Minggu, 01 Juni 2014

Pemimpin Yang Amanah

Apakah kita membutuhkan pemimpin yang cerdas dan berpendidikan tinggi? Atau, pemimpin yang “biasa-biasa saja”, tapi mempunyai “keunikan” tersendiri yang berkait dengan akhlak, seperti mempunyai sikap amanah yang tinggi? Sepertinya, tidak bisa sekadar menjadi bak soal ujian yang tinggal pilih dengan mencontreng a, b, atau c. 

Soal kriteria pemimpin belakangan mencuat kembali. Tampaknya ini didasari oleh kepedulian, kegelisahan, dan harapan terhadap kepemimpinan di negeri kita ke depan. Menarik, misalnya pernyataan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin bangsa yang amanah. 

Ukuran kepemimpinan seolah bersifat dinamis, selaras kebutuhan. Sebelumnya, sudah ada penelitian bahwa pemimpin yang didambakan rakyat di tahun 2014 nanti adalah sosok yang amanah dan tegas. Mungkin kita gampang menebak, mengapa ada euforia terhadap kepemimpinan yang amanah. 
Saat ini, negeri kita tengah belepotan dengan berbagai masalah kronis, utamanya penyimpangan moral dan kekuasaan. Korupsi masih terus merajalela. Inilah yang kemudian menjadikan rakyat tidak mendapatkan keteladanan yang baik dari para elite. 

Begitu mudahnya terjadi tawuran, bentrokan, dan kerusuhan dalam berbagai bentuk di kalangan masyarakat. Seakan-akan bangsa kita sekarang ini hidup “bagai api dalam sekam”, mudah tersulut amarah. Fakta-fakta inilah yang oleh banyak amatan diakibatkan juga adanya krisis keteladanan dari para petinggi kita.
Tak sangkal, kebutuhan terhadap kepemimpinan yang mumpuni bersifat krusial. Ukurannya bisa kontekstual, tetapi bila dicermati, sebenarnya bersifat perenial. Maksudnya, kriteria pemimpin sesungguhnya merupakan sesuatu yang innate ideas, yaitu harapan fitrah dari eksistensi manusia. 

Ya, sejak dini manusia sudah memiliki “kecondongan” yang sifatnya fitri terhadap sosok pemimpin yang hendak diwujudkan. Soal kemudian ada keinginan yang kondisional, hal ini dapat saja terkait dengan situasi sosiologis yang melingkupi masyarakat. Menyitir ungkapan Ibnu Khaldun, adanya organisasi masyarakat menjadi hal yang niscaya bagi kehidupan manusia. 

Pada masyarakat yang masih bersifat tribal, bisa saja figur pemimpin dikaitkan dengan kriteria berani, tegas, dan andal dalam berperang. Dengan ukuran seperti itu maka komunitas sukunya mendapatkan perlindungan yang sempurna dari pemimpinnya. Seiring waktu, ukuran ideal bagi pemimpin pun bisa beralih rupa.
Akan tetapi, ada satu hal yang pasti dan abadi dalam memilih kriteria pemimpin di sepanjang masa. Ukuran itu berkait dengan urusan moral. Salah satu sifat moralitas kepemimpinan, yaitu amanah. 

Inilah sikap yang tak dapat disangkal menjadi keinginan abadi dari setiap masyarakat dari dulu hingga kini dan masa yang akan datang. Betapa pun masyarakat di suatu zaman menginginkan sosok pemimpin yang berani, tetapi sesungguhnya di dalamnya melekat niscaya terwujudnya akhlak yang luhur, seperti sikap amanah. Urusan akhlak tak akan lekang oleh waktu.

Dalam sejarah banyak diwartakan, betapa banyak suatu kaum yang hancur karena kepemimpinan yang bobrok secara akhlak. Persia, Roma, hingga dinasti-dinasti Islam mengalami kemerosotan yang tragis hingga rontok berkeping-keping oleh karena akibat kerusakan moral yang sangat kronis. 

Nah, bila sekarang muncul kerinduan untuk menampilkan kembali sosok pemimpin yang amanah, tentu saja hal ini selaras dengan fitrah kemanusiaan. Ini jangan semata dipahami sebagai “kebutuhan kondisional”. Bila terpaku pada kebutuhan, justru dikhawatirkan, kita yang hidup di dunia modern ini menjadi “lupa daratan” terhadap hal ihwal terkait urusan akhlak. 

Kita hanya terhipnosis oleh masalah manajemen kepemimpinan yang canggih-canggih bahwa urusan kepemimpinan hanya disempitkan dengan urusan otak. Soal moral tidak dianggap penting karena tidak menyangkut hal-hal yang “masuk akal”.  Kita menjadi lebay. Kita mengabaikan ukuran yang sesungguhnya sangat fundamental dalam kepemimpinan. Padahal, soal akhlak jelas-jelas tidak dapat diukur sesuai dengan situasi atau kebutuhan.  

Pemimpin harus mempunyai sifat amanah. Mengapa? Bila pemimpin hanya memiliki sifat, misalnya tegas atau santun, maka belum dapat dijadikan ukuran bahwa pemimpin tersebut ideal. Keidealan pemimpin harus ditopang sepenuhnya dengan sifat amanah. 

Sebab, keamanahan pemimpin sesungguhnya menjadi sifat dasar bagi kebaikan dan kemuliaan pemimpin. Pemimpin yang amanah akan menghadirkan langkah dan kebijakan yang selalu berpihak pada nurani, nilai-nilai spiritualitas sehingga tindakannya akan selalu selaras dengan kebaikan masyarakat secara luas (mashalih al-‘ammah). 

Ukuran pemimpin yang amanah secara standar merujuk pada bentuk pemberian kepercayaan masyarakat kepadanya dan kemudian disikapi dengan niat bulat untuk selalu berpijak menjauhi larangan dan menjalankan perintah yang tidak hanya dipahami sebagai urusan dunia, tetapi juga akan terpancar pada kehidupan akhirat kelak. 

Menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitab Tafsir al-Razi, pemimpin yang amanah adalah sosok yang selalu berupaya menunaikan kepercayaan yang diberikannya dengan sebaik-baiknya. Bisa diungkapkan, amanah seorang pemimpin serempak berada pada pusaran vertikal dan horizontal. 

Vertikal adalah hubungan pertanggungjawabannya kepada Sang Pencipta (hablum min Allah), sedangkan horizontal adalah hubungannya yang baik kepada sesama umat manusia (hablum min al-nas). Beberapa akhlak pemimpin yang amanah—bila merujuk pada kriteria yang diberikan oleh ulama tafsir al-Tsa’labi dalam kitabnya al-Jawahir al-Hisan—konkretnya adalah seperti senantiasa bersikap adil, melawan kezaliman, adil dalam pemberian materi, membela hak-hak orang-orang yang lemah atau tertindas, menepati janji, dan menjaga kesaksian.

Silakan saja kita menderet sebanyak-banyaknya contoh akhlak pemimpin yang amanah. Namun, pada akhirnya kita cukup berkesimpulan bahwa pemimpin amanah haruslah menjadi ukuran dan ikhtiar bersama demi membangun peradaban Indonesia.

republika.co.id

1 komentar:

  1. Pemimpin amanah itu ada, dan suatu hari nanti akan muncul memimpin Indonesia

    BalasHapus