Rabu, 04 Februari 2015

Ketaqwaan di Tengah Pergaulan Masyarakat

Taqwa pada umumnya digunakan Al-Quran untuk menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah SWT, seperti dalam QS. Al-Hajj: 37 :

لَن    يَنَالَ    اللّٰـهَ    لُحُومُهَا    وَلَا    دِمَآؤُهَا    وَلٰكِن    يَنَالُهُ    التَّقْوَىٰ    مِنكُمْ    ۚ    كَذٰلِكَ    سَخَّرَهَا    لَكُمْ    لِتُكَبِّرُوا۟    اللّٰـهَ    عَلَىٰ    مَا    هَدَٮٰكُمْ    ۗ    وَبَشِّرِ    الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Ketika melihat betapa Abu Dzar sangat berkeinginan tinggal bersama di Mekkah, Rasullullah SAW memberitahukan ketidak mungkinannya, dan beliau berpesan:

عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ ﻟۑ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasullullah SAW berpesan kepadaku: Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Tirmidzi).

Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)

Perintah dan larangan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah melakukan shalat yang dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ’ : 78:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu dilaksanakan oleh malaikat” (QS. Al-Isra’ : 78).

Kumpulan dari perintah dan larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat. Sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum alam akan diperoleh di dunia, sedangkan sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat akan diperoleh di akhirat. Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi duniawi dan sisi ukhrawi. Sisi duniawi yaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan dan melaksanakan hukum-hukum syariat.

Dalam bukunya Hadis Tarbawi, Wajidi Sayadi telah menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi SAW yang memuat tema perintah bertakwa kepada Allah SWT selalu dalam konteks yang sebagian besar mengenai masalah sosial (kemasyarakatan) bahkan termasuk sikap kasih sayang kepada binatang, larangan menghina atau menyakiti, perintah bergaul dengan masyarakat secara baik dan sopan (memelihara etika sosial), memberikan sedekah walau sebutir kurmapun, memberi maaf, memberi upah kerja sebelum keringatnya kering, bersikap adil terhadap anak-anak dan baik terhadap istri/suami dalam membina rumah tangga, bersikap baik terhadap perempuan, jujur, sabar, setia kepada pemimpin, adil sebagai pemimpin dan lain-lain.

Takwa pada dasarnya memiliki karakteristik yang semuanya berkaitan dengan etika sosial dan kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah SWT. :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-imran : 133-134)

Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (bertakwa). Yakni, bertakwa dalam kondisi apapun, di mana saja dan kapan saja. Dan perintah takwa dalam setiap kondisi itu diajarkan senantiasa mengiringi setiap keburukan dengan kebaikan karena kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa akibat keburukan, serta untuk berbuat kepada setiap manusia dengan akhlak yang baik.

Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah tercermin sikap dan perilaku (atittude) perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.

Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang pada posisi yang terhormat dan tinggi (takwa). Takwa akan memperbaiki hubungan antara hamba dan Allah SWT, sedangkan berakhlak yang mulia memperbaiki hubungan antar sesama. Ketakwaan kepada Allah SWT mengundang kecintaan Allah SWT terhadap dirinya, sedangkan akhlak yang baik mendatangkan kecintaan manusia di dalam pergaulan masyarakat.

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ini ditemui dalam kitab-kitab hadis hanya enam kali, yaitu dalam kitab sunan at-Tirmidzi dan sunan ad-Darimi masing-masing sekali, dan 4 kali dalam Musnad Ahmad. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi, 2009 : 62). Hal ini dikarenakan Nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya disampaikan kepada Abu Dzar saja. Oleh karena itu, dilihat dari riwayat dan latar belakang lahirnya hadis tersebut di atas, Nabi SAW bersabda terkait dengan konteks perilaku dan sikap Abu Dzar sebagai seorang aktifis pemberdayaan masyarakat yang banyak bergelut memperjuangkan nasib orang-orang lemah, dia ingin sekali tinggal di mekah bersama dengan Nabi SAW.

Pesan Nabi SAW kepada Abu Dzar ini dapat kita pahami bahwa keislaman dan kecintaan kepada Allah Swt dan Rasullullah itu tidak mesti harus di Mekah dan bersama dengan Nabi SAW saja, akan tetapi di manapun kita berada, keislaman dan ketaqwaan dapat diwujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi sosial dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya. Oleh karena itu, muatan dan pesan utama sesungguhnya yang bisa ditangkap dari teks hadis di atas adalah takwa yang diwujudkan dalam etika sosial dan tanggung jawab dalam pergaulan masyarakat tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga dan itulah sebabnya Nabi SAW mempertegas hadis selanjutnya dengan mengatakan di mana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan jahat itu dengan kebaikan dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Penegasan ini berkaitan dengan urusan dan tangggung jawab sosial kemasyarakatan dalam kehidupan lebih luas dan nyata.

Takwa kepada Allah SWT merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah SWT, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Allah SWT dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)

Dari ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan muttaqin (orang bertakwa) adalah mereka yang membelanjakan sebagian hartanya dalam kondisi lapang dan sempit, yang mampu menahan gejolak amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain.

Sabda Rasullullah SAW dalam hadisnya yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik yang berbunyi:

“Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisan itu”.

Dari hadis ini Rasullullah SAW menjelaskan bahwa jika dalam urusan ibadah bersamaan dengan urusan kemasyarakatan yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan namun bukan ditinggalkan.

Ketika seseorang berbuat buruk, maka dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat termasuk al hasanah, yakni perbuatan yang baik. Maka jika berbuat dosa, maka kita mengikutinya dengan perbuatan yang baik, yakni bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Maka taubat akan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan, baik dosa besar apalagi dosa kecil. Dan termasuk al hasanah, perbuatan baik dalam hadits di atas adalah perbuatan baik secara umum. Perbuatan baik akan menghapus dosa-dosa kecil saja. Sedangkan dosa besar harus dengan taubat untuk menghapusnya (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 69).

Adapun upaya untuk memelihara diri, takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas, sebagaimana yang ditegaskan Nabi SAW dalam hadis tersebut, yang merangkaikan perintah takwa dan bermoral. Namun pada kenyataannya masyarakat saat ini banyak yang lebih mengedepankan rasio dan akal saja dan melalaikan moralitas dan akhlak. Sehingga banyak ditemui krisis akhlak dan krisis kepemimpinan.

Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat ditekankan secara tegas adalah penegakan akhlak. Islam dihormati dan disegani termasuk oleh musuh adalah karena penampilan akhlak. Bahkan ada sesuatu yang sebenarnya secara hukum dibenarkan dilakukan, tapi dari segi pandangan etika dan moral belum tentu, misalnya ketika melaksanakan shalat, yang wajib ditutupi bagi laki-laki adalah sebatas auratnya saja, yaitu dari bagian pusat kebawah, kalau batasan-batasan ini sudah tertutupi, maka secara hukum shalatnya sudah sah, tetapi secara etika dan moral masih dipertimbangkan. Karena rasanya tidak etis menghadap dan bermunajat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi badan tidak tertutupi dan hampir telanjang (Wajidi Sayadi, 2009 : 66).

Untuk itu, jelas di dalam ajaran agama Islam, penegakan moral sebagai insan muttaqin sangat penting dikedepankan dalam segala aspek kehidupan baik bagi diri sendiri, masyarakat maupun bangsa dan negara. Hal inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT dengan tujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak.

Prinsip dasar ketakwaan dalam pergaulan masyarakat sebagaimana Hikmah Yang Dapat diambil dari Pesan Nabi Kepada Abu Dzar, adalah :

Sebagai pemimpin umat perhatian yang besar dari Nabi Saw terhadap umatnya memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan di dalam setiap pergaulan di masyarakat;
Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
Bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wata’ala :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ

“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)

Kemudian Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik”.

Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2009).

Secara prinsip takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akhirat. Takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas,  ketaqwaan dapat diwujudkan di tengah pergaulan masyarakat, etika dan interaksi sosial dengan memperhatikan situasi dan kondisi orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya.

Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya dengan melihat keshalehannya dalam beribadah saja namun juga dilihat dari keshalehan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berupa implementasi terhadap etika dan kearifan sosial kemasyarakatan di tengah pergaulan masyarakat yang kini sedang dalam kondisi carut marut, tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga.

Nashrun min Allah wa fathun qariib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar