Prajurit Wanita Berjilbab Mengapa Tidak?                                                                         
                                                   
(Oleh: Muh. Nurhidayat)
PERTENGAHAN
 tahun lalu, para muslimah yang berkarier sebagai polisi  wanita 
(Polwan) di Hungaria meneteskan airmata kebahagiaan. Mereka  terharu 
atas keputusan pemerintah negara setempat yang memperbolehkan  anggota 
polwan untuk tetap memakai jilbab ketika bertugas. Bahkan  kepolisian 
setempat pun telah merancang bahan dan warna kerudung agar  tetap serasi
 ketika dikombinasikan dengan seragam polwan Hungaria.
Fenomena menggembirakan tersebut patut 
disyukuri, tidak hanya oleh  umat Islam di Hungaria saja, tetapi juga 
kaum muslimin di seluruh dunia,  termasuk Indonesia. Betapa tidak, 
Hungaria yang berpenduduk mayoritas  non-Muslim masih memperhatikan 
aspirasi polwan muslimah. Padahal polwan  muslimah di negara tersebut 
masih tergolong minoritas.
Sebenarnya kebebasan memakai kerudung sewaktu bertugas bagi Polwan muslimah tidak hanya berlaku di Hungaria saja. Sebelumnya, negara-negara mayoritas non-muslim lainnya juga mengizinkan polwan maupun tentara wanita yang beragama Islam untuk memakai jilbab. Sejumlah media massa Islam sering memberitakan fenomena menggembirakan itu sejak beberapa tahun lalu.
Sebenarnya kebebasan memakai kerudung sewaktu bertugas bagi Polwan muslimah tidak hanya berlaku di Hungaria saja. Sebelumnya, negara-negara mayoritas non-muslim lainnya juga mengizinkan polwan maupun tentara wanita yang beragama Islam untuk memakai jilbab. Sejumlah media massa Islam sering memberitakan fenomena menggembirakan itu sejak beberapa tahun lalu.
Seperti
 dinyatakan mantan Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, bahwa di  Australia 
dan Selandia Baru, masyarakat bisa menyaksikan ada polwan  berjilbab 
yang sibuk mengatur lalu lintas. Padahal sebagian besar  penduduk kedua 
negara di selatan Indonesia adalah Nasrani. Demikian pula  di Inggris, 
polwan berjilbab pun ada yang bertugas di satuan sabhara  atau reskrim, 
tidak hanya ditempatkan di satuan lalu lintas saja.  Denmark sempat 
mengizinkan muslimah berjilbab untuk mengikuti pendidikan  militer.
Amerika
 Serikat (AS) yang di luar negeri dikenal gencar memerangi  
negara-negara muslim seperti Iraq dan Afghanistan, ternyata di dalam  
negerinya sendiri tidak melarang sejumlah tentara wanitanya memakai  
jilbab ketika bertugas. Salah satunya adalah Peck, prajurit perempuan  
yang masuk Islam ketika bertugas di Arab Saudi pada tahun 1991.
Seperti
 dikisahkan Mulyana (2004), setelah menjadi muslimah, Peck pun  
memutuskan untuk selalu berkerudung meskipun berseragam militer. Para  
komandan, bahkan kesatuannya secara instutisional tidak melarang. Dia  
dikenal sebagai pelopor tentara wanita berjilbab di angkatan bersenjata 
 AS. Dengan jilbabnya, Peck pernah diberi amanah untuk berpidato di 
forum  internal militer AS.
Memang di AS,
 tentara wanita berjilbab masih sangat sedikit  jumlahnya. Selain itu, 
mereka hanya hanya bertugas di dalam lingkungan  barak militer dan tidak
 pernah diizinkan keluar barak dalam penampilan  berseragam militer yang
 dipadukan dengan jilbab. Mungkin angkatan  bersenjata AS khawatir jika 
diizinkan keluar barak, para tentara wanita  berkerudung secara langsung
 maupun tidak langsung dapat mengangkat citra  Islam, agama penduduk 
negara-negara yang dimusuhinya seperti  Afghanistan, Iraq, Sudan, dan 
Palestina.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Di negara berpenduduk mayoritas Muslim, sudah semestinya tidak ada lagi larangan bagi muslimah yang berkarier sebagai anggota TNI maupun Polri untuk berjilbab. Apalagi jumlah anggota tentara perempuan dan polwan Indonesia sebagian besar adalah muslimah.
Secara
 konstitusional negara kita menjunjung tinggi kekebasan bagi  warga 
negaranya untuk menjalankan ajaran agama masing-masing (Pasal 28  Ayat 2
 UUD 1945). Dengan demikian, memakai paduan kerudung dan seragam  
merupakan hak asasi bagi tentara maupun polwan muslimah yang dijamin  
konstitusi.
Bahkan dalam ajaran Islam itu
 sendiri, memakai jilbab bagi muslimah  bukanlah sekedar hak asasi saja,
 namun telah menjadi kewajiban asasi  sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Karena hukumnya wajib, seorang muslimah akan dapat pahala jika berjilbab. Demikian pula sebaliknya, mereka akan berdosa jika menanggalkan pakaian taqwa itu.
Karena hukumnya wajib, seorang muslimah akan dapat pahala jika berjilbab. Demikian pula sebaliknya, mereka akan berdosa jika menanggalkan pakaian taqwa itu.
Perintah berjilbab bagi muslimah telah ditegaskan Allah SWT:
“Hai
 Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak  perempuanmu dan 
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka  mengulurkan jilbabnya ke 
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya  mereka lebih mudah 
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan  Allah adalah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
Juga pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah mereka (wanita muslimah) menutupkan kain kudung (jilbab) ke dadanya.” (QS. An Nuur : 31)
Dengan
 demikian, jilbab adalah identitas bagi muslimah. Jika wanita  Islam 
melepas kerudungnya di luar rumah, di mata Allah SWT dan rasul-Nya  
mereka kehilangan identitasnya. Sehingga dari segi penampilan, muslimah 
 tak berjilbab tidak ada bedanya dengan wanita non-muslim. Bahkan mereka
  akan berdosa jika tidak berkerudung.
Hal
 ini berbeda dengan aksesoris seperti perhiasan berbentuk salib  yang 
biasa dipakai wanita nasrani. Para wanita Kristen tidak kehilangan  
identitas dan tidak berdosa jika mereka tidak memakai  
kalung/anting-anting bermata Salib.
Karena
 jilbab adalah kewajiban asasi dari Allah SWT, maka dapat  dijamin bahwa
 secara umum wanita yang memakainya akan lebih shalehah  daripada 
perempuan yang tidak memakainya. Wanita shalehah adalah insan  beriman 
yang taat pada Allah SWT, Rasulullah SAW, dan pemimpinnya.
Adalah
 Yoyoh Yusroh, mantan anggota Komisi I DPR yang mencoba   memunculkan 
kembali wacana ini. Politisi perempuan dari Fraksi Partai  Keadilan 
Sejahtera (PKS) menanyakan soal itu kepada calon Panglima TNI  itu.
Perempuan
 kelahiran Tangerang, Banten 14 November 1962 itu  menegaskan, 
mengenakan jilbab bagi seorang perempuan muslimah adalah hak  yang 
diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Karena  itu 
menurutnya, semua peraturan perundang-undangan haruslah mengacu  kepada 
hak dasar yang telah diatur dalam konstitusi tersebut.
Pertimbangan
 lain yang dikemukakan lulusan S-2, Institut Ilmu  Al,Qur’an Jakarta 
itu, Panglima TNI sebelumnya, melalui Surat Keputusan  (SKEP) Panglima 
TNI No.346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 memperbolehkan  Korps Wanita 
Angkatan Darat di Daerah Istimewa (DI) Aceh, mengenakan  jilbab.
Karena
 itu ia menanyakan kembali kenapa hal ini tak diberlakukan sama  di 
semua angkatan? Ia menambahkan, pengenaan jilbab itu bagi perempuan  
muslimah di semua profesi dibolehkan dan nyatanya tidak pernah  
menghambat kinerja mereka.
Alangkah 
beruntungnya institusi militer/kepolisian yang beranggotakan  tentara 
wanita/polwan berjilbab. Tentu mereka akan menjadi  prajurit-prajurit 
yang sangat setia kepada pemimpin atau pemerintah  maupun negara.
Bukankah
 anak bangsa Indonesia yang paling setia terhadap negara ini  adalah 
umat Islam? Bahkan secara historis pun kelahiran TNI/Polri tidak  dapat 
dilepaskan dari peran besar kaum muslimin, terutama umat Islam  berbasis
 pesantren yang dalam kajian sosial dikenal sebagai kaum santri.
Jauh
 sebelum Indonesia merdeka, para santriwati tidak ketinggalan  dengan 
para santriwan untuk berperang mengusir penjajah dalam  laskar-laskar 
yang dibentuk pesantren-pesantren di seluruh tanah air.  Tidak lama 
setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita,  laskar-laskar 
berbasis pesantren (yang beranggotakan santriwan dan  santriwati) 
bersama-sama laskar lainnya melebur dalam Badan Keamanan  Rakyat (BKR), 
yang merupakan cikal-bakal kelahiran TNI.
Selain
 setia kepada ulil amri dan negara, para prajurit wanita  shalehah juga 
akan loyal terhadap pekerjaannya. Loyalitas terhadap  pekerjaan akan 
membangkitkan motivasi yang tinggi dalam bekerja. Mereka  akan 
menjalankan tugas secara disiplin dan profesional. Hal tersebut  pada 
akhirnya melahirkan kinerja yang baik dari mereka. Bukankah hal  
demikian sangat diharapkan institusi TNI dan Polri kita?
Pakaian seragam yang dipadukan dengan kerudung tidak menghalangi aktivitas dan kelincahan gerak para tentara wanita maupun polwan di lapangan. Hal ini telah dibuktikan oleh para tentara wanita dan polwan berkerudung di sejumlah negara mayoritas non-muslim seperti Hungaria, Inggris, Australia, Selandian Baru, serta AS. Bahkan sejumlah negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Irak, Yordania, Mesir, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya sangat bangga dengan semakin banyaknya para prajurit wanita berjilbab, baik dari kalangan militer maupun polisi.
Pakaian seragam yang dipadukan dengan kerudung tidak menghalangi aktivitas dan kelincahan gerak para tentara wanita maupun polwan di lapangan. Hal ini telah dibuktikan oleh para tentara wanita dan polwan berkerudung di sejumlah negara mayoritas non-muslim seperti Hungaria, Inggris, Australia, Selandian Baru, serta AS. Bahkan sejumlah negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Irak, Yordania, Mesir, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya sangat bangga dengan semakin banyaknya para prajurit wanita berjilbab, baik dari kalangan militer maupun polisi.
Sebagai
 negara muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia  
mengizinkan para prajurit wanita dari institusi TNI maupun Polri untuk  
berjilbab di seluruh wilayah NKRI, tidak hanya di provinsi Nanggroe Aceh
  Darussalam (NAD) saja.
Semoga Allah SWT
 menggerakkan hati pemerintah kita untuk menghormati  jilbab sebagai 
kewajiban asasi para prajurit wanita. Wallahua’lam.
(Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Ichsan Gorontalo)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar