Senin, 29 Juli 2013

PENGGUNAAN SPEAKER MASJID



Anda tinggal di perumahan atau perkampungan padat penduduk ? Dalam radius sekian ratus meter ada beberapa masjid atau mushalla yang memancarkan aktifitasnya seperti tadarus melalui speaker dengan suara yang keras ? Tidakkah Anda terganggu dengan suara yang keras tersebut ?
Kita tentu berharap dalam hal ini para Takmir Masjid di Indonesia bersikap bijaksana dalam melaksanakan aktifitasnya khususnya berkaitan dengan penggunaan pengeras suara atau speaker. Kami kutip dibawah ini pendapat Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur'an tentang 'Mengaji dengan Pengeras Suara'.
Pengeras suara merupakan alat yang bila digunakan pada tempatnya akan merupakan sesuatu yang sangat baik dan membantu. Bila disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, serta melahirkan citra yang kurang baik, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar sumbang.
Suara mempunyai pengaruh bagi jiwa seseorang. Azan, doa bersama, pembacaan Al Qur'an, dianjurkan dengan suara yang dapat menggugah pendengarnya untuk memperkenankan panggilan Ilahi, bukan sebaliknya. Karena itu, Al Qur'an menyetujui dan mengabadikan nasihat Luqman kepada anaknya, antara lain, "Lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai."
Dalam hal membaca ayat-ayat Al Qur'an, atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam: Katakanlah, "Berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik). Janganlah mengeraskan suaramu dalam salat dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara keduanya (QS al-Isra' (17): 110).
Maka tentunya berdoa dan membaca Al Qur'an tidak harus dengan pengeras suara. Akan tetapi, tentu saja, tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu selama tidak mengganggu, khususnya mengganggu anak-anak, orang sakit, kaum Muslim yang bangun pagi untuk berzikir dan tafakur
Dalam kehidupan di masyarakat terwujudnya keharmonisan diantara penghuninya tentu menjadi idaman kita semua. Kata kunci di bawah amat menarik untuk kita cermati dan renungkan bersama.
Mungkin saja suara speaker masjid dapat mengganggu misalnya saja volumenya terlalu keras. Solusinya ? Dalam hal ini perlu kearifan dari para takmir masjid untuk mengatur penggunaan speaker masjid, misalnya : hanya menggunakan speaker luar (pengeras suara yang dipasang di luar ruangan, misalnya di menara) pada saat mengumandangkan adzan dengan 'volume medium', sedangkan pada saat 'melantunkan puji-pujian', iqomat, shalat berjamaah, dzikir, membaca shalawat, pengajian, tadarus, dan khutbah menggunakan speaker dalam (pengeras suara yang dipasang di dalam ruangan), kecuali jamaah dalam jumlah sangat banyak atau ribuan orang.
Akan tetapi (seharusnya) dia membaca Al-Qur'an untuk dirinya sendiri di masjid atau di rumah tanpa harus membaca dengan pengeras suara, karena ini bisa menyulitkan orang-orang dan perbuatan ini tidak dilakukan oleh orang terdahulu. Tidak selayaknya orang-orang membaca dengan suara keras, serta menghalangi yang lain untuk membaca Qur'an di masjid.
Suatu saat Rasulullah keluar ke orang-orang, Beliau mendapati mereka sholat, suara-suara bacaan Qur'an mereka tinggi, kemudian beliau bersabda : Sesungguhnya orang yang sholat itu berbisik kepada rabbnya, maka hendaklah orang itu memperhatikan bisikannya kepada Allah, janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaannya atas bacaan sebagian lain.
Sebetulnya telah ada pedoman yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid, yakni Instruksi Dirjen Bimas Islam No. Kep/D/101/78 tanggal 17 Juli 1978. Hanya saja sepertinya kurang disosialisasikan, sehingga masih banyak pengurus masjid atau mushala yang tidak tahu. Isi dari peraturan tersebut secara garis besar adalah bahwa penggunaan pengeras suara masjid atau mushala hendaknya mempertimbangkan hal-hal demikian :


1. Pengeras suara/speaker hendaknya dalam kondisi baik sehingga suara yang dihasilkannyapun enak didengar.
2. Hendaknya dipisahkan antara speaker dalam dengan speaker luar.
3. Tujuan awal penggunaan speaker luar hanyalah untuk mengumandangkan adzan. Shalat dan doa untuk keperluan jamaah (di dalam masjid) tidak perlu dipancarkan keluar masjid.
4. Kegiatan membangunkan kaum Muslimin paling awal 15 menit sebelum tiba waktu Subuh.
5. Rangkaian kegiatan Sholat Jum’at seperti pengumuman, doa, dan khotbah menggunakan speaker dalam. Kecuali jika jamaah hingga diluar masjid dan tidak lagi cukup hanya dengan speaker dalam.
6. Tadarusan pada bulan Ramadhan menggunakan speaker dalam.
7. Takbir Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan speaker luar maupun dalam.
8. Ceramah atau tabligh akbar bisa menggunakan speaker luar dan dalam.
9. Pengumuman kematian, musibah dan bencana, dan kegiatan lain untuk kemaslahatan jamaah dapat menggunakan speaker masjid.

-----------

Soal pengeras suara di masjid diatur dalam keputusan nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.

Berikut aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:

1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.


Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat.

2 komentar:

  1. Sangat lengkap ulasan tentang PENGGUNAAN SPEAKER MASJID ini gan, semoga bisa memberi manfaat untuk semua pembaca, khususnya buat saya pribadi.
    TOA.

    BalasHapus
  2. salam kenal dari kami, monggo yg mau konsultasi toa

    TOA Jogja,
    TOA Jogja
    Sirine, dan
    Batu Permata

    BalasHapus