Dua kata dalam judul tulisan ini, yaitu khisab dan rukyah,
selalu muncul di tengah masyarakat pada setiap menjelang datangnya
bulan Ramadhan dan demikian juga pada menjelang datangnya hari raya. Khisab artinya adalah menghitung, sedangkan rukyah adalah melihat. Keduanya, baik yang dihitung dan yang dilihat adalah sama, yaitu posisi bulan.
Manakala dalam hitungan atau dalam hasil khisab
bulan sudah tampak, maka artinya bulan qomariyah sudah berganti,
sehingga harus puasa atau menghentikan puasa, karena sudah masuk hari
raya idul fitri. Begitu juga, orang-orang yang lebih percaya menggunakan
cara melihat atau merukyah untuk mengetahui, apakah bulan sudah kelihatan.
Dua
cara yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan bulan mestinya hasilnya
sama. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Hasil khisab tidak selalu
sama hasil rukyah. Itulah sebabnya, awal bulan puasa dan atau jatuhnya
hari raya tidak selalu sama. Anehnya, perbedaan itu terjadi di antara
dua organisasi besar, yaitu Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah biasanya
untuk menentukan posisi bulan menggunakan khisab, sedanghkan NU menggunakan rukyah.
Dengan menggunakan cara yang berbeda dalam melihat posisi bulan pada setiap tahun itu menjadikan kata tersebut -----khisab dabn rukyah
sedemikian populer. Selain itu, menunjukkan bahwa para tokoh umat Islam
sedemikian hati-hati dalam menjalankan sesuatu terkait dengan kegiatan
ritual. Kehati-hatian itu juga menunjukkan adanya keyakinan bahwa, apa
saja yang terkait dengan kegiatan ritual harus persis, tepat, tidak
boleh kurang dan tidak boleh lebih, agar kegiatan itu diterima oleh
Allah swt.
Sedemikian
penting kegiatan ritual harus dilakukan secara persis, hingga kadang
harus mengorbankan sesuatu yang lain yang juga tidak kurang pentingnya,
yaitu persatuan. Sebab dengan perbedaan itu, kadang tidak saja
masyarakat bawah menjadi repot, atau juga bingung, lebih dari itu juga
konflik, baik tersembunyi maupun terang-terangan. Umat Islam menjadi
tidak bersatu. Tuhannya satu, nabinya satu, al Quránnya satu, kiblatnya
satu, hanya saja penentuan awal bulan puasa atau hari raya,
------karena hasil khisab dan rukyah berbeda, terpaksa tidak sama.
Saya
tentu ikut menghargai kehati-hatian para pemimpin organisasi Islam itu.
Akan tetapi, saya selalu membayangkan, umpama dengan niat untuk
menyatukan umat, lalu para tokoh bersepakat tentang metode penentuan
awal bulan, maka akan selalu menghasilkan keputusan yang sama. Sudah
lama saya berusaha memahami bagaimana cara nabi dahulu menentukan awal
bulan puasa dan juga datangnya hari raya. Ternyata dari keterangan yang
saya dapatkan, cara yang ditempuh nabi tidak terlalu rumit.
Di
zaman nabi tidak perlu ada sidang isbath segala. Jika ada seseorang
mengkhabarkan telah melihat bulan, dan orang tersebut dipercaya, maka
informasi itu dijadikan dasar penentuan awal bulan. Rupanya hal itu agak
berbeda dengan sekarang. Masing-masing anggota organisasi hanya percaya
terhadap pimpinan organisasinya. Seolah-olah orang hanya akan percaya
dengan pimpinannya sendiri dan begitu pula sebaliknya. Saling tidak
percaya ini, akibatnya persatuan yang sebenarnya wajib dilakukan,
terpaksa menjadi terabaikan. Persatuan umat seakan-akan menjadi tidak
penting.
Perbedaan
itu kemudian dicarikan pembenarnya, dengan mengatakan bahwa di balik
perbedaan itu terdapat rakhmat. Padahal dalam tataran empirik, perbedaan
dalam soal ritual akan sulit ditemukan rakhmat itu. Biasanya perbedaan
dalam ritual, justru akan melahirkan musibah. Kita lihat saja selama ini
akibat perbedaan itu, justru terjadi saling menyindir, mengolok, dan
bahkan juga konflik. Perbedaan yang membawa rakhmat, biasanya adalah
pada hal-hal yang terkait dengan ilmu, yaitu temuan-temuan, hasil
pemikiran, atau kajian ilmiah. Buah pikiran dan hasil penelitian,
semakin diperdebatkan akan berkembang dan banyak orang yang mendapatkan
manfaat dari berbedaan itu. Inilah kiranya, perbedaan yang membawa
rakhmat.
Memperhatikan resiko perbedaan hasil khisab dan rukyat
yang sedemikian besar itu, maka saya selalu berusaha mencari hikmah
dari cara menentukan awal bulan yang berbeda itu. Melalui perenungan
yang lama dan mendalam, saya mendapatkan pandangan, yaitu umpama
semangat melakukan hisab dan juga rukyah itu diimplementasikan pada wilayah kehidupan yang luas, maka sesungguhnya hasilnya akan luar biasa besarnya. Umpama rukyah dan hisab
itu tidak saja dilakukan terhadap bulan, tetapi juga terhadap kegiatan
lainnya, seperti ekonomi, politik, kepemimpinan, manajamen,
pendidikan, dan sosial lainnya, maka akan lebih membawa manfaat yang
amat besar.
Misalnya,
seorang pemimpin selalu mengkhisab dan merukyah aspirasi bawahannya,
prestasi kerjanya, kesejahteraannya, hak-haknya, ketersediaan
fasilitasnya, hambatan, dan juga kesulitan-kesulitannya dalam menunaikan
tugas dan kewajibannya, maka lembaga yang dipimpin akan semakin maju.
Apalagi hasil khisab dan rukyah itu selalu ditindak-lanjuti. Demikian
pula seorang pekerja, selalu mengkhisab dan merukyah
sendiri cara kerjanya, apakah sudah ditunaikan secara maksimal, dan
kemudian hasilnya dijadidakan dasar perbaikan selanjutnya, maka
manfaatnya akan luar biasa besarnya.
Demikian pula, kaum muslimin, mestinya juga selalu mengkhisab dan merukyah,
berapa penghasilannya setiap tahun yang harus dikeluarkan zakat, infaq
dan shadaqahnya. Selain itu, --------masih terkait dengan rizki,
bagaimana kewajibannya teradap anak yatim, orang miskin, terlantar dan
sebaginya, apakah sudah ditunaikan sebaik-baiknya. Jika semua kaum
muslimin yang berasal dari semua organisasi, juga selalu mengkhisab dan atau me-rukyah-nya, sebagaimana mereka mengkhisab dan merukyah bulan pada setiap tahunnya, maka kegiatan itu akan luar biasa besar dampak sosialnya.
Selain
itu hal yang tidak kurang pentingnya, misalnya para pejabat dalam
menggunakan uang negara, juga perlu mengkhisab dan merukyah, apakah
keputusan yang diambil tidak termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme, dan
seterusnya. Pejabat yang rajin mengkhisab dan merukyah kebijakan yang
diambil, dan selalu menyesuaikan dengan nilai-nilai agama yang
dipercayainya, maka tidak akan melakukan penyimpangan. Sebab seorang
pejabat tatkala mengambil keputusan, ia akan merasa bahwa apa yang
dilakukan, adalah merupakan bagian dari ibadahnya, tidak ada bedanya
dengan kegiatan ritual, seperti puasa atau hari raya. Jika keputusannya
itu salah, padahal itu disengaja, maka akan mendatangkan dosa
baginya.
Oleh karena itu, khisab dan rukyah
adalah penting. Hanya saja, ke depan dalam pelaksanaannya, kiranya
perlu kearifan dari para pemimpin, agar umat tidak terpecah-belah karena
persoalan ritual ini. Perbedaan pelaksanaan ritual ternyata sudah
muncul sejak zaman Nabi. Namun dalam banyak kasus, jika terjadi
perbedaan pelaksanaan ritual di kalangan sahabat, lalu dikonsultasikan
kepada Nabi, maka Rasulullah tidak jarang membenarkan semuanya. Selain
itu, sebenarnya banyak hal lain yang seharusnya justru selalu dikhisab dan dirukyah sebagaimana contoh-contoh di muka. Artinya wilayah yang dikhisab dan atau dirukyah
semestinya diperluas, ---------tidak saja bulan yang ukurannya besar
sekali itu, tetapi juga kegiatan lain yang sifatnya mendesak dan justru
lebih bermanfaat bagi kehidupan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar