Kamis, 05 Februari 2015

Islam rahmatan lil ‘alamin

ISTILAH Islam rahmatan lil ‘alamin sudah mengalami penyempitan makna, yakni menjadi Islam yang lembut dan damai. Sehingga ketika ada saja sedikit reaksi perlawanan dari umat Islam terhadap penjajahan barat, baik secara non fisik, apalagi fisik, maka langsung dicap Islam yang tidak rahmatan lil ‘alamin.

Bila makna Islam rahmatan lil ‘alamin hanya dimaknai kelembutan dan kedamaian semata. Mungkin kita tidak akan pernah membaca kisah peperangan ghozwah (yang diikuti Rasulullah saw) dan sariyah (yang diikuti Rasulullah saw.). Begitu pula kita tidak akan mengenang heroiknya kisah para pahlawan melawan penjajahan dengan pekik takbir yang membahana.

Islam memang tidaklah identik dengan kekerasan, tetapi juga bukan berarti harus serba lembut dan kompromistis dalam hal pensikapan. Islam tidak identik dengan kewajiban jihad semata. Tapi Islam pun tidak identik dengan senyum adalah shodaqoh semata. Terkadang Rasulullah saw. bersikap lembut terhadap orang yang memusuhi beliau, seperti kepada Suraqah yang hendak membunuhnya tetapi digagalkan oleh Allah swt. Namun beliau saw. juga bersikap keras terhadap musuhnya, sebagaimana sikap beliau yang memerangi Bani Quraidzah karena pengkhianatannya.

Istilah rahmatan lil ‘alamin termaktub dalam Q.S. Al Anbiya[21]:107, yang artinya :

“dan tiadalah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin)”

Dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir), Syaikh An Nawawi Al Jawi menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut : “Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia, dengan berbagai peraturan (syariah), melainkan dalam sebagai rahmat Kami bagi seluruh alam, dalam agama maupun dunia. Karena manusia dalam kesesatan dan kebingungan, maka Allah swt. mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syariah Islam, juga membedakan yang halal dan yang haram. Setiap Nabi sebelum beliau saw., manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah swt. menghinakan mereka dengan berbagai siksa. Namun bila kaum Nabi Muhammad saw. mendustakannya, Allah swt mengakhirkan azab-Nya hingga datang kematian dan Allah swt mencabut ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para mufassirin.” Sehingga Islam akan menjadi rahmatan lil ‘alamin bila syariah Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.

Sangatlah tidak adil bila kita melihat Islam hanya dari segi hukum kewajiban jihad semata, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Kita juga perlu melihat jaminan keamanan dalam Islam, pun persamaan hak di dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, orang-orang muslim maupun non muslim akan mendapatkan perlakuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hak-hak mereka sebagai warga negara dijamin penuh oleh negara Islam. Islam tidak akan memaksa non muslim untuk masuk Islam. Islam pun tidak akan mmberangus tempat-tempat peribadatan mereka. Islam akan membiarkan non muslim hidup berdampingan dgn orang-orang muslim selama mereka tidak memerangi kaum muslim.

Orang-orang non muslim yang hidup dalam negara Islam (kafir dzimmi) mendapat perlakuan dan hak yang sama dengan kaum muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya harta dan darah kaum muslim. Dari Ibnu Mas’ud, Al Khatib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyakiti kafir dzimmi, maka aku akan berperkara dengannya, dan barangsiapa yang berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat.” (Jami’ush Shagir, As-Suyuthi)

Kafir dzimmi tidak akan dipaksa meninggalkan agamanya, mereka hanya diminta membayar jizyah, itu pun hanya dari kalangan lelaki yang baligh dan mampu bekerja saja. Para wanita, anak-anak dan tua renta tidak dimintai jizyah. Bahkan jika kondisi mereka tidak mampu, akan menjadi tanggungan negara.

Urwah Bin Zubair bertutur: “Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, “Siapa saja yg tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tdk akan dipaksa keluar dari agama mereka. Mereka hanya wajib membayar jizyah.” (H.R.Ibnu Hajar, Nailul Author juz VIII, Asy Syaukani)

Dari Aslam maula Umar, Nafi’ bertutur, “Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan agar mereka memungut jizyah. Mereka tdk boleh memungut jizyah dari wanita dan anak kecil. Mereka juga tidak diperkenankan menungut jizyah kecuali dari orang yang sudah baligh.”

Begitu pun Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dalam kitab Asyakshiyyah Al Islamiyyah juz II, bahwa Jizyah tidak dipungut dari orang yang miskin, lemah dan butuh sedekah.

Negara Islam adalah tempat yang nyaman untuk semua ras, agama, suku dan bangsa. Bahkan ketika orang-orang Yahudi terpaksa mengungsi akibat inkuisisi yang dilakukan oleh Kristen Spanyol pada abad ke-15, mereka mendapatkan perlindungan dari Khilafah Bayazid. Begitupun saat pasukan salib kristen menyerang Syam, mereka terkaget saat lawan yang mereka hadapi adalah orang-orang yang seagama tetapi pro negara Islam.

Tidak adil pula bila kita melihat syariah Islam hanya dari penerapan hukum pidananya semata. Kita mesti menelaah pula jaminan kesejahteraan dalam sistem ekonomi Islam, penanaman nilai-nilai ketaqwaan dalam sistem pendidikannya, juga hukum-hukum lainnya yang terkait keutamaan menyantuni fakir miskin. Karena pencegahan kriminalitas di dalam sistem Islam jauh lebih diutamakan dibandingkan penerapan sanksinya.

Imam Asy syaukani menjelaskan bahwa tidaklah Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw. dengan seluruh syariah dan peraturan, terkecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sehingga, rahmatan lil ‘alamin akan terwujud dengan penerapan hukum syariah Islam oleh Khilafah Islamiyyah. Wallohu a’lamu bishshowwaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar