Senin, 12 November 2018

Umat Islam Akhir Zaman: Antara kekufuran Barat Dan Kesyirikan Adat

Ketika Rasulullah saw diutus pertama kalinya di Kota Mekah, maka ragam manusia yang beliau hadapi bukanlah sekelompok manusia yang sunyi dari tradisi, budaya, dan adat istiadat. Kaum yang dihadapi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. adalah kaum yang sebelumnya telah mengenal berbagai budaya, memiliki keyakinaan dan kepercayaan, juga secara geografis diapit oleh sekian banyak peradaban dunia luar lainnya. Walau kita menyebut penduduk Mekah adalah masyarakat jahiliyah, namun kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan luas, mengingat mereka juga merupakan bangsa yang juga sangat aktif berinteraksi dengan dunia luar, khususnya dalam dunia perdagangan.

Namun secara umum, umat manusia di muka bumi berada dalam kondisi puncak keterpurukan. Manusia berada dalam kubangan lumpur kenistaan yang hampir-hampir merata dalam semua aspek kehidupan mereka.

Dari aspek keagamaan, umat manusia terjatuh dalam belenggu kesyirikan, kekafiran, bid’ah dan kesesatan yang sangat parah. Mayoritas umat manusia pada saat itu menyembah matahari, bulan, bintang, planet, patung, ataupun raja dan tokoh masyarakat. Keyakinan mereka dibangun diatas landasan dongeng-dongeng, legenda-legenda, mitos-mitos dan khayalan-khayalan tak berlandaskan dalil.

Dari aspek politik dan pemerintahan, umat manusia terjerembab dalam rawa-rawa perbudakan. Kekuatan-kekuatan super power dunia yaitu imperium Romawi dan imperium Persia berlomba dalam memerangi, menaklukkan, dan menjajah bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua super power dunia tersebut membelenggu kemerdekaan bangsa-bangsa lain, memperlakukan mereka sebagai budak jajahan, dan menghisab sebagian besar potensi mereka demi membangun kejayaan imperium mereka.

Dari aspek sosial, umat manusia hidup dalam kasta-kasta sosial yang sangat zalim. Kalangan tokoh agama dan bangsawan menjadi warga negara kelas satu dan kasta tertinggi. Mereka memiliki wewenang seluas-luasnya untuk menghina dan merendahkan kasta terendah yaitu kelompok petani dan buruh. Golongan tokoh agama, bangsawan dan ksatria menikmati pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan penghidupan yang mewah. Namun akses pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak tak pernah bisa dinikmati oleh golongan rakyat jelata.

Dari aspek moral, kebobrokan akhlak melanda semua bangsa. Pelacuran, perzinaan, minuman keras, perjudian dan mengundi nasib dianggap sebagai perbuatan yang biasa dan legal. Perampokan dan pencurian menjadi mata pencaharian hidup. Pembunuhan secara semena-mena karena masalah-masalah sepele kerap kali terjadi. Peperangan antar suku dan kelompok karena fanatisme buta dibangga-banggakan.

Itulah kondisi umat manusia di muka bumi pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diutus. Bangsa Arab secara umum dan penduduk negeri Hijaz secara khusus, berkubang dalam kesesatan akidah, politik, ekonomi, sosial dan moral yang sangat parah. Mereka benar-benar dalam keadaan jahiliyah. Mereka hidup dalam naungan kemurkaan Allah Ta’ala, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih,

وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

Sesungguhnya Allah telah melihat kepada penduduk bumi, maka Allah memurkai mereka, bangsa Arab maupun bangsa Ajam (non-Arab), kecuali sisa-sisa Ahlul Kitab (yang masih memegang teguh ajaran dakwah para nabi dan rasul)…” (HR. Muslim no. 2865)

Allah Ta’ala mengutus Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul. Allah Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Beliau memulai tugasnya untuk menuntun umat manusia kepada jalan kebahagian, dengan mendakwahi dan memperbaiki kebobrokan total bangsa Arab, negeri tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Allah Ta’ala membekali beliau dengan wahyu Al-Qur’an, yang turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Dalam rentang waktu yang amat singkat itu Al-Qur’an sukses merubah bangsa Arab, dari bangsa paling terbelakang di dunia, menjadi bangsa bertauhid, bangsa yang paling religius, adil, aman, tertib, makmur, dan maju di dunia.

Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa umat ini akan kembali terperosok pada lumpur jahiliyah sebagaimana umat lainnya. Beliau mengingatkan:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

Kiamat ini tidak akan terjadi sampai umatku kelak meniru bangsa-bangsa sebelumnya seperti sama persisnya jengkal dengan jengkal dan hasta dengan hasta. ” Maka, ada yang bertanya : “Wahai Rasulullah, seperti bangsa Persia dan Romawi?” Beliau bersabda : “Siapakah manusia itu selain mereka?[1] Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id : “Kami bertanya kepada Rasulullah : “Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab : “Siapa (jika bukan mereka) ?[2]

Untuk mengurai hadits di atas memang membutuhkan banyak lembaran kertas. Namun menyimpulkan bahwa hari ini kita hidup pada era jahiliyah modern, adalah sesuatu yang mudah untuk dibuktikan. Ya, nubuwat di atas bisa disimpulkan telah mewujud nyata pada kehidupan kaum muslimin hari ini, baik yang di timur maupun yang di barat. Dalam hal tradisi, budaya dan praktik beragama, umat Islam banyak meniru ritual kaum Yahudi dan Nashrani. Sedang dalam hal tata negara, politik dan pemerintahan, umat Islam banyak berkiblat kepada Persia dan Romawi.

Uraian di atas seperti yang disimpulkan oleh Dr. Al-Mubayyadh, “Dapat disimpulkan bahwa yang ditiru oleh umat Islam akhir zaman adalah cara pemerintahan atau sistem politik Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) dalam menjalankan pemerintahan negara. Sedangkan dalam berinteraksi dengan ajaran agamanya, umat Islam akan meniru cara interaksi orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik dalam masalah ajaran pokok atau masalah percabangan dari ajaran pokok tersebut”.

Ya, secara umum hari ini kaum muslimin terjepit di antara kekufuran barat dan kesyirikan adat. Wallahu a’lam bish shawab

[1] HR. Bukhari (7319) Al-I’tisham bil-Kitab was-Sunnah.

[2] HR. Bukhari (3456) Muslim (2669)

(samirmusa/arrahmah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar