Tadi malam Allah menganugerahi saya rejeki yang luar biasa,
yang membuat aliran darah saya menghangat, hati penuh kegembiraan dan
kebanggaan, dan seandainya ketika itu saya sakit – saya yakin langsung
menjadi sembuh.
Di Taman Ismail Marzuki Jakarta setiap orang kenal orang yang
mengantarkan rejeki Allah ini. Seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun,
kumuh, berpenampilan gelandangan, tidur di sembarang tempat di komplek
itu, sorot matanya menusuk ke dalam nurani. Setiap orang mengenalnya
sebagai orang yang tidak lengkap, agak miring, minimal setiap orang
normal cenderung tidak menganggapnya sebagai manusia sesama orang
normal.
Dulu tatkala sebulan sekali saya beracara “Kenduri Cinta” di parkiran
TIM, beliaunya ini selalu hadir. Di akhir acara selalu menemui saya dan
dengan sangat menakutkan ia mencium tangan saya. Saya meletakkannya di
tempat yang khusus di lubuk hati saya. Kemudian acara bulanan saya di
Jakarta itu tidak menetap lagi di TIM melainkan keliling ke
kampung-kampung Jakarta.
Ya Allah, beliau ini tiba-tiba menelpon saya. Saya tidak pernah
membayangkan bahwa ia kenal telpon. Tentu ia ternyata tahu wartel juga.
Ya Allah, dia bercerita tentang demo di DPR dan situasi mutakhir di
Jakarta. Ya Allah aku bangga menerima telpon dari seseorang yang setiap
orang tidak menganggapnya sebagai sesama manusia dalam kehidupan yang
wajar.
Tentu saja tidak bisa saya berkata begini: “Saya ditelpon oleh
Menteri, oleh Presiden, oleh Sekjen PBB, tidak punya perasaan apa-apa
dan tidak bangga sedikitpun. Tetapi saya ditelpon oleh beliau ini, ya
Allah, hati saya berbinar-binar penuh kegembiraan dan kebanggaan”. Tidak
bisa, wong memang tidak ada Menteri yang gila untuk repot-repot menelpon saya. Apalagi Presiden dan Sekjen PBB.
Kalimat seperti itu pernah juga muncul di hati saya ketika saya kenal
kekasih gila yang lain. Kalau Anda pergi ke Jogja, jalanlah ke
perempatan dekat jembatan rel kereta di sebelah barat kantor Samsat.
Sekitar siang atau sore, insyaallah Anda akan berjumpa dengan kekasih
Allah: pemuda kurus, hitam, menari-nari, melemparkan wajah penuh
kegembiraan, melambaikan tangan kepada siapa saja yang lewat. Adakah
orang bisa berpikir bahwa ada orang yang sehat jiwanya menari-nari di
perempatan jalan?
Tetapi apakah kekasihku itu benar tidak sehat jiwanya? Apakah ia
pernah korupsi? Apakah ia pernah menyakiti hati orang? Apakah ia pernah
mencuri, mencopet atau menjambret? Bukankah berjam-jam ia berjoget-joget
di jalan dengan penuh suka cita itu sesungguhnya berkata kepada
orang-orang yang lewat yang kebetulan punya akal pikiran: “Kenapa engkau
cemberut, uring-uringan dan berwajah duka? Kau punya mobil kan? Punya
rumah kan? Lihatlah aku, tak punya apa-apa, tak punya rumah, tak punya
pekerjaan, tak pernah sekolah, tak tahu apa-apa mengenai negara dan
masyarakat, tak mendapat gaji, tidak akan kawin seumur hidup, tak punya
harapan dan karier apa-apa di muka bumi ini — tetapi aku selalu
bergembira….”
Pada suatu sore di sebuah sanggar beliau muncul dan bersalaman dengan
setiap orang yang ada di situ termasuk saya. Pimpinan sanggar bertanya
kepadanya: “Kamu salaman-salaman begitu apa tahu dengan siapa kamu
salaman?”
Beliau tertawa nyengir, mendekat dan memegang sebelah tangan saya dan
menjawab dengan suara kecil lirih lucu: “Cak Nunnn…!” — Ya Allah,
bangganya saya dikenal oleh beliau. Siapa yang ngasih tahu dia tentang
saya? Koran? Saya sudah beberapa tahun tidak laku di koran, bahkan koran
lokalpun sudah tidak kenal saya. Ah, kuajak beliau naik panggung nanti
17 Agustus malam di Boulevard UGM. Di situ kita akan bercengkerama
bersama komunitas Sarkem (“Dolly”), pimpinan paguyuban tukang becak
Jogja, mandataris buruh-buruh gendong Pasar Beringharjo, para Dauri
(sapaan persahabatan di antara para preman, korak atau gali) dari Buto
Mati sampai Buto Kempung. Tentu saja, juga dengan yang kita junjung
tinggi para intelektual, dosen-dosen, aktivis mahasiswa, bahkan Pak
Rektor. Kalau Ngarsodalem HB X pengayom wong cilik berkenan
hadir, tentu teman-teman kita itu akan sangat gembira. Seandainya beliau
tak hadir, insyaallah beliau tetap mengayomi, di manapun beliau berada
malam itu.
Ya Allah, syukur kepadaMu akhir-akhir ini Engkau pertemukan aku
dengan kekasih-kekasih sejati. Yang tidak menyalami tanganku dengan
kepentingan. Yang tidak cemburu dan dengki kepadaku. Yang tidak
menuduh-nuduh aku atas dasar kabar burung dan obrolan warung. Yang tidak
meminta apa-apa dariku, bahkan memberiku ilmu dan hikmah yang tidak aku
peroleh dari kaum cerdik pandai, dari para penguasa dan kaum penyebar
isyu. Yang tidak mengancamku. Yang tidak mencurigaiku berdasarkan
keperluan subyektifnya. Yang tidak menyantet atau menenungku demi
melindungi ambisinya. Yang tidak bersaing denganku kecuali dalam mencari
ridhallah.
Dulu waktu ulang tahun Kartolo dengan Kiai Kanjeng datang kekasihMu,
ibu-ibu setengah baya, pakai kaos oblong dan rok pendek, beteriak-teriak
sehingga Satpam dan Polisi akan mengusirnya. Aku loncat turun dari
panggung, kurebut ibu-ibu ini dari Polisi, saya gandeng naik panggung,
duduk di samping kiri saya, saya bisiki dan alhamdulillah ia bersedia
duduk manis di situ sampai acara usai lewat tengah malam.
Di Alun-alun Magetan itu, begitu kami naik panggung, ibu-Ibu tua
mendahului berdiri dan berpidato teriak-teriak. Saya datangi, saya
nyatakan cinta, saya bimbing duduk di samping saya. Ia patuh manis
sampai akhir acara, meskipun berulang kali ia mencubit punggung atau
paha saya seakan-akan ia adalah pacar saya yang sebentar lagi saya
nikahi.
Berikutnya di Magetan itu datang lelaki muda gagah besar, pakai
celana pendek, membawa tali dadung panjang, berjalan sambil menari
menyaingi Sardono W. Kusumo, membelah hadirin menuju panggung. Terus ada
lagi di belakang hadirin: laki-laki juga, berbaring mengomel dan kayal-kayal seperti bayi — persis seperti nasib rakyat Indonesia.
Dan itu ya Allah, lelaki kurus pucat, pakai hanya celana
pendek, langsung masuk ke rumah, bersila, menyembah saya dan berkata:
“Lapor! Saya dulu anaknya orang kaya. Saya merantau sekolah di Jogja.
Kemudian orang tua saya bangkrut. Saya tidak bisa melanjutkan kuliah.
Untuk bisa makan saya akhirnya jualan darah. Tetapi karena darah yang
saya keluarkan tidak sebanding dengan makanan yang masuk, maka akhirnya
saya gila. Laporan selesai!” — Kemudian ia nyelonong pergi.
Yang lain datang dan juga langsung masuk rumah. Bahkan tidur di depan
pintu tengah. Saya biarkan berjam-jam, sampai akhirnya saya bertanya:
“Kok tidur di sini sih, Mas?”. Ia menjawab dengan tegas: “Ini adalah
bumi Tuhan, makhluknya bebas tidur di mana saja!”
Menjelang maghrib saya hampiri dia dan saya omong dengan lembut:
“Boleh saya menolong Sampeyan untuk saya carikan bumi Tuhan yang lain
yang bukan ini?”.
http://www.caknun.com/2013/kekasihku-orang-gila/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar