Senin, 29 Mei 2017

Netralitas Polisi

Netralitas Polisi dalam Politik (BAMBANG WIDODO UMAR)

Dilema Polri dalam konstelasi politik adalah menjaga "netralitas" organisasi dan anggotanya selaku "alat negara" penegak hukum, pemelihara kamtibmas, dan pelayan masyarakat. Netralitas Polri akan ternodai manakala muncul elite polisi aktif terseret dalam kancah politik praktis dengan membangun relasi untuk mencapai kepentingan partai politik tertentu.
DIDIE SW
Kekhawatiran atas dugaan keterlibatan elite polisi aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kancah politik praktis adalah wajar. Masa Orde Lama, Orde Baru, juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengangkat Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai pemangku jabatan Kapolri mendapat tekanan dari Jenderal (Pol) Suryo Bimantoro yang kemudian dijadikan landasan oleh DPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa dan berakhir dengan melengserkan Presiden Gus Dur. Demikian pula dalam kasus VCD Banjarnegara, seorang Kapolwil berkampanye di hadapan para purnawirawan polisi agar dalam pemilu memilih calon presiden dari partai tertentu.
Tahun ini dalam pelaksanaan pilkada serentak, tentu diharapkan netralitas polisi terjaga. Hal ini mengingat dalam Pilpres 2014 ditengarai ada segelintir elite polisi aktif yang diduga membantu menyukseskan calon presiden dari partai tertentu. Memang tak mudah bagi elite polisi aktif melepaskan diri dari konstatasi politik yang bisa membius dirinya ikut serta dalam kancah politik praktis. Selain faktor pribadi, masalah regulasi dan kompetisi antarpartai politik dalam pilkada yang belum sehat juga cenderung menjadi pokok persoalan.
Kerawanan UU Kepolisian
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 Ayat (1) meskipun telah diatur secara jelas bahwa Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, dalam praktik adanya terhadap dugaan keterlibatan elite polisi yang melanggar pasal ini belum pernah dilakukan pengusutan secara tuntas dan diberikan sanksi yang sesuai.
Titik rawan netralitas polisi itu terletak pada fungsi kepolisian yang dinyatakan pada Pasal 2 UU No 2/2002 sebagai salah satu "fungsi pemerintahan" negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Perumusan fungsi kepolisian ini bisa membawa ke arah penggiringan organ kepolisian menjadi agent of political stabilisation pemerintah karena posisinya di lingkungan eksekutif sehingga netralitas dalam tugasnya terganggu. Di negara-negara demokrasi, fungsi kepolisian adalah "penegak hukum" dan "netralitas" dalam menjalankan tugas menjadi tumpuan utama.
Selain itu, ditetapkannya posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) dalam UU No 2/2002 tanpa "pengikat" (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai alat kepentingan politik presiden juga dapat mengganggu netralitasnya dalam menjalankan tugas. Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1) yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi jauh-jauh hari sudah mulai mendekati partai politik tertentu untuk memuluskan kariernya. Efek sampingnya adalah timbul semacam faksi-faksi atau patron-patron dalam pengembangan karier sehingga persaingan pun berlangsung tidak sehat (tidak mandiri).
Kekuasaan besar yang diamanahkan kepada Polri sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 tanpa disertai pengawasan yang kuat dan pemberian sanksi yang tegas atas pelanggarannya berpengaruh pula terhadap netralitas kepolisian.
Kekuasaan besar polisi itu bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi. Apakah polisi bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau kepada publik? Meskipun pada Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, pasal ini tak secara tegas mengatur pertanggungjawaban institusional (Makmur Keliat, 2005).
Netralitas polisi juga dipengaruhi sistem anggaran yang diatur dalam UU No 2/2002. Dalam undang-undang itu tidak dirumuskan secara jelas (dalam satu pasal) pendanaan APBN untuk tugas-tugas kepolisian. Demikian pula tidak ada satu pun pasal yang mengatur bagi setiap anggota kepolisian berhak untuk memperoleh penghasilan yang layak sesuai dengan beban tugasnya dan dibiayai dari anggaran yang bersumber dari APBN. Hanya Pasal 26 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak, sedangkan dari mana sumbernya tidak jelas (Sri Yunanto, 2005).
Ketidakjelasan aturan itu seolah memberi peluang bagi polisi mendapatkan sumber dana yang berasal dari masyarakat (terutama pengusaha) dengan alasan karena kekurangan biaya operasional yang sering disebut dengan istilah "parman" (partisipasi teman). Adanya peluang dalam undang-undang untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-sumber non-negara jelas merusak netralitas kepolisian. Dalam jangka panjang keamanan akan menjadi masalah yang sangat serius, yaitu warga yang memperoleh rasa aman adalah warga yang dapat membayar polisi.
Polisi bukan politisi
Kepolisian di negara demokrasi diidentifikasikan sebagai lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Dilema yang melekat pada fungsi ini adalah ciriarcanum aksi kepolisian, di mana ia bekerja pada ruang privat, tetapi menimbulkan efek pada ruang publik. Aksi kepolisian dalam mengelola kekuasaan yang diberikan sangat mungkin menghilangkan rasa aman seseorang atau sekelompok orang. Inilah yang menimbulkan kesan terhadap kepolisian sebagai "alat kekuasaan".
Antagonisme fungsi kepolisian (yudisial) dengan fungsi pemerintahan (executive) ada sejak kelahirannya. Dalam komunitas yudisial, polisi bekerja melalui orientasi moral dengan acuan kerja salah atau benar, sedangkan dalam komunitas eksekutif, pemerintah, bekerja melalui orientasi politik dengan acuan kalah menang. Kontradiksi ini melekat pada fungsi masing-masing, tetapi tidak berarti bahwa dalam praktik hal itu tidak bisa diatur. Untuk mengatasi hal itu bisa dilakukan dengan membangun relasi-relasi antarwarga dalam community policing, misalnya. Negara memiliki hak untuk mengintervensi individu demi stabilitas dan harmoni bagi seluruh warganya. Menurut pandangan ini, demi tercapainya rasa aman, masyarakat bersedia menukar hak asasinya melalui proteksi dari negara. Dengan catatan negara (cq pemerintah) bertindak adil dan menindak tegas aparatnya yang melanggar hak asasi manusia.
Kesulitan penerapan aksi kepolisian ini terkait bagaimana mendeteksi gangguan secepat mungkin pada ruang publik, sementara tindakannya terarah pada individu yang berarti ikut campur ke dalam ruang privat. Dalam rangka deteksi dini, kebutuhan informasi dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat pun ditembus lewat aksi di luar kontrol publik. Di sini ada nuansa tersembunyi, di mana aksi kepolisian melampaui batas-batas hak asasi manusia. Aksi ini jelas bertentangan dengan ketentuan penegakan hukum.
Seidman (1971) menjelaskan bahwa meskipun penegakan hukum dan ketertiban masyarakat bersifat normatif, kewenangan polisi untuk kepentingan itu bersifat politis. Dalam hal ini penegakan hukum dan ketertiban masyarakat mendapat prioritas menjadi hak kolektif seperti national self determination, sama halnya dengan hak asasi manusia yang bersifat universal karena mengacu pada hak-hak yang mewakili seluruh umat manusia. Untuk memilah tindakan polisi yang bersifat normatif dengan tindakan yang bersifat politis diperlukan lembaga kontrol yang independen dan kuat.
Di sinilah kontrol terhadap polisi itu dikembalikan kepada civil liberty, seperti hak milik privat. Setiap intervensi polisi terhadap warga masyarakat (sipil) dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat sebenarnya merupakan campur tangan ke wilayah privat. Karena itu, polisi harus menjadi "cermin" dari kepentingan masyarakat sipil (civil society), bukan kepentingan elite politik meskipun organ kepolisian ciptaan politik sebagai the condition of impossible dari aplikasi legislasi equality dan individual autonomy.
Titik rawan aturan-aturan di dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kaitan dengan netralitas polisi terletak pada perumusan yang bersifat vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan, kewenangan, dan pengawasannya. Dalam negara demokrasi, lembaga kepolisian tidaklah berdiri sendiri dalam membangun moral kolektif. Banyak lembaga lain (formal dan nonformal) terlibat di dalamnya.
Peran masyarakat sipil, seperti lembaga masyarakat adat, perlu didudukkan dalam undang-undang, apalagi pluralisme hukum merupakan suatu keniscayaan di alam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Selain itu, harus dihindari hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain yang tersusun secara terselubung dalam teks-teks untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan umum.
Perkembangan Polri setelah 69 tahun sejak kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan secara signifikan sebagai sosok polisi yang netral dalam menjalankan tugas, tampak belum sepenuhnya tercapai. Endapan citranya yang diidentifikasikan sebagai alat kekuasaan masih kental. Seiring hal itu reformasi Polri yang telah berjalan 15 tahun juga belum berpengaruh terhadap netralitas polisi. Pertanyaannya, mungkinkah membangun netralitas Polri tanpa kebijakan politik untuk melakukan perubahan secara mendasar?
 BAMBANG WIDODO UMAR
GURU BESAR SOSIOLOGI HUKUM FISIP UI; PENGAMAT KEPOLISIAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Netralitas Polisi dalam Politik".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar