga ke pulau-pulau terdepan.
Di sisi lain, polsek-polsek di Papua atau Kalimantan perlu dilengkapi dengan pesawat udara dan helikopter sehingga bisa mencapai desa-desa yang paling terpencil di tengah hutan dan di atas pegunungan. Itulah polsek yang kuat.
Polres (kepolisian resor), setingkat kabupaten, yang membawahi beberapa polsek, harus cukup besar untuk memfasilitasi, mendukung, dan—kalau perlu—mengerahkan tenaga bantuan ke polsek yang memerlukan. Di setiap polres ditempatkan satuan-satuan Brimob (Brigade Mobil) yang dikomandoi oleh kapolres dan sewaktu-waktu bisa membantu polsek jika, misalnya, diperlukan Satuan Gegana untuk menjinakkan bom.
Polres juga dilengkapi dengan Satuan Sabhara yang sewaktu- waktu siap memadamkan huru- hara atau membantu tim Basarnas jika terjadi bencana. Polres juga dilengkapi dengan alat komunikasi canggih untuk mengoordinasikan operasi polsek-polsek di wilayahnya.
Polda (kepolisian daerah) bertugas sebagai koordinator dan fasilitator antarpolres. Di situ juga ditempatkan fasilitas dan pakar-pakar yang canggih, seperti labfor (laboratorium forensik) yang diawaki oleh ahli-ahli forensik yang langka, dan alat-alat laboratorium yang ultramodern. Karena itu, polda cukup sedang- sedang saja, tetapi bisa membantu polres dan polsek dalam kasus-kasus yang tidak biasa. Ibaratnya dalam ilmu kedokteran, polda adalah dokter spesialis konsultan, yang dimintai konsultasinya kalau ada pasien luar biasa.
Adapun mabes yang dipimpin Kapolri cukup kecil saja. Personelnya terbatas pada beberapa pati (perwira tinggi) dan pamen (perwira menengah) yang andal karena tugasnya adalah penentu kebijakan, perencanaan anggaran, alokasi anggaran, pembinaan personel, pendidikan dan pelatihan, dan sebagainya, termasuk tugas-tugas khusus seperti hearing dengan DPR, penanggulangan terorisme, perdagangan manusia, narkoba, Interpol, dan sebagainya.
Piramida terbalik
Dibayangkan secara grafis, organisasi Polri yang kecil di mabes tetapi kuat di polsek akan berbentuk piramida yang kukuh berdiri seperti piramida di Kairo, Mesir.
Akan tetapi, nyatanya, sampai sekarang organisasi Polri masih seperti piramida terbalik, yaitu besar di atas, kecil di bawah, yang sewaktu-waktu bisa terguling. Setiap lulusan Akpol bermimpi ingin jadi jenderal karena di situlah ukuran sukses dalam sistem piramida terbalik itu. Maka, setiap perwira polisi akan berebut cari posisi, antara lain melalui pendidikan kedinasan. Itulah sebabnya jatah masuk Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan) Polri yang terbatas itu selalu lebih
besar pasak daripada tiang (jauh lebih banyak yang mendaftar daripada yang diterima, seperti calon mahasiswa mau masuk UI), karena lulus Sespim berarti tiket untuk menjadi pemimpin.
Maka, bertebaranlah para jenderal dan kombes di Mabes, padahal tenaga dan pikiran mereka sangat diperlukan di tingkat polda, polres, bahkan polsek. Seorang polisi asli Papua, yang sangat menguasai masalah di Papua, mendorong dirinya untuk ke Jakarta (masuk Sespim) hanya karena ia mau jadi jenderal. Padahal, jika ia tetap di Papua sebagai kapolres, atau maksimal kapolda (jenderal juga), ia akan jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat dan Tanah Papua.
Begitu juga dalam hal anggaran. Secara proporsional mabes mendapat jatah yang luar biasa besarnya, sementara polres, apalagi polsek, merana. Di Polres Serang ada yang namanya Polair (Polisi Perairan) yang punya dua kapal patroli, tetapi hanya satu yang bisa berlayar karena kekurangan awak (pelaut polisi), tidak ada bahan bakar, tidak ada biaya pemeliharaan kapal, dan tidak ada alat komunikasi laut. Bagaimana unit Polair itu bisa melayani masyarakat nelayan? Atau, bagaimana sebuah polsek di Papua harus melayani masyarakat di wilayah yang lebih luas dari Singapura dengan hanya beberapa belas anggota, tanpa alat komunikasi, apalagi helikopter?
Memang mengembalikan posisi piramida yang terbalik itu sangat sulit. Perlu waktu lama. Namun, kalau dimulai dari sekarang, pada suatu saat Polri akan sampai ke situ. Masalahnya, kendalanya adalah kerangka pikir petinggi-petinggi Polri yang masih enggan keluar dari zona amannya, yaitubusiness as usual.
Mudah-mudahan sesudah hura-hura (mudah-mudahan bukan huru-hara) pilpres selesai, Kapolri Sutarman bisa mengembalikan Reformasi Birokrasi Polri ke arah yang sebenarnya, yaitu piramida yang tegak kukuh seperti piramida di Mesir walaupun sudah pasti harus melewati revolusi mental yang berat di lingkungan Polri sendiri. Dirgahayu Polri!
Sarlito Wirawan Sarwono
Psikolog Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar