Apakah kita membutuhkan pemimpin yang cerdas dan
berpendidikan tinggi? Atau, pemimpin yang “biasa-biasa saja”, tapi
mempunyai “keunikan” tersendiri yang berkait dengan akhlak, seperti
mempunyai sikap amanah yang tinggi? Sepertinya, tidak bisa sekadar
menjadi bak soal ujian yang tinggal pilih dengan mencontreng a, b, atau
c.
Soal kriteria pemimpin belakangan mencuat kembali. Tampaknya ini
didasari oleh kepedulian, kegelisahan, dan harapan terhadap kepemimpinan
di negeri kita ke depan. Menarik, misalnya pernyataan mantan panglima
TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto bahwa Indonesia membutuhkan
pemimpin bangsa yang amanah.
Ukuran kepemimpinan seolah bersifat dinamis, selaras kebutuhan.
Sebelumnya, sudah ada penelitian bahwa pemimpin yang didambakan rakyat
di tahun 2014 nanti adalah sosok yang amanah dan tegas. Mungkin kita
gampang menebak, mengapa ada euforia terhadap kepemimpinan yang amanah.
Saat ini, negeri kita tengah belepotan dengan berbagai masalah
kronis, utamanya penyimpangan moral dan kekuasaan. Korupsi masih terus
merajalela. Inilah yang kemudian menjadikan rakyat tidak mendapatkan
keteladanan yang baik dari para elite.
Begitu mudahnya terjadi tawuran, bentrokan, dan kerusuhan dalam
berbagai bentuk di kalangan masyarakat. Seakan-akan bangsa kita sekarang
ini hidup “bagai api dalam sekam”, mudah tersulut amarah. Fakta-fakta
inilah yang oleh banyak amatan diakibatkan juga adanya krisis
keteladanan dari para petinggi kita.
Tak sangkal, kebutuhan terhadap kepemimpinan yang mumpuni bersifat
krusial. Ukurannya bisa kontekstual, tetapi bila dicermati, sebenarnya
bersifat perenial. Maksudnya, kriteria pemimpin sesungguhnya merupakan
sesuatu yang innate ideas, yaitu harapan fitrah dari eksistensi
manusia.
Ya, sejak dini manusia sudah memiliki “kecondongan” yang sifatnya
fitri terhadap sosok pemimpin yang hendak diwujudkan. Soal kemudian ada
keinginan yang kondisional, hal ini dapat saja terkait dengan situasi
sosiologis yang melingkupi masyarakat. Menyitir ungkapan Ibnu Khaldun,
adanya organisasi masyarakat menjadi hal yang niscaya bagi kehidupan
manusia.
Pada masyarakat yang masih bersifat tribal, bisa saja figur pemimpin
dikaitkan dengan kriteria berani, tegas, dan andal dalam berperang.
Dengan ukuran seperti itu maka komunitas sukunya mendapatkan
perlindungan yang sempurna dari pemimpinnya. Seiring waktu, ukuran ideal
bagi pemimpin pun bisa beralih rupa.
Akan tetapi, ada satu hal yang pasti dan abadi dalam memilih kriteria
pemimpin di sepanjang masa. Ukuran itu berkait dengan urusan moral.
Salah satu sifat moralitas kepemimpinan, yaitu amanah.
Inilah sikap yang tak dapat disangkal menjadi keinginan abadi dari
setiap masyarakat dari dulu hingga kini dan masa yang akan datang.
Betapa pun masyarakat di suatu zaman menginginkan sosok pemimpin yang
berani, tetapi sesungguhnya di dalamnya melekat niscaya terwujudnya
akhlak yang luhur, seperti sikap amanah. Urusan akhlak tak akan lekang
oleh waktu.
Dalam sejarah banyak diwartakan, betapa banyak suatu kaum yang hancur
karena kepemimpinan yang bobrok secara akhlak. Persia, Roma, hingga
dinasti-dinasti Islam mengalami kemerosotan yang tragis hingga rontok
berkeping-keping oleh karena akibat kerusakan moral yang sangat kronis.
Nah, bila sekarang muncul kerinduan untuk menampilkan kembali sosok
pemimpin yang amanah, tentu saja hal ini selaras dengan fitrah
kemanusiaan. Ini jangan semata dipahami sebagai “kebutuhan kondisional”.
Bila terpaku pada kebutuhan, justru dikhawatirkan, kita yang hidup di
dunia modern ini menjadi “lupa daratan” terhadap hal ihwal terkait
urusan akhlak.
Kita hanya terhipnosis oleh masalah manajemen kepemimpinan yang
canggih-canggih bahwa urusan kepemimpinan hanya disempitkan dengan
urusan otak. Soal moral tidak dianggap penting karena tidak menyangkut
hal-hal yang “masuk akal”. Kita menjadi lebay. Kita mengabaikan ukuran
yang sesungguhnya sangat fundamental dalam kepemimpinan. Padahal, soal
akhlak jelas-jelas tidak dapat diukur sesuai dengan situasi atau
kebutuhan.
Pemimpin harus mempunyai sifat amanah. Mengapa? Bila pemimpin hanya
memiliki sifat, misalnya tegas atau santun, maka belum dapat dijadikan
ukuran bahwa pemimpin tersebut ideal. Keidealan pemimpin harus ditopang
sepenuhnya dengan sifat amanah.
Sebab, keamanahan pemimpin sesungguhnya menjadi sifat dasar bagi
kebaikan dan kemuliaan pemimpin. Pemimpin yang amanah akan menghadirkan
langkah dan kebijakan yang selalu berpihak pada nurani, nilai-nilai
spiritualitas sehingga tindakannya akan selalu selaras dengan kebaikan
masyarakat secara luas (mashalih al-‘ammah).
Ukuran pemimpin yang amanah secara standar merujuk pada bentuk
pemberian kepercayaan masyarakat kepadanya dan kemudian disikapi dengan
niat bulat untuk selalu berpijak menjauhi larangan dan menjalankan
perintah yang tidak hanya dipahami sebagai urusan dunia, tetapi juga
akan terpancar pada kehidupan akhirat kelak.
Menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitab Tafsir al-Razi, pemimpin yang
amanah adalah sosok yang selalu berupaya menunaikan kepercayaan yang
diberikannya dengan sebaik-baiknya. Bisa diungkapkan, amanah seorang
pemimpin serempak berada pada pusaran vertikal dan horizontal.
Vertikal adalah hubungan pertanggungjawabannya kepada Sang Pencipta
(hablum min Allah), sedangkan horizontal adalah hubungannya yang baik
kepada sesama umat manusia (hablum min al-nas). Beberapa akhlak pemimpin
yang amanah—bila merujuk pada kriteria yang diberikan oleh ulama tafsir
al-Tsa’labi dalam kitabnya al-Jawahir al-Hisan—konkretnya adalah
seperti senantiasa bersikap adil, melawan kezaliman, adil dalam
pemberian materi, membela hak-hak orang-orang yang lemah atau tertindas,
menepati janji, dan menjaga kesaksian.
Silakan saja kita menderet sebanyak-banyaknya contoh akhlak pemimpin
yang amanah. Namun, pada akhirnya kita cukup berkesimpulan bahwa
pemimpin amanah haruslah menjadi ukuran dan ikhtiar bersama demi
membangun peradaban Indonesia.
republika.co.id
Pemimpin amanah itu ada, dan suatu hari nanti akan muncul memimpin Indonesia
BalasHapus