Saudaraku
sekalian, salah satu penyebab rusaknya kalbu adalah hilangnya rasa malu dari
seseorang. Padahal sejatinya rasa malu adalah unsur utama bagi kalbu agar tetap
hidup dengan baik. Bahkan dapat dipastikan bahwa rasa malu adalah akar dari
segala perbuatan baik. Sehingga jika rasa malu telah hilang, maka akan
hilanglah amal kebaikan.
Rasulullah SAW
telah bersabda:
Dari Ibnu Mas`ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Diantara nasehat yang di
dapat orang-orang dari sabda Nabi-Nabi terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu,
maka berbuatlah sekehendakmu” (Shahih Al-Bukhari).
Sedangkan dalam
shahih lainnya Imam Al-Bukhari juga telah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda; “Malu adalah baik semuanya”
Hadits pertama,
merupakan kalimat yang sudah ada sejak zaman Nabi-Nabi terdahulu dan akhirnya
sampai pada zaman Nabi Muhammad SAW. Di dalam hadits ini terdapatlah perkataan
yang sangat masyur, sehingga dapat ditafsirkan bukan sebagai sebuah
anjuran melainkan sebagai sebuah sindiran tegas dari Nabi kepada umatnya untuk
jangan melakukan perbuatan yang tercela atau maksiat. Karena yang berbuat
seperti itu tidak jauh berbeda dengan orang yang telah hilang akal dan
pikirannya, alias gila. Orang seperti itu sama saja dengan seseorang yang telah
hilang rasa malunya karena lebih mengedepankan hawa nafsu sebagai jalan hidup
dan meninggalkan jauh-jauh akal sehatnya, padahal itu semua bisa membedakan
antara kebaikan dan keburukan.
Sedangkan untuk
hadits yang kedua, maka menjadi sangat jelas maksudnya, dimana Rasulullah
Muhammad SAW memberikan penjelasan bahwa rasa malu walau bagaimanapun
bentuknya, maka tetaplah sebuah perbuatan yang baik. Ini akan dirasakan bagi
seorang yang menjadikan rasa malu sebagai peredam gejolak hasratnya yang tidak
baik dan juga bagi mereka yang lainnya sebagai imbasnya.
Rasa malu adalah
sebuah perilaku yang harus menjadi ciri khas seorang hamba. Karena jika telah
memiliki perasaan malu, maka seseorang akan malu kepada Allah SWT. Dan malu
disini adalah suatu perilaku yang sangat baik bagi seseorang, sebab dengan rasa
malu ini maka ia akan senantiasa menjaga sikap dan apa yang ada di dalam
kalbunya dengan sesuatu yang baik-baik saja, karena merasa bahwa Allah SWT
senantiasa mengawasinya.
Begitu
pentingnya rasa malu ini, sehingga Rasulullah Muhammad SAW telah menjelaskannya
sebagai bagian dari iman seseorang, dengan bersabda;
Dari sahabat Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Iman
memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan La Ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang
iman” (Shahih Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abu
Dawud no. 4676, An-Nasa`i VIII/110, dan Ibnu Majah no. 57)
Malu yang dapat
mendatangkan kebaikan adalah malu yang berlandaskan pada hal yang dapat
mencegah diri dari setiap perbuatan yang munkar. Namun, malu juga dapat membawa
dampak yang tidak baik. Ini disebabkan malu tersebut bersifat tercela, seperti
malu dalam menuntut ilmu atau belajar, dan malu dalam amar ma`ruf nahi munkar,
padahal ia mengetahuinya.
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[37]; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali-`Imran [3] ayat 104)
[37] Ma’ruf: adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar: ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[37]; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali-`Imran [3] ayat 104)
[37] Ma’ruf: adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar: ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Malu juga bisa
dibedakan menjadi dua macam, diantaranya:
- Malu sejak masa kelahiran. Malu semacam ini memang sudah ada sejak seseorang dilahirkan dan ini merupakan satu berkah dari Allah SWT. Sungguh nikmat bila memilikinya, sehingga tinggal diri seseorang mau atau tidak menjaganya.
- Malu yang disebabkan karena adanya usaha. Ini adalah rasa malu yang bisa diperoleh, diperbaiki dan juga diraih dengan cara senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, atau menerapkan pemikiran tentang bagaimana dekatnya Allah SWT dengan dirinya. Ia pun harus menyadari bahwa kedekatan Allah SWT pada makhluk-Nya adalah bukti bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, sehingga ia pun terus merasa di awasi.
Saudaraku
terkasih, jadi rasa malu akan senantiasa menjaga hati dan kalbu seseorang dari
perbuatan maksiat dan ingkar kepada Allah SWT, namun dengan catatan bahwa
malunya itu adalah sebuah perbuatan yang baik dan sesuai dengan tuntunan dari
Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebab jika seseorang telah hilang rasa malunya, maka
bisa dipastikan ia akan berbuat semaunya. Ia tidak akan peduli dengan yang ia
perbuat dan bagaimana dampaknya nanti bagi orang lain. Sehingga sebagai hamba
yang mengaku telah beriman kepada Allah SWT, maka rasa malu harus terus
diterapkan dalam hidup dan kehidupan seseorang.
Untuk itulah
Rasulullah SAW kembali bersabda seraya mengingatkan umatnya:
“Hendaklah kamu merasa malu kepada Allah SWT dengan malu yang sebenarnya“.
Para sahabat menjawab: “ Ya Nabiyullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu“.
Kata Nabi SAW: “Tidak segampang itu. Yang dimaksud dengan malu kepada Allah
SWT dengan sebenarnya malu adalah kemampuan kalian memelihara kepala beserta
segala isinya, memelihara perut dan apa yang terkandung di dalamnya,
banyak-banyak mengingat mati dan cobaan (Allah SWT). Siapa yang menginginkan
akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang telah mengamalkan
demikian, maka demikianlah malu yang sebenarnya kepada Allah SWT“ (HR.
At-Tirmidzi dan Abdullah bin Mas’ud RA)
“Malu tidak akan
datang kecuali dengan kebaikan“ (HR. Muslim dari Imran bin Husein)
“Bagi setiap
agama ada akhlak. Akhlak agama Islam adalah malu“ (HR. Imam Malik
dari Zaid ibn Thalhah RA)
Jika tidak bisa
sekaligus, maka rasa malu dapat dilakukan dengan cara yang bertahap, seperti
dengan menanamkan rasa malu terhadap manusia dan makhluk Allah SWT lainnya.
Sebagaimana tabiat dari sahabat Nabi SAW yaitu Utsman bin Affan RA. Beliau
adalah seorang yang sangat pemalu hingga Rasulullah SAW pun malu kepadanya. Ini
bisa dilihat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Aisyah RA. Beliau
bercerita bahwa suatu ketika Rasulullah SAW berbaring santai di rumah. Jubah
bagian bawahnya tersingkap sampai ke bagian paha. Pada saat seperti itu, Abu
Bakar RA masuk dan Rasulullah SAW tak bergeming dengan posisinya. Demikian pula
saat Umar bin Khaththab RA datang. Pada saat giliran Utsman bin Affan RA masuk,
Rasulullah SAW segera mengubah posisi dan menutup pahanya yang tersingkap.
Ketika ketiga sahabat tersebut berlalu, maka Aisyah RA menanyakan tentang sikap
Rasulullah SAW tersebut. Rasulullah SAW menjawab, “Utsman itu pemalu
sehingga malaikat pun segan kepadanya. Maka, bagaimana aku tetap berbaring dan
membiarkan pahaku tersingkap, aku khawatir Utsman malu menyampaikan
keperluannya” (HR. Muslim)
Sikap malu yang
dicontohkan oleh sahabat Utsman bin Affan RA dan Rasulullah SAW adalah contoh
tahap awal untuk dapat menguasai rasa malu, sedangkan berikutnya adalah dengan
meningkatkan rasa malu itu ketika akan melakukan sesuatu. Kita juga harus punya
rasa malu ini, terutama kepada Allah SWT, agar perbuatan yang akan dan atau
telah di lakukan tetap benar dan di ridhai-Nya. Sehingga ketika sudah waktunya
untuk bertanggungjawab maka kita pun bisa menunaikannya dengan baik dan penuh
ketenangan.
Sebaliknya, bila
rasa malu ini telah hilang dari diri seseorang maka semua akhlak buruk akan
bersamanya. Ia akan memiliki segala macam perilaku yang tercela, sedangkan
hatinya akan senantiasa menangis dalam raut yang teramat sedih. Dan kondisi ini
tidak akan berubah sampai pertobatan nasuha dilaksanakan secara ikhlas kepada
Allah SWT. Bahkan sampai ia menjadi hamba Allah SWT yang benar-benar beriman.
Namun, dalam
kenyataan sekarang betapa banyak diantara kita yang tidak lagi mengindahkan
tentang hal ini. Khususnya para pelaku zina dan maksiat, meski perbuatan
tercelanya telah diketahui oleh orang banyak, itu tidak lantas membuatnya
merasa malu. Bahkan tidak sedikit yang telah bangga dengan perbuatan buruk itu
dengan tetap tampil di muka publik seraya membeberkan keburukannya dengan
sangat percaya diri dan tanpa ada penyesalan. Mereka menganggap itu adalah
sesuatu yang biasa dan wajar dilakukan, padahal itu adalah aib yang teramat
memalukan dan hina. Sebab, apa bedanya ia dengan binatang yang suka melakukan
hubungan seksual dengan tanpa adanya batasan.
Allah SWT telah
mengingatkan kita dalam firman-Nya di Al-Qur`an, sebagaimana keterangan dari
ayat berikut ini:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa` [17] ayat 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa` [17] ayat 32)
Rasulullah SAW
juga telah bersabda seraya mengingatkan dengan tegas tentang perkara munkar ini:
“Sesungguhnya manusia itu jika melihat kemungkaran terjadi di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tidak mengingkarinya, maka Allah pasti akan menimpakan azab atas mereka secara merata” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
“Sesungguhnya manusia itu jika melihat kemungkaran terjadi di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tidak mengingkarinya, maka Allah pasti akan menimpakan azab atas mereka secara merata” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Untuk itulah
wahai saudaraku, kembalilah dari kemaksiatan dan dosa yang dilakukan selama
ini. Bertobatlah dan perbaiki diri dalam amal-amal kebaikan yang benar.
Tanamkan rasa malu di dalam dirimu dengan merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.
Berhati-hati dalam bertindak dan jadikan syariat dalam agama sebagai pedoman
dasar kehidupan. Jangan pernah terbuai oleh pergaulan dunia yang nikmat tetapi
sebenarnya adalah sesaat dan hanya semu belaka. Jadikan dunia ini sebagai hal
yang pertama namun bukanlah yang utama, sedangkan akhirat adalah sesuatu yang utama
namun bukan pula yang pertama.
“Dunia ini
bila dibanding akherat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara
kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang
menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali” (HR. Muslim,
At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Semoga kita
senantiasa mengedepankan rasa malu yang benar dan baik bagi kehidupan ini.
Sebagai wujud cinta yang sesungguhnya. Sebuah cinta yang agung dan mendatangkan
ridha Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar