"Nasihat itu amat mudah yang sulit adalah sikap mau mendengarnya. Sebab sikap mau mendengarkan itu terasa pahit. Hal-hal yang dilarang terasa sudah melekat kuat dalam diri sehingga berat untuk ditanggalkan. Perasaan macam itu banyak dialami oleh para penuntut ilmu formalistik namun tidak mengetahui makna keutamaan ilmu fikih, ilmu jiwa dan sejarah dunia; ia beranggapan bahwa ilmu itu dengan sendirinya telah menjadi sarana (al-wasilah) menuju keselamatan diri tanpa perlu disertai dengan amal. Anggapan demikian adalah seperti yang dianut para filosof" (Ayyuhal Walad, Abu Hamid Al-Ghazali)
Orang tua kita dulu sering marah-marah jika mendapati putra-putrinya bengal. Tidak mau mendengar perkataan orang tua dan terus saja keluyuran dan malas belajar.
Guru-guru kita di sekolah dasar seringkali naik pitam saat mendapati murid-muridnya terus saja bermain sementara ia sibuk menerangkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Guru-guru SMA kita pun tak jauh berbeda. Tak bosan-bosannya menasehati agar kita disiplin mematuhi jam sekolah. Tidak boleh bolos dan menyontek.
Nyaris tak berbeda dengan para dosen yang hobi memberikan petuah dan wejangan. Walaupun tidak segarang guru SD dan SMA. Barangkali karena mahasiswa sudah bukan anak-anak lagi. Mahasiswa paling tidak sudah mengenal apa itu kedewasaan. Dosen kita jarang sekali mendamprat saat mendapati mahasiswa mengantuk dikelas akibat lebih sibuk naik gunung, berorganisasi dan begadang sambil ngupi di kafe-kafe.
Begitulah, hubungan guru dan murid jauh dari kesan formal. Lebih terkesan seperti hubungan keluarga. Dalam interaksi semacam ini kita barangkali tak akan pernah ingat lagi betapa seringnya guru-guru memberikan nasihat. Tujuan mereka barangkali hanya satu. Murid dan siswa-siswi bisa pandai dan tidak kesulitan melanjutkan studi kejenjang perguruan tinggi. Para mahasiswa pun selalu didorong agar memiliki mental kukuh dan tidak gagap menatap hari esok. Sudah tidak jaman sarjana menunggu belas kasihan untuk merancang masa depannya.
Memang sangat mengharukan membayangkan sekolah-sekolah kita itu sampai saat ini tetap berdiri. Tetap menjadi penasihat. Pemberi wejangan. Penyampai petuah. Sekolah itu nampak manis dan elok. Namun sayang, sekolah saat ini tak lagi bertuah. Badai menghantam hingga ia nampak tak berwajah. Tiba-tiba manusia-manusia dewasa limbung. Manusia-manusia dewasa seperti terlempar ke dalam meja judi kehidupan.
Manusia sekarang dikontrol rasionya Descartes. Manusia kini dikontrol oleh bahasa dan budayanya Foucault. Manusia saat ini memandang realitas bukan lagi yang homogen, yang bersatu, dan monolitik. Komunitas, institusi, kebudayaan dan pergaulan antar sesama manusia mempunyai 'languange games'-nya sendiri. Manusia dewasa tidak dapat lagi mengklaim bahwa satu permainan tertentu sama dengan atau menjadi model untuk permainan-permainan lainnya. Semuanya berbeda semua tak sama.
Manusia dewasa, para alumni sekolah-sekolah itu barangkali akan bertanya-tanya dimanakah moral Pancasila saat ini gerangan? Dimanakah narasi perjuangan bangsa yang heroik itu. Bukankah ini sebuah pertanyaan yang sangat menyedihkan dan telah menjelma menjadi 'de javu'
Benar-benar wajah dunia yang dipenuhi situasi serba paradoksal kata Naisbitt. Bukankah kekuatan buta Mc World, meminjam istilah M. Arkoun, saat ini terus berusaha menggulung semua languange game dari semua realitas yang tidak homogen itu? Semua harus diseragamkan, semua harus tunduk kepada kehendak butanya Schopenhauer, kepada manusia unggulnya Nietzsche. Manusia-manusia dewasa saat ini merayakan kematian tuhan!
Akhirnya nasehat-nasehat itu justru saat ini banyak diberikan oleh penjara, oleh sel tahanan. Nasihat kini menjamur dalam kamar-kamar hotel prodeo. Nasihat ada dalam tuntutan jaksa. Dalam pembelaan pengacara. Dalam tulisan para kuli tinta. Dalam teriakan nyaring LSM. Dalam hiruk pikuk para demontrans. Kemudian menyerah dalam ketukan palu hakim yang mulia. Nasihat benar-benar pahit kata Al-Ghazali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar