Seringkali kita dihadapkan pada perselisihan tentang kebenaran suatu aliran dalam agama. Di satu sisi mengatakan bahwa alirannyalah yang terbenar sedang aliran lain atau agama lain itu tidak benar, sehingga banyak terjadi pertikaian bahkan berujung pada peperangan. Marilah kita resapi dialog di bawah ini.
Terjadi
dialog di dalam SARUNG antara Guru Sejati vs Santri-nya tentang hakekat
ketuhanan, dan doktrin sangkar keagamaan. Dialog ini dapat terjadi kapan saja,
di mana saja, pada setiap pribadi tanpa sadar maupun benar-benar disadari.
Dari
hasil dialog berikut, tidak akan mencari siapa pemenangnya, karena hal itu
tidaklah penting. Yang lebih utama adalah bagaimana kita belajar berdialog
dengan tema yang sangat sensitif dan krussial. Siapapun bila sering melakukan
dialog dengan diri sendiri (kontemplasi) paling tidak akan mendapat hasil
minimal berupa mental yang lebih matang dan emosi yang lebih stabil.
Maka
semakin sering kita melakukan kontemplasi terutama hal-hal yang sangat
kontradiktif akan membawa sikap mental kita lebih arif dan bijak dalam memahami
dan memandang kehidupan yang teramat kompleks ini.
Santri
:
agama
adalah jalan kebenaran.
Guru
Sejati :
menurutku
agama adalah jalan menggapai kebaikan, kearifan, dan kebijaksanaan dalam hidup.
Santri
:
berarti
kebenaran menjadi tidak penting ?
Guru
Sejati :
memang
apa pentingnya berbicara kebenaran, jika hasilnya membuat kerusakan di muka
bumi dan bencana kemanusiaan ? Jika kita bicara kebenaran, terlalu repot
melakukan verifikasi kebenaran itu sendiri. Sebab kebenaran bukan hanya sekedar
jargon, tembung omongane, jarene, kata ini dan kata itu. Tapi buktikan sendiri.
Kebenaran bukan ada dalam kulit yg penuh keberagaman. Itulah sebabnya, kamu
baru menyaksikan kebenaran dengan mudahnya pada saat memasuki dimensi HAKEKAT.
Hakekat, adalah nilai yg merambah universalitas universe, dapat dirasakan oleh
seluruh makhluk, oleh manusia segala macam bangsa, suku, dan semua umat
berbagai agama. Jika hanya dirasakan oleh salah satu suku, ras, agama,
golongan, hal itu belumlah merupakan nilai hakekat. Artinya, nilai-nilai masih
terkait dengan cara pandang subyektif, dan sarat demi kepentingan pribadi.
Santri
:
contohnya
?
Guru
Sejati :
gula
pasir itu manis, merupakan sesuatu yg pasti, dan lidah semua org bisa merasakan
bahwa gula itu manis. Gula adalah unsur ragawi atau “kulit” (sembah raga),
sementara rasa manis adalah hakekatnya (sembah rasa). Nah, rasa manis tidak
hanya dimiliki oleh gula pasir, ada gula jawa, gula merah, gula aren,
gula-gula, sakarin, madu, sari bunga, getah pohon, jagung, sari buah, dan
sebagainya. Itulah agama atau keyakinan, yang sepadan dengan berbagai materi yg
manis tersebut. Kamu ingin merasakan rasa manis, kamu bebas memilih mau pake
gula merah, gula pasir, gula aren, sakarin atau pemanis buatan, sari buah,
madu, jagung (tropicana), atau yg lainnya semua terserah pilihan kamu, mana
yang paling kamu sukai dan pas dengan selera lidah kamu. Nah…apa yg terjadi
dengan umat beragama di dunia ini ? Yaitu tadi…berebut saling mengklaim bahwa
rasa manis hanya bersumber dari gula pasir, umat yg lain bilang salah itu
keliru dan sesat, karena yang bener sumber rasa manis adalah berasal dari
sakarin. Hahaha….seperti org buta yg pegang gajah. Tapi orang buta tersebut
suka menuduh org lain sebagai org buta yg pegang gajah.
Santri
:
loh..bukankah
agama mempunyai misi menyebarkan kebenaran di muka bumi..?!
Guru
Sejati :
waaaahh,
daya pikir rasio kamu kok terbatas banget ya Ndhul ?. Kok ramudheng-mudheng to
!. Yah..begitulah misi agama, bahkan banyak agama misinya ya demikian
itu…menyebar dan mengkampanyekan kebenaran, tapi itu tidak menjamin dunia ini
tenteram dan damai ?
Santri
:
loh
kok kontradiksi dengan misinya ?
Guru
Sejati :
sudah
jelaskan … apa hasilnya? masing-masing agama saling berebut dirinyalah yg
paling bener, bahkan terkesan memaksakan diri mbener-benerke ajarane dewe-dewe
!
Santri
:
tapi
bukankah hanya ada satu agama yg benar ?!
Guru
Sejati :
semua
agama bisa mengklaim demikian, dirinyalah yg paling benar.
Santri
:
ahh…jadi
bingung saya !
Guru
Sejati :
agar
tidak bikin bingung, … hormati saja agama yg menebarkan kebaikan. Bukan agama
yg cari benere dewe !
Santri
:
agama
yg menebarkan kebaikan belum tentu benar !
Guru
Sejati :
juga
belum tentu TIDAK benar !
Santri
:
lantas
bagaimana kita harus mensikapi agama supaya lebih arif dan bijak ??
Guru
Sejati :
agama
hanya perlu keyakinan kamu !
Santri
:
berarti
saya cukup yakin saja ?
Guru
Sejati :
semua
agama hanya berdasarkan keyakinan. Rasakan saja…jangan pake nalar, agama yg
paling pas dengan jiwa dan membuat nurani kamu tenteram.
Santri
:
tidak
semua agama hanya berdasarkan keyakinan saja, artinya, agama atas dasar
kebenaran !
Guru
Sejati :
mana
buktinya ?!
Santri
:
agamaku
!
Guru
Sejati :
itulah
contoh orang yg barusan kita bahas, merasa diri paling bener !
Santri
:
lalu
bagaimana idealnya sikap saya terhadap agama saya ?
Guru
Sejati :
saya
ulangi, cukup dengan yakin, dan jadilah orang yg bijak dan arif kepada siapa
saja, jangan menyakiti hati dan mencelakai orang lain, dan seluruh makhluk. Tak
usah membeda-bedakan apa agama yg dianutnya. Lihat saja perbuatannya yg bisa
kamu lihat. Jangan menebak-nebak isi hatinya untuk memvonis apakah seseorang
baik atau buruk. Kamu menebak hati sendiri saja susahnya bukan main, apalagi
menebak hati org lain !
Santri
:
kan…
seseorang yg tidak punya agama dinamakan kafir, orang kafir pasti celaka
hidupnya dan masuk neraka.
Guru
Sejati :
binatang
dan tumbuhan adalah makhluk hidup, mereka kafir semua, tetapi hidupnya bukan
hanya mendapatkan berkah ilahi, justru lebih mulia menjadi berkah bagi alam
semesta termasuk berkah bagi manusia !
Santri
:
hmmm…??
Guru
Sejati :
mereka
itulah umat yg paling taat pada perintah tuhan, paling setia pada kodrat alam,
paling patuh terhadap rumus-rumus alam semesta. Mereka tak pernah menganiaya
manusia dan lingkungan alamnya. Tidak seperti manusia.
Santri
:
lalu…?
Guru
Sejati :
saya
balik tanya… lebih tepat mana, agama yg menyiarkan kebenaran, atau agama yg
menyiarkan kebaikan, bagaimana manusia harus berperilaku baik..?
Santri
:
ya
jelas…agama yg menyiarkan kebenaran.
Guru
Sejati :
berarti
kamu terlalu telmi (telat mikir) atas apa yg dibahas di atas. Carilah agama yg
paling ikhlas dan jujur !!
Santri
:
bagaimana
agama yg ikhlas dan jujur ?
Guru
Sejati :
Agama
yg paling ikhlas adalah agama yang hanya mengajak seluruh manusia berbuat arif
dan bijak, berperilaku terpuji dan budi pekertinya luhur (akhlakul karim) tanpa
perlu mengajak-ajak, bahkan setengah memaksa orang lain utk bergabung ke dalam
institusi agama tersebut. Mau bergabung silahkan mau enggak juga enggak
apa-apa. Itulah agama paling ikhlas dan fairplay (jujur).
Santri
:
kalau
agama yg selalu berusaha mencari pengikut yg sebanyaknya ?
Guru
Sejati :
itu
tak ubahnya agama PARPOL. Kegiatannya adalah agitasi, propaganda, kampanye,
dirinyalah partai yg paling baik dan benar. Diam-diam institusi agama sudah
berubah misi menjadi institusi politik. Mencari pengikut sebanyaknya supaya
menjadi kuat dan semakin kuat untuk menyerang dan melawan keberadaan keyakinan
orang lain yg tdk seagama dianggapnya sebagai musuh.
Santri
:
kalau
nggak ada musuh ?
Guru
Sejati :
ya..
dibuatlah musuh imajiner, musuh yg dibuat-buat dan diada-adakan.
Santri
:
kan
musuh agama biasanya agama lainnya?.
Guru
Sejati :
itu
merupakan kecurigaan kamu pribadi, bahkan rasa curiga kamu akan meretas
kecurigaan umat lain pada kamu, begitulah kecurigaan dan sentimen antar agama
sudah menjadi lingkaran iblis yg sulit dimusnahkan. Jadinya kerjaan umat
hanyalah saling curiga-mencurigai. Bahkan di antara umat dalam satu agama pun
terjadi perilaku saling mencurigai. Agama menjadi bahan peledak yg setiap saat
akan menghancurkan bumi, alias membuat kiamat planet bumi ini. Tak ubahnya
agama lah yg menciptakan neraka bagi manusia.
Santri
:
kenapa
bisa begitu ?
Guru
Sejati :
karena
agama keluar dari misi sucinya, yakni menebarkan kedamaian, ketentraman dan
kebaikan bagi alam semesta seisinya. Agama juga lebih mengutamakan kampanye
dirinyalah yg paling benar.
Santri
:
apa
salahnya ?
Guru
Sejati :
salahnya,
bukankah kebenaran itu perlu kepastian, seperti ilmu pasti, dan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan sains. Itu barulah kebenaran pasti, yg
real. Sementara agama merupakan sistem kepercayaan, atau keyakinan.
Santri
:
lho…dalam
ajaran agama kan ada beberapa kejadian dan sinyalemen atau gejala akan suatu
kebenaran dalam realitas alam semesta.
Guru
Sejati :
sejak
abad keberapa kitab-kitab suci semua agama itu ada ? umurnya masih muda bukan ?
sementara itu manusia sudah ada sejak (paling tidak) 2 juta tahun silam. Bumi
ini ada sejak bermilyar tahun silam. Sebelum agama-agama dengan kitab-sucinya
ada, manusia pun telah menemukan berbagai kebenaran tak terbantahkan dalam
menjalani kehidupan. Itu juga karena welas asih dan keadilan tuhan. Isi ajaran
agama tidak termasuk kebenaran pasti, tetapi berisi ajaran kebaikan, semacam
aksioma yang runut dan logis. Namun bisa ditafsirkan dengan multi interpretasi
sesuai kepentingan dan kemauan pembacanya. Maka dikatakan kitab itu fleksibel
sesuai perkembangan zaman. Ini pengertian yg bias sekali. Alias, isi kitab
selamanya tak akan pernah bertentangan dengan penafsiran manusia. Karena sadar
atau tidak manusialah yg selalu berusaha (baca; memaksakan diri) utk
menundukkan pola pikir dan persepsinya sendiri agar sesuai dengan isi kitab.
Itulah kebiasaan manusia selama ini, membiarkan kesadaran dirinya di dalam
sangkar emas. Sementara agama banyak mengajarkan ttg kegaiban, lalu manusia
buru-buru menyimpulkan bahwa akal manusia sangat terbatas utk memahami
kegaiban. Bagi saya kegaiban itu sangat masuk akal, jika tak masuk akal berarti
belum tahu rumus-rumus yg berlaku di alam gaib. Jika mengkamulkan isi kitab pun
kenyataannya sudah mengalami perluasan dan penyempitan makna setelah
ditranslate ke dalam berbagai bahasa oleh banyak orang yg memiliki penafsiran
beragam corak dan warnanya.
Santri
:
apa
buktinya ...?
Guru
Sejati :
lihat
saja, begitu banyaknya aliran dan faham dalam satu agama saja. Tidak hanya
puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Semua itu sudah menjadi hukum alam, bahwa
aliran dan faham (mazab) akan selalu bermunculan dan kian banyak seiring
perjalanan waktu, sesuai dengan kompleksitas rasio manusia, dan daya nalar yg
menimbulkan persepsi dan penafsiran beragam. Apa jadinya kalau mereka saling
mengklaim dirinya paling benar ?
Santri
:
yaaah
.. berebut kebenaran atau golek benere dewe. Yang menimbulkan perpecahan,
perselisihan, permusuhan, saling curiga, saling menjatuhkan, saling bunuh,
saling fitnah.
Guru
Sejati :
akar
segala macam fragmentasi dan kehancuran di dalam satu agama, tidak lain
disebabkan oleh penafsiran, persepsi dan pemahaman setiap individu,
pengikutnya, dan akhirnya menjadi kelompok besar yg siap bersimbah darah demi
kesadaran palsunya.
Santri
:
hmmmm
jadi..? agar supaya agama turut andil menciptakan ketenangan batin,
ketentraman, dan kaedamaian dunia ini, idealnya tak usah menekankan akan
kebenaran dirinya, tetapi lebih mengutamakan kampanye untuk selalu berbuat baik
kepada seluruh makhluk. Nah kebaikan kan relatif, masing2 org punya penafsiran
pula yg berbeda-beda akan nilai kebaikan itu… ? apa patokannya ? sama saja
kan…harus kembali pemurnian diri ke kitab dan sunah thok thil. Makin bingung
saya !
Guru
Sejati :
pandaganmu
itu terlalu menyempitkan realitas kemaha luasan hakekat Tuhan Yang Maha luas
tiada batas. Idealnya, suatu perbuatan barulah menjadi kebaikan, dengan syarat,
tidak menerjang kodrat universe. Kodrat alam semesta. Nilai yang paling
universal dan tidak menabrak kodrat alam, adalah setiap perbuatan yang kita
lakukan selalu didasari dengan rasa KASIH SAYANG yg tiada bertepi, rasa welas-asih kadya samudra tanpa tepi,
welas tanpa alis, kasih sayang yg TULUS, tanpa pamrih. Kecuali berharap saling
memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk dalam jagad
raya ini.
(http://www.yaskum.info)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar