Umumnya masyarakat menjelang tahun baru, misalnya Tahun Baru
Masehi,banyak melakukan kegiatan untuk menyambutnya. Kegiatan tersebut
biasanya tidak terlepas dari upaya introspeksi dan harapan-harapan.
Begitu
juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa yang jatuh pada bulan Suro,
tentunya masyarakat Jawa pun ingin mempunyai harapan-harapan yang lebih
baik di tahun baru dan tentunya juga melakukan introspeksi
terhadap tindakan di masa lalu.
Esensi Bulan Suro pada Masyarakat Jawa
Bulan Suro sebagai awal tahun, bagi masyarakat Jawa dianggap bulan yang sakral, karena dianggap bulan
yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara
yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu dengan hati yang ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
Namun kalau dicermati, esensi tradisi di bulan Suro yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya
untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya
dan
dari mana sangkan paraning dumadi 'asal mulanya', kedudukannya sebagai
makhluk Tuhan, tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi baik bagi diri
sendiri maupun orang lain.
Waspada, artinya harus tetap cermat,
terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan.
Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta,
sehingga dapat menjauhkan diri mencapai manunggaling kawula gusti
'bersatunya makhluk dan Khalik'.
Keyakinan semacam ini masih
banyak diyakini dan dianut oleh sebagian masyarakat Jawa. Namun
masyarakat modern sering memandang secara negatif. Suro dikaitkan dengan
paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena
disebabkan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang
mendalam di baliknya.
Memang menjadi persoalan ketika melihat manifestasi dari perbuatan. Pada bulan Sura banyak orang melakukan
ritual-ritual
tertentu sebagai media introspeksi biasanya banyak caranya. Ada yang
melakukan laku dengan cara nenepi 'meditasi untuk merenung diri' di
tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam, gua,
pohon tua, dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan 'berjaga
hingga pagi hari'.
Dari sudut pandang agama, ritual ini jelas sebentuk sinkretisme. Namun, apakah kita pernah melihat ritual-ritual
ini dalam makna yang terkandung di dalamnya?
Masyarakat
Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos. Dalam kesadaran ini diamini bahwa
Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai
dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Kedua dunia ini
saling berinteraksi. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi
metafisik merupakan interaksi yang saling mengisi mewujudkan keselarasan
dan keharmonisan alam semesta.
Selain kesadaran makrokosmos ada
kesadaran lain, yaitu kesadaran mikrokosmos. Manusia merupakan bagian
dari mikrokosmos itu. Manusia sebagai bagian dari mikrokosmos memiliki
peranan besar dalam menjaga keseimbangan makrokosmos karena manusia
dikarunia akal budi.
Kesadaran akan makrokosmos membawa kesadaran
lain bahwa manusia bukanlah segalanya di hadapan Yang Maha Tinggi, dan
dibanding mahluk lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang
mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia,
hanya karena akal-budinya. Akal budi adalah pisau bermata dua. Di satu
sisi, manusia dapat mencapai kepenuhan karena akal budinya. Di sisi
lain, manusia bisa tersesat juga karena akal budinya.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga
keseimbangan
dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga
sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur
tertinggi umat manusia kepada Sang Hyang Murbeng Dumadi.
Cara
pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagai bagian
makrokosmos, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan
kosmos.
Keseimbangan kosmos itu tidak hanya sebatas apa yang dapat dilihat dilihat menurut mata telanjang manusia.
Kosmos memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik.
Kepekaan batin adalah kunci untuk mengerti dan memahami dimensi metafisik.
Harmoni alam merupakan cita-cita manusia. Untuk menggapai harmoni alam itulah, sebagian masyarakat Jawa
melakukan ritual-ritual tertentu. Seringkali orang salah memberikan penilaian karena hanya melihat sebatas yang
terlihat
dan memberikan penilaian seturut norma atau nilai yang dianutnya.
Padahal jika kita mau masuk ke dalamnya, kita akan menemukan nilai yang
melebihi dan melampaui keimanan kita sendiri. Ritual yang dibuat
merupakan kristalisasi dari kesadaran manusia akan keseimbangan kosmos.
Dalam ritual-ritual yang dibuat, terkandung nilai-nilai yang luar biasa
mendalam.
Pertama, keyakinan dasar akan Sang Hyang Murbeng Jagad.
Dalam melaksanakan ritual, hati manusia tetap teguh pada keyakinan
bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha
Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. Masyarakat Jawa kuno yang
mewariskan nilai-nilai itu hingga sekarang tentu memiliki kosakata
tersendiri untuk menyebut Tuhan. Meskipun masyarakat Jawa kuno tidak
memiliki kata Tuhan, namun mereka memiliki keyakinan akan kekuatan dari
luar diri mereka yang memiliki kuasa mutlak atas hidup manusia.
Kedua, nilai filosofi. Ritual-ritual yang dibuat selama bulan Sura merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang
bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber
penghidupan
manusia. Oleh karena itu, kosmos harus dijaga demi kelangsungan
kehidupan generasi penerus atau anak turun kita. Kelestarian alam
merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Nilai inilah
yang makin hari makin luntur. Alam dieksploitasi sedemikian rupa
sehingga kesimbangan alam terganggu: banjir bandang, tanah longsor, dan
aneka peristiwa alam yang menunjukkan terganggunya harmoni kosmos.
Aneka
ritual bulan Sura merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia
dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di
dunia berada di tengah-tengah lingkungan jagad fisik maupun jagad
metafisik.
Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan
keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan
Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama
menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana
dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan
mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua
pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus
dijaga.
Ada nilai luhur dan agung dalam aneka bentuk ritual yang
dibuat selama bulan Sura. Tahun baru Jawa mengajak kita bermenung
tentang peran manusia mengemban titah Sang Hyang Murbeng Jagad untuk
menjaga keseimbangan alam. Tatanan alam perlu dijaga demi
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Asal Mula Tahun Baru 1 Suro
Tahun
Jawa memiliki kesamaan dengan Tahun Hijriyah terutama mengawali tanggal
dan bulannya. Perbedaannya terletak pada istilah penyebutan nama bulan.
Tahun Hijriyah menyebut bulan Muharram atau Asyuro, sementara Tahun
Jawa menyebut bulan Suro.
Kesamaan keduanya ternyata dapat
ditelusuri dari sejarah kerajaan Mataram Islam di bawah kekuasaan
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Ketika itu di masyarakat
Jawa, tahun yang menjadi pegangan masyarakat pada zamannya adalah Tahun
Saka yang berdasarkan peredaran matahari. Sementara bagi umat Islam
sendiri menggunakan Tahun Hijriyah.
Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram Islam.
Maka
untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari
leluhurnya, dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan
Agung membuat kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa.
Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat
pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah.
Berarti
tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043
Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Nama-nama
bulan pada Tahun Jawa pun dibuat lain dan berbeda dengan nama-nama
Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuaikan dengan ucapan masyarakat Jawa.
Seperti bulan Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa), bulan
Shafar = Sapar, bulan Rabi'ul Awal = Maulud, bulan Rabi'ul Tsani =
Bakda Maulud, bulan Jumadil
Ula = Jumadil Awal, bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akir, bulan Rajab = Rejeb, bulan Sya'ban = Ruwah,
bulan Ramadhan = Pasa, bulan Syawwal = Sawal, bulan Dzulqa'dah = Dulkaidah, dan bulan Dzulhijjah = Besar.
Bulan Sepi Hajatan Pernikahan
Ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan
yang bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari.
Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, kita tidak tahu. Namun yang jelas, sampai sekarang pun mayoritas
masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anak di bulan Suro.
Ada
sebagian masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul,
penguasa laut selatan (Samodra Hindia). Konon, ceritanya, setiap bulan
Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan
anaknya.
Setiap masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini,
diyakini penganten atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan
atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai, gantung diri,
meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada
atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari
bulan Suro untuk menikahkan anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar