Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi
buta sebelum subuh sampai lepas Isya’ bahkan larut malam sampe rumah, tapi
rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek
pegal tapi ATM tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus?
Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis
tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung
sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya
kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita?
Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban,
saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam
setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat
membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah
memuncak.
Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember.
Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab
persoalan seberat itu?
Anggaplah ember itu tampungan untuk rejeki kita.
Ukuran ember kita masing-masing tidak sama, tergantung besarnya mimpi kita. Ada orang yang puas dengan
pendapatan sejuta rupiah sebulan, embernya ya seukuran itu. Ada yang lima juta
rupiah, ada yang ingin jadi orang terkaya se-Indonesia, ada yang pengen punya
puluhan perusahaan go public, ada yang mengangankan sawah
berhektar-hektar, ada yang pengen perusahaannya jadi The Most Adnmired
Company in The World dan dimuat di cover Majalah Fortune (sampai sekarang
saya masih heran ada impian seliar itu di otak saya), itu ukuran ember
masing-masing. Kita bebas pilih ukuran ember itu karena besar kecilnya ember itu
kita bisa pilih sendiri, fasilitas gratis dari Tuhan. Tapi kalo kita gak punya
mimpi alias gak tahu tujuan hidup ya artinya kita gak milih ember, hidup kita
akan menggelinding saja. Rezeki tak tertata, berkah tak terkumpul.
Rezeki itu seperti aliran air yang mengisi ember
itu, makin banyak kebaikan kita, kerja keras kita makin deraslah air yang
mengalir. Jadi bukan hanya kerja keras saja yang bisa bikin ember kita penuh
(alias makin kaya) tapi juga amal kebaikan.
Nah, amal buruk alias dosa itu seperti lubang di
ember. Makin banyak dosa kita, makin banyaklah lubang, makin besar dosa kita
makin besarlah lubang di ember itu. Kalo amal baik dan kerja kerasnya makin
sedikit maka keringlah ember itu: ATM yang isinya tiga milyar rupiah tiba-tiba
kosong, tak mampu bayar obat, bayaran anak sekolah tertunggak dan
masalah-masalah lain yang hadir sebagai akibat keringnya rezeki kita karena
dosa.
Ini mungkin menjawab mengapa kerja keras kita saja
tak cukup, banting tulang doang gak menjawab permasalahan. Karena cara
mennjemput rezeki juga mesti teliti: benarkah sudah sesuai dengan jalan yang
dituntunkan-Nya?
Mari bercermin. Ketika rezeki kita sempit, ketika
hutang mencekik leher, ketika tagihan kita macet: apa solusi kita? Seumumnya ya
negosiasi dengan para penagih, mengejar mereka yang hutang sama kita jika perlu
pake debt collector, berhutang untuk membayar hutang dengan bunga
berganda (yang penting selamat dulu sebentar), jika tak bisa berhutang –
seperti yang sekarang marak di berita – mencuri motor, ngembat ATM orang lain,
bahkan menjual anak kandung.
Lalu kita lihat praktek bisnis kita: untuk meng-entertain
klien kita bisa keluarkan ratusan ribu bahkan puluhan juta untuk lunch,
hotel bintang lima untuk menginap, setor mobil mewah terbaru, karena merasa
bahwa rezeki itu dari klien. Tapi saat ada panti asuhan yatim piatu yang
datang, ngasih seratus ribu pun rasanya masih pengen minta kembalian, karena
kita pikir itu amal kita (bukti kita masih punya kepedulian) dan rezeki kita
tak ada hubungannya dengan penderitaan mereka.
Jadwal terpenting kita adalah saat meeting,
presentasi, negosiasi dengan klien yang sering berlangsung berjam-jam sambil
dengan sadar kita lupakan meeting kita sama Yang Maha Memberi Rezeki. Adzan
bergaung-gaung dan kita hanya pause sebentar untuk bilang,”Mari kita
dengarkan adzan dulu. Presentasi akan saya lanjutkan setelah ini.” Setelah
merasa diri kita tergolong ‘orang baik’ karena memberi kesempatan adzan,
presentasi pun berlanjut sampai waktu sholat terlewat tanpa sesal sedikitpun di
dalam hati.
Rapat, melayani konsumen, berdagang, brainstorm,
kita rasakan jauh lebih penting karena hubungan yang secara logika dekat dengan
rejeki kita. Tuhan yang memanggil kita pada kebahagiaan (hayya ‘alal falaah)
dicuekin, sementara kita malah bingung mencari kebahagiaan di antara tumpukan
harta yang fana.
Beberapa orang bilang setengah mencibir: cari
rezeki haram aja sekarang susah Mas, apalagi yang halal.
Benarkah? Mengapa Allah menciptakan manusia di
bumi jika hanya untuk mengejar yang haram karena yang halal susah? Dan siapa
bilang nyari rejeki halal lebih susah daripada yang haram? Tengoklah di dalam
penjara: siapa yang nasibnya lebih susah, yang mengejar harta haram atau yang
halal?
Allah tunjukkan jalannya yang mudah: jika
engkau sedang disempitkan rezekinya, maka bersedekahlah. Jika engkau bertaqwa
(menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya) maka Allah akan berikan jalan
keluar dari masalah dan memberikan rezeki-Nya dari arah yang tak
disangka-sangka.
Untuk mencegah air (alias rezeki) mengalir keluar
dari ember, maka Allah hadirkan mekanisme tutup lubang yang luar biasa bernama taubat.
Taubat yang serius (taubat nasuha) atas dosa dan kesalahan kita
‘otomatis’ akan menutup lubang ember. Syaratnya cuma satu: jangan melakukan
dosa lagi, jangan melubangi ember lagi. Lalu mulailah mengisi ember yang telah
diperbaiki itu dengan amal kebaikan dan kerja keras, Insya Allah rezeki
akan manggon (menetap), tidak masuk sebentar ke dompet lalu langsung
keluar lagi kayak angin.
Meskipun tentu prakteknya tak mudah tapi
sesungguhnya konsepnya ya sesederhana ini.
Tentukan ember yang sesuai dengan mimpi kita, lalu
beramal sebanyak-banyaknya (ibadah, kerja cerdas, kerja keras), tahan diri dari
dosa dan kesalahan (jangan terlambat sholat, hindari mendekati zina, perbaiki silaturrahim,
dsb.). Insya Allah akan dimudahkan dalam hidup, ditunjukkan jalan
terang, diamanati rezeki yang berkah lagi berlimpah.
Jangan hanya mengandalkan otak, energi, tenaga,
waktu dan modal kita untuk menjemput rezeki, akhir-akhirnya capek. Jika
berhasil kita jadi sombong (Saya sukses itu karena terus belajar, kerja
keras // Ini semua hasil usaha saya yang tak kenal lelah) tapi jika tidak
berhasil kita marah, protes, putus asa, menyalahkan pihak lain (Sialan, kita
kalah tender gara-gara kompetitor ngasih suap lebih besar // Katanya Tuhan Maha
Adil mana buktinya, saya udah kerja keras buat makan aja malah susah?).
Tuhan sudah kasih jalan yang lurus, yang mudah,
yang membawa kebahagiaan. Libatkan Tuhan dalam ikhtiar kita menjemput rezeki
karena emang Dia-lah sumber semua rezeki. Pemerintah, manajemen kantor, klien,
pembeli, kolega, buyer luar negeri itu hanyalah saluran dari rezeki-Nya.
Kita hormati saluran itu, kita jaga baik-baik tapi jangan pernah lupakan sumber
aslinya: Tuhan.
Oya, ngomong-ngomong soal ember: sekarang waktunya
mengecek ember kita masing-masing. Semoga hati makin tenang, makin tambah
syukurnya, makin kenceng ibadahnya, makin ikhlas ikhtiarnya. Saya temani dengan
doa dari sini, semoga Allah selalu berikan kemudahan apapun yang temen-temen
semua impikan.
Ingatlah sekali lagi bahwa masalah sesungguhnya
itu bukan kekurangan harta, sakit yang tak kunjung sembuh, hutang yang menumpuk
dan semacamnya. Masalah sesungguhnya adalah saat kita jauh dari Allah.
Sukses sesungguhnya juga bukan ketika kita punya perusahaan besar, mobil
puluhan, apartemen di pusat kota
atau uang bejibun seolah tanpa nomor seri, bukan. Sukses sesungguhnya
adalah ketika kita dekat ama Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar