Rabu, 15 Oktober 2014

HILANGNYA RASA MALU

Saudaraku sekalian, salah satu penyebab rusaknya kalbu adalah hilangnya rasa malu dari seseorang. Padahal sejatinya rasa malu adalah unsur utama bagi kalbu agar tetap hidup dengan baik. Bahkan dapat dipastikan bahwa rasa malu adalah akar dari segala perbuatan baik. Sehingga jika rasa malu telah hilang, maka akan hilanglah amal kebaikan.
Rasulullah SAW telah bersabda:
 
Dari Ibnu Mas`ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Diantara nasehat yang di dapat orang-orang dari sabda Nabi-Nabi terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu” (Shahih Al-Bukhari).

Sedangkan dalam shahih lainnya Imam Al-Bukhari juga telah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Malu adalah baik semuanya”

Hadits pertama, merupakan kalimat yang sudah ada sejak zaman Nabi-Nabi terdahulu dan akhirnya sampai pada zaman Nabi Muhammad SAW. Di dalam hadits ini terdapatlah perkataan yang sangat masyur,  sehingga dapat ditafsirkan bukan sebagai sebuah anjuran melainkan sebagai sebuah sindiran tegas dari Nabi kepada umatnya untuk jangan melakukan perbuatan yang tercela atau maksiat. Karena yang berbuat seperti itu tidak jauh berbeda dengan orang yang telah hilang akal dan pikirannya, alias gila. Orang seperti itu sama saja dengan seseorang yang telah hilang rasa malunya karena lebih mengedepankan hawa nafsu sebagai jalan hidup dan meninggalkan jauh-jauh akal sehatnya, padahal itu semua bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Sedangkan untuk hadits yang kedua, maka menjadi sangat jelas maksudnya, dimana Rasulullah Muhammad SAW memberikan penjelasan bahwa rasa malu walau bagaimanapun bentuknya, maka tetaplah sebuah perbuatan yang baik. Ini akan dirasakan bagi seorang yang menjadikan rasa malu sebagai peredam gejolak hasratnya yang tidak baik dan juga bagi mereka yang lainnya sebagai imbasnya.

Rasa malu adalah sebuah perilaku yang harus menjadi ciri khas seorang hamba. Karena jika telah memiliki perasaan malu, maka seseorang akan malu kepada Allah SWT. Dan malu disini adalah suatu perilaku yang sangat baik bagi seseorang, sebab dengan rasa malu ini maka ia akan senantiasa menjaga sikap dan apa yang ada di dalam kalbunya dengan sesuatu yang baik-baik saja, karena merasa bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya.

Begitu pentingnya rasa malu ini, sehingga Rasulullah Muhammad SAW telah menjelaskannya sebagai bagian dari iman seseorang, dengan bersabda;
 
Dari sahabat Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda;  “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan La Ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman” (Shahih Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abu Dawud no. 4676, An-Nasa`i VIII/110, dan Ibnu Majah no. 57)

Malu yang dapat mendatangkan kebaikan adalah malu yang berlandaskan pada hal yang dapat mencegah diri dari setiap perbuatan yang munkar. Namun, malu juga dapat membawa dampak yang tidak baik. Ini disebabkan malu tersebut bersifat tercela, seperti malu dalam menuntut ilmu atau belajar, dan malu dalam amar ma`ruf nahi munkar, padahal ia mengetahuinya.
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[37]; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali-`Imran [3] ayat 104)
[37]  Ma’ruf: adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar: ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Malu juga bisa dibedakan menjadi dua macam, diantaranya:
  1. Malu sejak masa kelahiran. Malu semacam ini memang sudah ada sejak seseorang dilahirkan dan ini merupakan satu berkah dari Allah SWT. Sungguh nikmat bila memilikinya, sehingga tinggal diri seseorang mau atau tidak menjaganya.
  2. Malu yang disebabkan karena adanya usaha. Ini adalah rasa malu yang bisa diperoleh, diperbaiki dan juga diraih dengan cara senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, atau menerapkan pemikiran tentang bagaimana dekatnya Allah SWT dengan dirinya. Ia pun harus menyadari bahwa kedekatan Allah SWT pada makhluk-Nya adalah bukti bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, sehingga ia pun terus merasa di awasi.
Saudaraku terkasih, jadi rasa malu akan senantiasa menjaga hati dan kalbu seseorang dari perbuatan maksiat dan ingkar kepada Allah SWT, namun dengan catatan bahwa malunya itu adalah sebuah perbuatan yang baik dan sesuai dengan tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebab jika seseorang telah hilang rasa malunya, maka bisa dipastikan ia akan berbuat semaunya. Ia tidak akan peduli dengan yang ia perbuat dan bagaimana dampaknya nanti bagi orang lain. Sehingga sebagai hamba yang mengaku telah beriman kepada Allah SWT, maka rasa malu harus terus diterapkan dalam hidup dan kehidupan seseorang.
Untuk itulah Rasulullah SAW kembali bersabda seraya mengingatkan umatnya:
 
“Hendaklah kamu merasa malu kepada Allah SWT dengan malu yang sebenarnya“. Para sahabat menjawab: “ Ya Nabiyullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu“. Kata Nabi SAW: “Tidak segampang itu. Yang dimaksud dengan malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya malu adalah kemampuan kalian memelihara kepala beserta segala isinya, memelihara perut dan apa yang terkandung di dalamnya, banyak-banyak mengingat mati dan cobaan (Allah SWT). Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang telah mengamalkan demikian, maka demikianlah malu yang sebenarnya kepada Allah SWT“ (HR. At-Tirmidzi dan Abdullah bin Mas’ud RA)
“Malu tidak akan datang kecuali dengan kebaikan“ (HR. Muslim dari Imran bin Husein)
“Bagi setiap agama ada akhlak. Akhlak agama Islam adalah malu“ (HR. Imam Malik dari Zaid ibn Thalhah RA)

Jika tidak bisa sekaligus, maka rasa malu dapat dilakukan dengan cara yang bertahap, seperti dengan menanamkan rasa malu terhadap manusia dan makhluk Allah SWT lainnya. Sebagaimana tabiat dari sahabat Nabi SAW yaitu Utsman bin Affan RA. Beliau adalah seorang yang sangat pemalu hingga Rasulullah SAW pun malu kepadanya. Ini bisa dilihat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Aisyah RA. Beliau bercerita bahwa suatu ketika Rasulullah SAW berbaring santai di rumah. Jubah bagian bawahnya tersingkap sampai ke bagian paha. Pada saat seperti itu, Abu Bakar RA masuk dan Rasulullah SAW tak bergeming dengan posisinya. Demikian pula saat Umar bin Khaththab RA datang. Pada saat giliran Utsman bin Affan RA masuk, Rasulullah SAW segera mengubah posisi dan menutup pahanya yang tersingkap. Ketika ketiga sahabat tersebut berlalu, maka Aisyah RA menanyakan tentang sikap Rasulullah SAW tersebut. Rasulullah SAW menjawab, “Utsman itu pemalu sehingga malaikat pun segan kepadanya. Maka, bagaimana aku tetap berbaring dan membiarkan pahaku tersingkap, aku khawatir Utsman malu menyampaikan keperluannya” (HR. Muslim)

Sikap malu yang dicontohkan oleh sahabat Utsman bin Affan RA dan Rasulullah SAW adalah contoh tahap awal untuk dapat menguasai rasa malu, sedangkan berikutnya adalah dengan meningkatkan rasa malu itu ketika akan melakukan sesuatu. Kita juga harus punya rasa malu ini, terutama kepada Allah SWT, agar perbuatan yang akan dan atau telah di lakukan tetap benar dan di ridhai-Nya. Sehingga ketika sudah waktunya untuk bertanggungjawab maka kita pun bisa menunaikannya dengan baik dan penuh ketenangan.

Sebaliknya, bila rasa malu ini telah hilang dari diri seseorang maka semua akhlak buruk akan bersamanya. Ia akan memiliki segala macam perilaku yang tercela, sedangkan hatinya akan senantiasa menangis dalam raut yang teramat sedih. Dan kondisi ini tidak akan berubah sampai pertobatan nasuha dilaksanakan secara ikhlas kepada Allah SWT. Bahkan sampai ia menjadi hamba Allah SWT yang benar-benar beriman.

Namun, dalam kenyataan sekarang betapa banyak diantara kita yang tidak lagi mengindahkan tentang hal ini. Khususnya para pelaku zina dan maksiat, meski perbuatan tercelanya telah diketahui oleh orang banyak, itu tidak lantas membuatnya merasa malu. Bahkan tidak sedikit yang telah bangga dengan perbuatan buruk itu dengan tetap tampil di muka publik seraya membeberkan keburukannya dengan sangat percaya diri dan tanpa ada penyesalan. Mereka menganggap itu adalah sesuatu yang biasa dan wajar dilakukan, padahal itu adalah aib yang teramat memalukan dan hina. Sebab, apa bedanya ia dengan binatang yang suka melakukan hubungan seksual dengan tanpa adanya batasan.

Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firman-Nya di Al-Qur`an, sebagaimana keterangan dari ayat berikut ini:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa` [17] ayat 32)
Rasulullah SAW juga telah bersabda seraya mengingatkan dengan tegas tentang perkara munkar ini:
“Sesungguhnya manusia itu jika melihat kemungkaran terjadi di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tidak mengingkarinya, maka Allah pasti akan menimpakan azab atas mereka secara merata” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Untuk itulah wahai saudaraku, kembalilah dari kemaksiatan dan dosa yang dilakukan selama ini. Bertobatlah dan perbaiki diri dalam amal-amal kebaikan yang benar. Tanamkan rasa malu di dalam dirimu dengan merasa selalu diawasi oleh Allah SWT. Berhati-hati dalam bertindak dan jadikan syariat dalam agama sebagai pedoman dasar kehidupan. Jangan pernah terbuai oleh pergaulan dunia yang nikmat tetapi sebenarnya adalah sesaat dan hanya semu belaka. Jadikan dunia ini sebagai hal yang pertama namun bukanlah yang utama, sedangkan akhirat adalah sesuatu yang utama namun bukan pula yang pertama.

Dunia ini bila dibanding akherat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Semoga kita senantiasa mengedepankan rasa malu yang benar dan baik bagi kehidupan ini. Sebagai wujud cinta yang sesungguhnya. Sebuah cinta yang agung dan mendatangkan ridha Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar