Jumat, 21 April 2017

Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Polisi

Begini, penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkap No 1/2009).
Pasal 5 ayat (1) Perkap No 1/2009 ini menyebutkan enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yang terdiri dari :

TAHAP 1 : kekuatan yang memiliki dampak pencegahan

Mudahnya begini. Saat polisi berdiri menggunakan seragam, dia sudah menggunakan kekuatan tahap 1. Percaya tidak? Bayangkan misalnya ada polisi di perempatan jalan, pasti mencegah niat orang untuk melanggar/menjabret, bukan?

TAHAP 2 : perintah lisan

Oke. Lanjut. Kalau misalnya keberadaan polisi saja tidak membuat pelaku takut, maka polisi akan berteriak, “BERHENTI!!!” Saat polisi mengeluarkan suara, maka itulah kekuatan Polri tahap ke-2.

TAHAP 3 : kendali tangan kosong lunak

Misalnya orang tersebut tidak mau berhenti, dan terus mendekati petugas, petugas akan mencoba menahan dengan tangan. Saat tangan petugas bersentuhan dengan tubuh tersangka, itu adalah tahap ke-3.

TAHAP 4 : kendali tangan kosong keras

Tersangka ini tetap melawan, membuat petugas menggunakan gerakan bela diri untuk menghentikan tersangka. Ini adalah tahap ke-4.

TAHAP 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri

Jika sudah dibanting, ongos atau diapakan sj dgn tangan kosong keras, dan sebagainya tetap saja melawan, maka petugas dapat menggunakan senjata tumpul atau senjata kimia. Misalnya tongkat T, double stick, tongkat rotan, tameng dalmas, atau gas air mata. Ini adalah tahap ke-5.

TAHAP 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat

Nah, tahap terakhir barulah  seorang petugas menggunakan senjata api.

Pengertian “TAHAP” di sini bukan berarti sesuatu yang harus berurutan. Sebab Pasal 5 ayat (2) Perkap No 1/2009 berbunyi:

“Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka...”

Kata kuncinya adalah MEMILIH.  Jadi misalnya seperti  saat saya turun bersama pasukan mendatangi TKP perang antar kampung, dimana masyarakat lengkap membawa parang, panah, busur, meriam tradisional, (senjata api tradisional dengan menggunakan prinsip meriam, diawali dengan bubuk mesiu, dan diisi dengan pecahan beling, sekrup, dsb. Korban meriam dumdum ini sering mengenai petugas dan masyarakat yang menyebabkan luka, kebutaan, hingga kematian), maka perintah pimpinan harus jelas kepada anggota, “Bidik dan langsung tembak TSK yang membawa peralatan yang membahayakan petugas maupun masyarakat sekitar!!!”

jadi langsung MEMILIH tahap 6, sebab jika kita gunakan tahap yang lain, anggota polri dan masyarakat sekitar akan terancam nyawanya dengan senjata-senjata warga dari desa seberang.

Jadi kira2 bgt rekan2... Misalnya ada geng motor yang membawa parang atau senjata api, maka polisi melogikakan, parang ditambah kecepatan motor dapat membunuh warga/petugas, maka penggunaan senjata api/tahap 6 bisa langsung digunakan

Namun, sejak berkembangnya isu tentang HAM di Indonesia, hingga orang yang tidak mengerti pun latah serta gagal paham bicara tentang HAM, maka tindakan-tindakan kepolisian ini sangat empuk untuk dijadikan sasaran para politisi.

Polisi sudah bertindak benar, disalahkan secara politis untuk menarik hati massa,bahkan Kapolri disuruh minta maaf dengan alasan melanggar HAM.
Masyarakat yang tidak tahu menahu juga ikut-ikutan menyalahkan polisi. Hal ini yang membuat tidak sedikit petugas ragu-ragu dalam menggunakan tahap-tahap kekuatan yang dimilikinya saat berada di lapangan.

Dan tidak jarang di media, adakah pihak yang pernah membela Polri? Bahkan saat Densus 88 berhasil menembak teroris, dipuji oleh dunia, tetap saja ada pihak baik politisi maupun LSM yang menyalahkan dan ingin menjatuhkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar