Selasa, 19 Juni 2018

Jenderal Polisi Hoegeng : Saya Polisi Bukan Politisi




“Saya polisi, bukan politisi,” demikian kata mendiang Jenderal Hoegeng Imam Santoso, Kapolri ke-5 yang dinobatkan sebagai polisi terjujur sedunia oleh MURI pada Maret 2015 lalu. Kata-kata ini rasanya relevan dan tepat untuk mengingatkan kembali sekaligus sebagai autokritik terhadap segenap korps kepolisian yang saat ini sering ikut “bermain” dalam politik praktis. Baik dalam bentuk mendukung partai politik tertentu dengan janji “imbalan” posisi penting kelak, atau menggunakan institusi sebagai alat berpolitik orang-orang tertentu di institusi.


Hoegeng ingin menegaskan bahwa polisi bukan politisi. Polisi tidak boleh berpolitik praktis, apalagi menggunakannya untuk tujuan politik, yakni mendapatkan kekuasaan atau menopang suatu kekuasaan politik di luar institusinya. Kerja dan tugas polisi adalah mengabdi pada masyarakat dan negara sebagai penegak hukum. Kedekatan seorang tokoh polisi dengan tokoh politik seyogianya tak menjadikannya sebagai jembatan untuk ikut berpolitik praktis. Penegakan hukum oleh polisi tak boleh pandang bulu. Jangan sampai karena ada “kedekatan” dengan politisi tertentu, hukum menjadi tumpul.

Apa yang menimpa Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK, yang dijadikan tersangka, kemudian ditangkap, lalu dibebaskan dan kasusnya akan diproses terus, menjadi salah satu indikator betapa polisi telah ikut bermain politik. Diduga, penangkapan Novel karena terkait dengan kasus yang tengah ditangani Novel terhadap salah satu kader partai politik. Polisi katanya punya banyak alasan untuk menangkap Novel yang ternyata alasan itu banyak sekali kejanggalan di dalamnya.

Sebelumnya, pelbagai masalah yang terjadi antara polisi dengan KPK diduga juga karena ada unsur politik. Seperti kita tahu, sebelum menjadi Wakapolri seperti saat ini, Budi Gunawan diajukan oleh PDI Perjuangan sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, KPK menetapkannya sebagai tersangka sebelum kemudian menang di sidang praperadilan, sehingga ia bebas dari status tersangka KPK. Selama proses itu, beberapa petinggi KPK balik ditersangkakan oleh polisi. Misalnya, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Kedua orang ini kemudian diberhentikan oleh Presiden Jokowi.

Lebih ke belakang lagi, sebelum pemilihan presiden berlangsung, salah satu petinggi partai kepergok mengadakan pertemuan dengan petinggi polisi yang disinyalir tengah membicarakan pilpres. Publik pun menduga-duga, ada kepentingan tertentu yang menurut mereka kemudian terbukti dengan diajukannya Budi Gunawan sebagai calon tunggal. Jika dugaan ini benar, betapa institusi polisi telah dijadikan sebagai alat atau kendaraan politik. Politisi dan polisi seperti “berselingkuh” di dunia politik praktis yang sama-sama menguntungkan. Ibaratnya, politisi perlu polisi untuk menjamin suatu kepentingan politik, dan polisi perlu politisi untuk menjamin kekuasaan akan tergenggam nantinya.

Naluri Jenderal Hoegeng benar-benar tajam. Ia sadar betul posisi institusi polisi yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, tidak terkecuali kepentingan politik praktis. Ketika institusi polisi masih di bawah Menteri Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri), polisi menjadi alat politik kekuasaan untuk menjamin status quo dan berlangsungnya kekuasaan tanpa perubahan apalagi goyangan dan ancaman. Di masa reformasi, institusi polisi ditarik keluar menjadi mandiri dan berada di bawah presiden langsung agar independen dari tarikan-tarikan politik praktis. Kenyataannya, harapan ke arah itu belum juga sepenuhnya terwujudkan sampai saat ini. Polisi, meskipun secara institusi sudah mandiri, dalam kenyataannya seringkali “bermain” politik praktis layaknya politisi.

Belakangan muncul wacana untuk mengembalikan polisi seperti di masa lalu, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ini seperti masalah pilkada diserahkan kepada DPRD (pilkada tidak langsung) seperti di era Orde Baru (Orba) yang sempat ramai beberapa waktu lalu sebelum kemudian dikembalikan lagi kepada pilkada langsung. Sebagian berpandangan mengambil jalan tengah dengan tetap menjadikan institusi polisi berada di bawah presiden, tetapi perlu ada kementerian khusus yang melakukan koordinasi dan pembinaan, seperti halnya TNI yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Untuk polisi, dalam hal ini bisa jadi adalah Kementerian Dalam Negeri.

Pandangan jalan tengah ini misalnya dikatakan oleh anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Menurutnya, kementerian yang ditunjuk antara lain bertugas untuk menyusun anggaran, prioritas kerja, dan standar profesi untuk polisi. Kementerian itu juga melakukan evaluasi terhadap polisi. Adapun tugas polisi adalah melaksanakan kebijakan teknis dan strategis yang diturunkan dari kebijakan politik yang ditetapkan kementerian tersebut. Mantan anggota Tim Sembilan yang dibentuk Presiden Joko Widodo terkait Polri-KPK, Bambang Widodo Umar, juga mendukung perlunya polisi di bawah koordinasi suatu kementerian. Ia menegaskan, polisi bukan lembaga politis.

Wacana jalan tengah ini tampaknya layak dipertimbangkan untuk meredam hasrat berpolitik praktis polisi. Dengan demikian, polisi tetap independen di bawah presiden langsung, namun berada dalam koordinasi kementerian tertentu, seperti halnya TNI. Pertanyaannya, siapkah institusi polisi melakukan reformasi internal seperti yang diharapkan, sehingga konsentrasi maksimal dan optimal pada upaya penegakan hukum yang adil tanpa motif-motif politik tertentu bisa benar-benar terwujud? Publik berharap, polisi benar-benar independen, menjauhkan diri dari pelbagai kepentingan politik praktis seperti ditegaskan Jenderal Hoegeng. Polisi, sekali lagi, adalah abdi masyarakat dan negara. Kepentingannya adalah menegakkan hukum, bukan bermain politik dengan mengatasnamakan penegakan hukum.


http://fajar-kurnianto.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar