Pada dasarnya dalam diri manusia berkumpul empat macam sifat :
- As-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas)
 - As-sifat al-bahimiyyah (sifat binatang ternak)
 - As-sifat asy-syaithaniyyah (sifat setan)
 - As-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan).
 
Ketika manusia dikuasai amarah, maka ia 
ibarat melakukan perbuatan binatang buas. Ketika dia dikuasai oleh 
syahwat, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang ternak. Gabungan 
dari kedua sifat ini melahirkan sifat senang kepada keburukan, memaksa, 
senang berbuat makar, licik dan menipu sehingga (ketika hal ini terjadi)
 berati ia telah dikuasai oleh sifat asy-syaithaniyyah. Lalu 
ketika dalam diri manusia tertanam masalah-masalah ketuhanan dan pada 
saat yang sama merupakan bagian urusan Tuhan. Allah swt berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa masalah roh adalah urusan Tuhanku.” (Q.S. Al-Isra’: 85).
Allah swt memposisikan diri-Nya sebagai 
Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Maha Agung. Allah swt senang 
dengan apa yang sesuai dengan penamaan ini, yaitu berupa pengetahuan 
manusia kepada-Nya maupun yang terkait. Sebaliknya, Allah sedih jika 
dibalik itu, manusia tidak mengetahuinya. Jika engkau telah memahami 
ini, maka ketahuilah bahwa sibuk beribadah dan tetap menjaganya akan 
menghasilkan tujuan, yaitu mencapai yang seharusnya dicapai.
Ketahuilah bahwa ilmu yang ada dalam 
hati terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan 
argumentasi, metode ini ditempuh para ilmuwan. Dan terkadang melalui 
metode mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi.
Metode kaum sufi sendiri ada dua cara :
Pertama, melalui bisikan dalam hati. Hal ini disisyaratkan dalam sabda Nabi saw,”Sesungguhnya Ruh al-Qudus
 (Jibril as) telah membisikkan kedalam hatiku,’Cintailah siapa saja yang
 engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. 
Kerjakanlah apa yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan 
diberi balasan setimpal atas perkerjaan itu. Dan hiduplah sesukamu 
karena sesungguhnya engkau akan mati” (Ibnu Al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/403).
Kedua, melalui
 ilham yang baik, yaitu denan cara disingkapkan kepadanya hakekat segala
 sesuatu dan diperlihatkan kepada malaikat yang ditugaskan untuk 
mengurus segala sesuatu, yang darinya engkau mendapatkan manfaat. Hati 
itu laksana cermin jernih yang memancarkan sinar terang, maka ketahuilah
 bahwa hakekat segala sesuatu telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Jadi walaupun penghalang (hijab) yang ada begitu tinggi, namun karena posisi cermin sejajar dengan Lauh al-Mahfudz, maka hakekat segala ilmu tetap dapat tersingkap.
Terangkatnya hijab kadang terjadi pada 
sat tidur dan kadang pada saat terjaga, suatu hal yang biasa terjadi 
pada kamum sufi, dan terkadang pula bersamaan dengan tiupan semilir 
angin yang terjadi tanpa campur tangan dan persiapan dari pihak manusia.
 Ketika ini terjadi, dari balik tabir kegaiban, rahasia-rahasia ilmu 
memancarkan sinar berkilau ke dalam hati.
Puncak dari penyikapan tabir ini terjadi
 dengan datangnya kematian kerena pada saat itu semua hijab dibuka. Hal 
ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw,”Manusia itu dalam keadaan 
tidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (HR. Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa; al-Qari, al-Asrar al-Marfu’ah (386); al-Albani, adh-Dha’ifah (102).
Metode penyucian jiwa yang dilakukan 
oleh kaum sufi hampir sama dengan kondisi manusia yang akan menjemput 
kematian. Oleh karena itu, mereka tidak menyibukkan diri dengan 
kegiatan mencari ilmu, tapi lebih menyibukkan diri dengan menyucikan 
hati dan memutuskan hubungan dengan makhluk lain supaya hal ini menjadi 
sebab dapat menghadap Allah swt secara total, lalu menyerahkan segala 
urusan-Nya, dimana Ia Maha Mengetahui segala cahaya dan bisikan halus 
yang tersingkap dalam hati mereka. Inilah metode yang 
dialami para nabi dan wali. Mereka mendapatkan berbagai macam ilmu dan 
hakekat melalui proses belajar, namun mereka mendapatkan secara langsung
 melalui sumbernya sehingga tidak lagi perlu belajar dan berusaha.
Proses belajar dan berusaha yang 
dilakukan manusia biasa itu seperti medote yang ditempuh para nabi dalam
 mendapatkan ilmu secara langsung melalui sumbernya. Namun 
berhati-hatilah, jangan sampai engkau meninggalkan proses belajar dan 
berusaha selama dirimu tidak mampu untuk mendapatkan ilmu secara 
langsung dari sumbernya.
Tulisan ini diambil dari kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali,
 untuk menjawab pertanyaan mengapa orang-orang sufi memperoleh ilham 
luar biasa dari Allah, tersingkap hijab sehingga hal-hal gaib menjadi 
nyata karena metode belajarnya berbeda dengan metode belajar yang 
ditempuh oleh kaum teoritis (syariat). Mudah-mudahan tulisan ini berguna
 untuk saudara Satria dan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari 
kebenaran, kalau anda mencari kebenaran Ilahi, maka tempuhlah jalan yang
 telah teruji kebenarannya yaitu jalan  rintisan para Nabi dan  para 
Wali, yaitu jalan kesufian, membersihkan hati agar terbuka hijab (penghalang) antara makluk dengan Tuhannya. Apabila hijab itu
 dibukakan oleh-Nya, maka tidak ada penghalang antara hamba dengan 
Tuhan, maka Allah swt menjadi nyata dan disaksikan oleh hambanya, Allah Maha Gaib (Al-Ghaibi) bagi yang tidak terbuka hijab dan menjadi MAHA NYATA (Adh-Dzahiri) bagi yang terbuka hibab nya.
Sungguh setiap para penempuh kebenaran harus mengalami mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) sehingga memperoleh Haqqul Yakin,
 tidak ada keraguan sedikitpun tentang Tuhan yang disaksikannya. Rahmat 
Allah swt akan selalu beserta orang yang sunguh-sungguh mencari bukan 
orang-orang yang keras hatinya, merasa benar sendiri dan meyakini 
sesuatu dengan kebenaran yang semu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar