Minggu, 16 September 2018

Salah Paham dan Paham yang Salah Soal Khilafah

Oleh: Syaikhul Islam Ali


Apa yang dimaksud dengan khilafah menjadi soal penting yang harus dijelaskan, karena propaganda massif untuk menyalahgunakan istilah tersebut kelihatannya semakin hari semakin membabi buta.

Kita akan mulai dengan segi bahasa. Secara bahasa khilafah adalah kata infinitif atau dalam tata bahasa Arab masdar dari kata khalafa-yahlifu artinya adalah mengganti. Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama yang diberi gelar Kholifatu Rosulillah artinya pengganti Rasulullah. Kemudian Umar bin Khattab bergelar Kholifatu Kholifati Rosulillah artinya pengganti dari pengganti Rasulullah.

Penggunaan gelar khalifah ini kemudian tidak berhenti pada Khulafaur Rasyidin saja tapi berlanjut pada pemerintahan yang dipimpin muslim pada masa-masa berikut: Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyyah, Ayyubiyyah, Buwaihiyyah, Muwahhidin hingga Utsmaniyah. Jadi semua pemimpin muslim lintas pemerintahan dan generasi menggunakan gelar khalifah untuk memperkuat legitimasinya. 

Pemahaman kita tentang khilafah ini akan semakin baik kalau kita kembali membuka sejarah. Pasca wafatnya Rasulullah, ada satu peristiwa sejarah penting namanya Saqifah Bani Saidah. Sebuah pertemuan tokoh-tokoh elit, para pemimpin kabilah membicarakan siapa pemimpin yang menggantikan Rasulullah. Tokoh-tokoh Qurays, Aus, Khazraj berdebat panjang, masing-masing kabilah merasa memiliki peran berjuang bersama Rasulullah dan berhak memimpin.

Abu Bakar menawarkan Umar bin Khattab atau Zubair sebagai representasi Qurays tapi kemudian banyak yang tidak setuju dan gaduh. Pemimpin Kabilah Khazraj Sa'ad bin Ubadah adalah orang yang paling kukuh menolak dominasi Qurays, ia menganggap Khazraj atau Aus juga berhak memimpin. Tapi sikap Saad tidak banyak pendukung, bahkan tawarannya agar Khazraj atau Aus menjadi perdana menteri (wazir) bagi Qurays pun ditolak. Akhirnya terpilihlah Abu Bakar as-Shiddiq dan mayoritas hadirin menerima dan berbaiat kecuali Sa'ad.

Sebelum Abu Bakar wafat, ia melihat potensi kegaduhan Saqifah terulang, sehingga ia ber-ijtihad menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifahnya. Berbeda dengan Abu Bakar, sebelum wafat Umar memilih enam orang menjadi nominasi khalifah yang bisa memilih dan dipilih (ahlul halli wal aqdi) hingga terpilihlah Utsman bin Affan. Dan yang terakhir Ali bin Abi Thalib dipilih oleh khalayak ramai saat kondisi politik tidak stabil pasca Utsman wafat dibunuh.

Sejarah tersebut adalah fakta yang tak dapat dipungkiri. Bahwa kepemimpinan bagi umat Islam menjadi hal yang sangat penting tidak dapat dibantah. Hanya saja sebagai umat berakal kita tetap layak bertanya.

Pertanyaannya adalah kenapa di dalam al-Quran tidak dijelaskan soal khilafah ini?

Al-Quran memang universal, tapi kenapa pula Rasulullah tidak menjelaskan dalam hadistnya? Padahal biasanya hadist berbicara detail bahkan untuk hal-hal yang privat sekalipun. Kenapa hal yang sangat penting bisa terlewat? Kenapa para Sahabat Rasulullah yang paling tahu seluk beluk al-Quran dan hadist harus berdebat berhari-hari untuk memilih pengganti Rasulullah dan kejadian yang sama selalu berulang setiap pergantian khalifah, sehingga masing-masing terpilih dengan cara yang berbeda?

Jawabnya adalah karena al-Quran dan hadist memang tidak mengatur soal khilafah ini. 

Seandainya Islam adalah sistem pemerintahan atau sebut saja negara, tentu proses pemilihan pemimpinnya tidak serumit khulafaur rasyidin. Karena galibnya pemerintahan adalah sistem yang punya aturan main yang jelas. Misalnya kerajaan monarki absolut yang tidak punya konstitusi tapi suksesi kekuasaannya adalah turun-temurun. Misal yang lain monarki konstitusional atau republik yang sistemnya diatur oleh konstitusi.

Dalam Islam yang demikian itu tidak ada. Al-Quran adalah kitab suci yang sudah pasti lebih mulia dari sekedar konstitusi sebuah negara. Hadis adalah kumpulan perkataan, tidak-tanduk dan ketetapan Rasulullah yang bisa saja menjadi sumber inspirasi norma, tapi tidak bisa dianggap sebagai konstitusi sebuah pemerintahan.

Ahlussunnah sebagai kelompok Islam terbesar memandang persoalan khilafah ini masalah dalam lingkup pemikiran (ijtihadiyah) bukan syariat. Karenanya mereka menolak klaim kelompok Syiah yang menggunakan Hadits Ghadir Khum sebagai dalil bahwa khalifah yang sah sesudah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan teks (nash) hadist.

Ahlussunnah beranggapan ijtihad para Sahabat, baik dalam peristiwa Saqifah atau peristiwa dalam suksesi khalifah selanjutnya adalah yang absah dan tidak perlu dalil karena khilafah adalah masalah ijtihadiyah. Karenanya jika ada yang menganggap khilafah bagian dari syariat tentunya berada diluar kerangka Ahlussunnah.

Pemahaman keliru menganggap khilafah adalah syariat salah satunya diilhami dengan fakta sejarah bahwa para Sahabat memilih mendahulukan suksesi kepemimpinan di Saqifah Bani Saidah daripada merawat jenazah Rasulullah. Yang jarang disadari peristiwa Saqifah itu tidak lebih dari proses mencari atau mengangkat pemimpin. Seorang pemimpin untuk memimpin kaum muslimin mengantikan Rasulullah. Sebab apabila waktu itu tidak segera diangkat pengganti Rasulullah maka jazirah Arab akan kembali pada kesukuan sebagaimana masa sebelum Islam.

Persoalan mengangkat pemimpin agar tidak ada kekosongan pemerintahan (nashbul imam) ini adalah wajib hukumnya, karena tanpa pemerintahan masyarakat akan kacau. Saking pentingnya soal mengangkat pemimpin dalam banyak riwayat, Rasulullah memerintahkan untuk memilih pemimpin untuk sebuah rombongan perjalanan. Dalam riwayat lain yang tak kalah banyaknya, Rasulullah juga mewajibkan ketaatan pada pemimpin, walau ia seorang budak. Termasuk dalam hal ini adalah larangan memberontak pemerintahan yang sah (bughot).

Khazanah pengetahuan Islam kemudian mencatat bahwa  politik yang sesuai dengan syariat (siyasah syar'iyah) isinya dipenuhi dengan tetek-bengek terkait mengangkat pemimpin (nashbul imam) tersebut. Banyak karya ditulis baik yang dikarang secara khusus seperti as-Siyasah Syar'iyah karya Ibnu Taimiyah, Nasihatul Umam wal Muluk karya al-Ghazali dan Ahkamus Sulthoniyah karya al-Mawardi; maupun diselipkan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab. Inti bahasannya adalah mengangkat pemimpin hukumnya wajib, karena tidak ada kemaslahatan tanpa adanya pemimpin.

Dalam perjalanan lintas generasi selama berabad-abad, praktik umat Islam tentang nashbul imam ini linear tidak ada kontroversi sama sekali. Setelah khulafaur rasyidin datang, beraneka ragam dinasti, daulah, kerajaan, kesultanan berdiri dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara teoritik segudang literatur siyasah syar'iyah juga selalu menitikberatkan pada sosok sang pemimpin: kualifikasinya, syarat-syaratnya, nasehat untuk para pemimpin dan lain-lain. Tidak ada yang mengupas tuntas  sistem pemerintahan atau bentuk negara.

Era khulafaur rasyidin yang diidealkan dalam siyasah syar'iyah juga menekankan pada empat sosok khalifahnya sebagai pemimpin terbaik sesudah Rasulullah dan bukan pada bentuk atau pengelolaan pemerintahannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam Islam memang tidak ada sistem pemerintahan tertentu yang dianggap ideal.

Sebagai kesimpulan, kepemimpinan adalah hal yang sangat penting menurut agama Islam. Pemerintahan yang membawa umat pada kemaslahatan bersama adalah salah satu tujuan yang didambakan oleh agama. Tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam, karena dalam Islam tidak ada bentuk pemerintahan yang ideal, yang wajib adalah mengangkat pemimpin atau tergabung dalam sebuah pemerintahan. Dalil-dalil  yang selama ini disalahpahami sebagai dalil yang mewajibkan pendirian negara Islam sebenarnya adalah dalil untuk mengangkat pemimpin (nashbul imam) tersebut.

Sejarah membuktikan bahwa khilafah awalnya hanyalah istilah yang digunakan untuk pemerintahan khulafaur rasyidin sebagai pemimpin-pemimpin terbaik pengganti Rasulullah, yang kemudian diadopsi oleh penguasa-penguasa Muslim dari berbagai generasi semata-mata untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya.

Wallahua'lam

Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar