Kamis, 25 Juli 2013

4 (Empat) Sifat Dasar Manusia

Pada dasarnya dalam diri manusia berkumpul empat macam sifat :
  1. As-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas)
  2. As-sifat al-bahimiyyah (sifat binatang ternak)
  3. As-sifat asy-syaithaniyyah (sifat setan)
  4. As-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan).
Ketika manusia dikuasai amarah, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang buas. Ketika dia dikuasai oleh syahwat, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang ternak. Gabungan dari kedua sifat ini melahirkan sifat senang kepada keburukan, memaksa, senang berbuat makar, licik dan menipu sehingga (ketika hal ini terjadi) berati ia telah dikuasai oleh sifat asy-syaithaniyyah. Lalu ketika dalam diri manusia tertanam masalah-masalah ketuhanan dan pada saat yang sama merupakan bagian urusan Tuhan. Allah swt berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa masalah roh adalah urusan Tuhanku.” (Q.S. Al-Isra’: 85).

Allah swt memposisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Maha Agung. Allah swt senang dengan apa yang sesuai dengan penamaan ini, yaitu berupa pengetahuan manusia kepada-Nya maupun yang terkait. Sebaliknya, Allah sedih jika dibalik itu, manusia tidak mengetahuinya. Jika engkau telah memahami ini, maka ketahuilah bahwa sibuk beribadah dan tetap menjaganya akan menghasilkan tujuan, yaitu mencapai yang seharusnya dicapai.

Ketahuilah bahwa ilmu yang ada dalam hati terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan argumentasi, metode ini ditempuh para ilmuwan. Dan terkadang melalui metode mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi.

Metode kaum sufi sendiri ada dua cara :

Pertama, melalui bisikan dalam hati. Hal ini disisyaratkan dalam sabda Nabi saw,”Sesungguhnya Ruh al-Qudus (Jibril as) telah membisikkan kedalam hatiku,’Cintailah siapa saja yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Kerjakanlah apa yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan diberi balasan setimpal atas perkerjaan itu. Dan hiduplah sesukamu karena sesungguhnya engkau akan mati” (Ibnu Al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/403).

Kedua, melalui ilham yang baik, yaitu denan cara disingkapkan kepadanya hakekat segala sesuatu dan diperlihatkan kepada malaikat yang ditugaskan untuk mengurus segala sesuatu, yang darinya engkau mendapatkan manfaat. Hati itu laksana cermin jernih yang memancarkan sinar terang, maka ketahuilah bahwa hakekat segala sesuatu telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Jadi walaupun penghalang (hijab) yang ada begitu tinggi, namun karena posisi cermin sejajar dengan Lauh al-Mahfudz, maka hakekat segala ilmu tetap dapat tersingkap.

Terangkatnya hijab kadang terjadi pada sat tidur dan kadang pada saat terjaga, suatu hal yang biasa terjadi pada kamum sufi, dan terkadang pula bersamaan dengan tiupan semilir angin yang terjadi tanpa campur tangan dan persiapan dari pihak manusia. Ketika ini terjadi, dari balik tabir kegaiban, rahasia-rahasia ilmu memancarkan sinar berkilau ke dalam hati.

Puncak dari penyikapan tabir ini terjadi dengan datangnya kematian kerena pada saat itu semua hijab dibuka. Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw,”Manusia itu dalam keadaan tidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (HR. Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa; al-Qari, al-Asrar al-Marfu’ah (386); al-Albani, adh-Dha’ifah (102).

Metode penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi hampir sama dengan kondisi manusia yang akan menjemput kematian. Oleh karena itu, mereka tidak menyibukkan diri dengan kegiatan mencari ilmu, tapi lebih menyibukkan diri dengan menyucikan hati dan memutuskan hubungan dengan makhluk lain supaya hal ini menjadi sebab dapat menghadap Allah swt secara total, lalu menyerahkan segala urusan-Nya, dimana Ia Maha Mengetahui segala cahaya dan bisikan halus yang tersingkap dalam hati mereka. Inilah metode yang dialami para nabi dan wali. Mereka mendapatkan berbagai macam ilmu dan hakekat melalui proses belajar, namun mereka mendapatkan secara langsung melalui sumbernya sehingga tidak lagi perlu belajar dan berusaha.

Proses belajar dan berusaha yang dilakukan manusia biasa itu seperti medote yang ditempuh para nabi dalam mendapatkan ilmu secara langsung melalui sumbernya. Namun berhati-hatilah, jangan sampai engkau meninggalkan proses belajar dan berusaha selama dirimu tidak mampu untuk mendapatkan ilmu secara langsung dari sumbernya.

Tulisan ini diambil dari kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, untuk menjawab pertanyaan mengapa orang-orang sufi memperoleh ilham luar biasa dari Allah, tersingkap hijab sehingga hal-hal gaib menjadi nyata karena metode belajarnya berbeda dengan metode belajar yang ditempuh oleh kaum teoritis (syariat). Mudah-mudahan tulisan ini berguna untuk saudara Satria dan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, kalau anda mencari kebenaran Ilahi, maka tempuhlah jalan yang telah teruji kebenarannya yaitu jalan  rintisan para Nabi dan  para Wali, yaitu jalan kesufian, membersihkan hati agar terbuka hijab (penghalang) antara makluk dengan Tuhannya. Apabila hijab itu dibukakan oleh-Nya, maka tidak ada penghalang antara hamba dengan Tuhan, maka Allah swt menjadi nyata dan disaksikan oleh hambanya, Allah Maha Gaib (Al-Ghaibi) bagi yang tidak terbuka hijab dan menjadi MAHA NYATA (Adh-Dzahiri) bagi yang terbuka hibab nya.

Sungguh setiap para penempuh kebenaran harus mengalami mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) sehingga memperoleh Haqqul Yakin, tidak ada keraguan sedikitpun tentang Tuhan yang disaksikannya. Rahmat Allah swt akan selalu beserta orang yang sunguh-sungguh mencari bukan orang-orang yang keras hatinya, merasa benar sendiri dan meyakini sesuatu dengan kebenaran yang semu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar