Kamis, 27 April 2017

Meng-Islam-kan orang Islam

Kembali Merefleksikan keislaman dan keimanan kita sebagai upaya memperbaharui diri

Pernah mendengar umat islam yang perilakunya tidak islam? Atau melihat suatu tindakan yang bukan islam tetapi mengatas nama-kan islam. Atau joke tentang orang islam di Indonesia, “yang ditangkep (maling) orang islam, yang nangkep (polisi) orang islam, yang memenjarain orang islam.., koruptor orang islam, KPK-nya orang islam, jaksanya orang islam, hakimnya orang islam, pengacaranya orang islam.., kalo jum’atan yang hilang sendalnya orang islam, yang minta-minta (pengemis) orang islam, yang ngasih (orang kaya) orang islam..,” Komplit dech pokoknya macem-macemnya orang islam.

Tulisan ini terinspirasi dari suatu kejadian interaksi saya dengan seorang kawan yang berasal dari daerah (Sumatera). Dia itu kalo bercanda (menurut saya) sama istrinya kelewatan, ya salah satunya adalah mengungkapkan kata “kalau begini terus, ku cerai-kan kau” ungkapnya dengan nada bercanda, karena mengomentari sikap istrinya yang mungkin kurang menyenangkan. Dalam sudut pandang islam, kata-kata tersebut sudah dapat masuk talak I. Saya juga sudah lupa, berapa kali dia sering mengatakan kata-kata itu kepada istrinya.

Oke dech fokus ke pembahasan tentang meng-islamkan orang islam dan mengimankan orang beriman.

Memang sejarah islam memang tidak lepas dari dakwah islam tempo dulu yang melakukan pendekatan budaya yang sudah ada. Terjadi akulturasi budaya yang masif antar ajaran islam dan ajaran sebelumnya. Maka jangan aneh ya, kalo ada pagelaran budaya do’a-do’anya dengan bahasa arab tetapi sesajen-nya juga ada. Dan jangan heran pula, ada dzikir akbar dan dzikir bersama yang memang dalam tradisi islam jaman Rasulullah tidak ada., itu adalah serapan dari berbagai macam budaya. Termasuk sisa-sisanya adalah tujuh-bulanan, seratus hari., 1000 hari dan lainnya.

Kita tidak bisa menafikan itu memang lahir dari sebuah budaya asli Indonesia. Ulama zaman dahulu memahami keunggulan substansi budaya itu, yang pada hakikatnya mengesakan Allah, penghormatan dan bentuk suatu adab hamba terhadap tuhannya. Dakwah ulama-pun belum tuntas, ada yang perlu diluruskan dengan tradisi-tradisi tersebut. Perjuangan ulama zaman dahulu perlu diteruskan. Memang tujuan utama ulama zaman dahulu dakwah di Indonesia adalah tauhid (dahulu), sisanya menyusul.

Adanya sejarah tersebut, menyisakan umat islam (di Indonesia) yang lahir dengan campuran budaya. Tauhidnya tauhid, Islamnya ngakunya islam, tapi perilaku dan syariat terkadang ada penyimpangan. Namun itu proses, masyarakat harus terus dibimbing.

Contohnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bercandaan tentang “cerai” yang saya kasih pada awal artikel ini merupakan kejadian yang banyak terjadi di masyarakat kita. Banyak yang tidak mengetahui, bahwa kata-kata tersebut sudah masuk talak. Dengan banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui itu, maka banyak pernikahan masyarakat kita yang tidak sah secara syari’i tetapi mereka tidak mengetahuinya (ya karena sudah menalak istrinya berkali-kali ^_^).
Banyak contoh lainya (anda bisa kasih contoh lainya di komentar) yang terjadi di masyarakat kita tentang syariat islam. Hal kecil lain adalah masalah kesucian pakaian yang terjadi di lingkungan masyarakat kumuh dan nyuci di kali (sungai) yang kotor. Tentang cara berpakaian (kerudung) bagi perempuan, berwudhu, shalat, jual-beli dll. Kembali lagi ini bicara tentang islam antara ajaran dan budaya.

Memang itu realitas yang ada dalam masyarakat islam.Kita tidak bisa menyalahkan mereka sebagai pemeluk islam, yang sesungguhnya memang sudah sesuai fitrahnya ingin baik. Namun perlu bimbingan. Apalagi saat sekarang, sudah mata pelajaran agama hanya dua jam di sekolah (atau di kampus 2 SKS), untung kalo ikut madrasah, ajaran di TV (sinetron islam) cuma kulit-kulitnya saja, apalagi propaganda media lebih banyak jeleknya tentang islam. Lengkap sudah umat islam Indonesia dalam kebimbangan bimbingan agama.
Itu baru berbicara tentang penerapan syariat dalam hidup kita., ada lagi yang lebih mendalam yaitu tentang keimanan. Sejauh apa keimanan diri kita kepada Allah. Terkadang kita masih khawatir dengan rezeki dan masa depan kita. Terkadang kita lebih takut dengan atasan daripada takut dengan Allah dan terkadang kita lebih mengutamakan klien daripada Allah. Untuk mengetahui tingkatan iman kita, lihat yuk tingkatan iman.

Tingkat keimanan kita merupakan kualitas keislaman kita. Tingkatan yang mana kualitas keimanan anda?

1.  Imanun taklid, kita beriman kepada Allah tetapi hanya ikut-ikutan (yang banyak dilakukan oleh orang Indonesia). Iman karena memang orang tuanya beriman, iman katanya. Udah gitu, orang beriman ini tidak mencari bukti-buktibaik secara akal maupun empiris tentang keimanan itu. Iman ini sah, tetapi biasanya dilakukan dibarengi dengan perbuatan dosa. Istilah kerenya, STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan). Makanya jangan heran ada orang islam yang korupsi.

2.Imanun Ilmi’, kita berimana dan percaya kepada Allah sekaligus mencar-cari bukti tentang Allah itu. Inilah imannya para intelektual dan akademisi (biasanya). Makanya, Albert Einsten sangat mempercayai keberadaan tuhan/Allah karena merasa takjub dengan pengetahuan yang diciptakan oleh Allah. Begitu juga dengan ilmuan lainya.

3.Imanun ‘Iyanun, Kita menyakini Allah dan kita merasa diawasi oleh Allah. Maka orang yang sudah dalam taraf keimanan ini dia selalu menjaga sikap dan perbuatanya. Karena merasa Allah selalu mengawasi dirinya.

4.Imanun Haq, wah ini tingkat keimanan seseorang yang luar biasa yaitu keimanan yang sudah “apa yang dilihat dan dirasa adalah Allah”. Ketika melihat sesuatu, yang tersirat dan yang terbayang adalah Allah. Dia melihat Allah dengan hatinya. Bahkan melihat keburukan-pun, ia melihat bahawa Allah ingin menimpakan kabaikan. Subhanallah.

5.Iamnun Kaqiqotun, Ini level tertinggi keimanan seseorang. Ini sulit didefinisikan dan bentuk perilakuknya seperti apa. Yang jelas, ketika sudah dalam tahap iniseseorang sudah melebur dan mabuk saking cinta-Nya kepada Allah. Bahkan yang ekstrim, merasa dirinya tidak ada yang ada hanya Allah. No comment dech!

So apa yang bisa kita lakukan. Ya lakukanlah yang bisa dilakukan. Minimal belajar meng-islam kan diri kita secara kaffah setahap demi setahap. Ya refleksilah diri kita, sejauh mana pemahaman kita tentang agama yang kita anut ini, sekaligus memahami agama bukan hanya sebagai kumpulan dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang mengikat. Tetapi juga sebagai agama yang mententramkan dan membahagiakan. Ya refleksilah, tingkatan mana keimanan kita ?!
Kita terkadang ribut mempertanyakan ke-islaman orang lain bahkan men-justice kafir, bid’ah dan tidak sesuai islam. Lihatlah bagaimana Rasulullah membimbing umat islam dalam memahami islam secara menyeluruh, rahmatan lil ‘alamin.

Ups, sedikit melenceng. Kembali ke pembahasan.
Mendekati bulan ramadhan, tentunya bisa menjadi refleksi diri kita bagaimana selama ini kita menjalankan islam. Bukan hanya sebagai dogma tetapi penghayatan. Sejauh mana kita memahami agama kita ini dan bagaimana kita menerapkan ajaran-ajaran islam dalam diri kita, Apalgi di moment Ramadhan, banyak kajian-kajian tentang agama islam, dan awas!!! Jangan terjebak dalam “ajaran konyol pelawak ramadhan” yang bakal ramai di Ramadhan nanti. Selamat menunaikan ibadah puasa ya, semoga kita mendapatkan kekuatan optimal dalam menghadapi Ramadhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar