Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah 
beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, 
keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa.
 Amma ba’du.
Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya
 kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah 
yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas 
kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan 
tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat 
bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam
 yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…”
 (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik 
Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang 
cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah 
yang dimaksud adalah kata 
salaf atau 
salafi dan 
salafiyah.
 Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan 
dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut
 berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan 
amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. 
Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- 
hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau 
Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. 
hafizhahullah dengan judul 
Mengapa Memilih Manhaj Salaf
 penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada 
para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku 
tersebut. Orang bilang, 
“Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga
 dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar 
menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang 
buruk. Imam Ibnul Qayyim 
rahimahullah mengatakan, “Pemahaman 
yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang 
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba 
mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat 
Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah 
pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. 
Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak 
di jalan orang yang dimurkai (
al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (
adh dhaalliin)
 yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia 
akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (
an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut 
shirathal mustaqim…” (
I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari 
Min Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha 
seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini 
sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari 
kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena 
tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik 
namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya 
dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… 
Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf
 pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu 
bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang 
‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak 
melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita 
temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain 
manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah 
Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang 
bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil 
mendapatkan predikat 
cum laude di sana, namun tatkala pulang ke
 Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut 
dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak 
jumlah acungan jari… 
Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan 
menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala 
berfirman yang artinya, 
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah 
Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian 
apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah 
pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman 
kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi 
kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud 
ulul amri adalah mencakup 
umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga 
ulama
 (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah 
artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul 
adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada 
ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal 
maksiat. Karena Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, 
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).”
 (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam 
suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat 
tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah 
Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah
 ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia 
yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun 
cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus 
dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah
 ta’ala (yang artinya), 
“Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.”
 (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab 
dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al 
haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” 
(lihat 
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi 
ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab 
Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului 
kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari 
sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang 
mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang 
baik).” (
Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari 
Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, 
“Maka
 tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami 
tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai 
salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az 
Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai 
pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana 
perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan
 mengambil nasihat darinya. (lihat 
Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan 
istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam 
kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah 
dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah 
radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, 
“Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya 
sebaik-baik pendahulu. (lihat 
Limadza, hal. 30, baca juga 
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 
hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu 
secara bahasa,
 semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, 
Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan 
orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita 
bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. 
Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, 
“Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan 
“Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 
rahimahullah.
 Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan
 makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan 
lughawi
 (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya 
istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber 
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. 
Oleh sebab itulah anda jumpai para 
fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) 
rahimahumullah
 setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan 
bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan 
secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya 
tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna 
lughawi dengan makna 
ishthilahi.” (lihat 
Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf 
maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan 
berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (
tabi’in).
Ketiga: Shahabat, 
tabi’in dan juga para Imam yang telah 
diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa 
menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat 
Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly 
hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat r
adhiyallahu ‘anhum.
 Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena
 sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (
Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf 
adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam
 pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, 
tabi’in dan 
tabi’ut tabi’in,
 -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj 
mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk 
penisbatan terhadap mereka.” (
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya 
Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka
 untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini 
pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah 
dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk 
menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga 
mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat 
Limadza, hal. 31). Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (
tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. 
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka 
juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa
 disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun 
pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, 
tabi’in dan 
tabi’ut tabi’in
 adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul 
tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang 
benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al 
Kitab dan As Sunnah serta pemahaman 
salafush shalih. Oleh 
karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al 
Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun 
jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang 
yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama 
sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun 
orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat 
Al Wajiz, hal. 22, 
Limadza, hal. 33 dan 
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari 
rahimahullah mengatakan, 
“Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar 
rahimahullah
 menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan 
orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh 
Rasyid) adalah para sahabat 
radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang 
tabi’in
 (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para 
sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam 
Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan 
selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya
 (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka 
memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud 
(dengan salaf di sini) adalah para sahabat 
radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat 
Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. 
Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan 
Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin
 Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di 
hadapan orang banyak, 
“Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat 
radhiyallahu ‘anhum.” (
Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam 
kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh
 Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul 
Asy Syari’ah 
bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. 
Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah 
sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap 
mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih.
 Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” 
Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat 
ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat 
Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang 
tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan 
salafiyah adalah 
penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah 
sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang 
menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu 
mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan
 tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami 
modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya 
adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana 
kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan
 yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai 
pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum 
salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri
 kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan 
kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang 
baru ada.” (lihat 
Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 
rahimahullah mengatakan, “Dan 
tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut 
madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. 
Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para 
ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran 
itu sendiri.” (
Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat 
Limadza, 
hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang 
menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru
 yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul 
Islam Ibnu Taimiyah 
rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari 
tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran
 yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah 
maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka 
mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan 
tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa 
salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh 
Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan 
Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu 
sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam 
ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti 
sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan 
waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh 
karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk 
mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat 
radhiyallahu ‘anhum
 dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). 
Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi
 di dalam kitabnya 
Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika 
membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci
 selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan 
(dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah 
terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan 
dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut
 meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah 
seorang salafi.” (
Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut 
sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 
H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh 
Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca 
bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. 
Apakah
 Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum 
Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut 
mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan
 bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad 
bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas
 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya 
pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. 
Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat 
radhiyallahu’anhum.
 Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul
 dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada 
saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman 
Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini.
 Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan 
adanya penyimpangan karena Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu 
berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu 
Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang 
membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman 
Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan 
penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu 
bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga 
keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman 
bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya 
rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada 
pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang 
menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut 
Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit 
untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan 
pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf 
atau salafiyah (lihat 
Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap 
ngotot mengingkari 
istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan
 pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak
 ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin 
Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut 
Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “
Oo, kalau ini berbeda…!”
 Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan 
istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan 
salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi 
atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan 
kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan 
terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, 
Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok 
yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak 
terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin 
kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak 
ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan 
kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? 
Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat 
Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr 
hafizhahullah,
 silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh 
dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 
Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani 
rahimahullah pernah ditanya: 
Kenapa
 harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang 
menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia 
merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau 
rahimahullah
 menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa 
Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah 
pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah 
hadits shahih dari Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah 
radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, 
“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.”
 Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan 
mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. 
Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah 
ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam
 bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti 
kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan 
kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di 
sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari 
penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di 
dalam agama, sehingga ia mengatakan, 
“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut 
salafush shalih
 dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi 
bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian-
 memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang 
diamalkan oleh para 
salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits 
mutawatir di dalam 
shahihain dan selainnya dari Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, 
“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.”
 Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk 
berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda 
halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri 
dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak 
ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada 
kekafiran atau kefasikan…” (
Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat 
Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr 
hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah 
generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi
 maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah 
mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. 
Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang 
membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu 
Ja’far Ath Thahawi 
rahimahullah mengatakan di dalam kitab 
‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami 
mencintai para sahabat Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka.
 Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. 
Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang 
yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan
 mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama,
 iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan
 dan pelanggaran batas.” (
Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul 
‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun
 di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan 
belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum 
Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah 
membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul
 
‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, 
“Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam 
Kitabul Iman dengan lafazh, 
“Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab 
Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, 
“Tidaklah
 mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka 
kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah 
mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga 
membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, 
“Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat 
Fathul Bari, 1/80, 
Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi 
rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits 
di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang 
mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan 
terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi 
umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam 
menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada 
mereka, kecintaan mereka kepada Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam 
mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan 
mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) 
demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda 
kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (
Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi 
menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian 
keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan 
hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi 
‘alaihis shalatu was salam, 
“Sebaik-baik
 kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah
 mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi 
‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).”
 (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai 
keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah 
‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka 
telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai 
belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada 
beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan 
bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (
Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, 
“Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh 
khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh 
khairul  quruun
 (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak 
terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami 
sebutkan (yaitu 
Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat 
Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“Muhammad itu adalah utusan 
Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap 
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat 
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, 
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
 sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, 
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu 
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
 atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena 
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan 
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman 
dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
 besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa 
salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang
 kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik 
rahimahullah
 menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu 
riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) 
yang membenci para sahabat 
radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam 
Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci 
dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para 
sahabat 
radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama 
radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir 
Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini 
teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah 
(yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan 
Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan 
yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus 
Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam 
sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat 
kepada umat Islam), 
“Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni,
 red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. 
Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan 
terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. 
Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung 
fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. 
Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut 
Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. 
Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan
 Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan 
kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.”
 (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan 
Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul 
Hakim Abdat dalam 
Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 
yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para 
ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun
 V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan 
ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. 
Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki 
keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan 
lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu 
menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun 
ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai 
tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim
 mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada 
kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu 
Shalih dari Abu Hurairah 
radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Janganlah
 kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di 
tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak 
emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu 
mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab 
Al Manaaqib no. 3673).” (lihat 
Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, 
“Orang-orang
 yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan 
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, 
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah 
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di 
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan 
yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji 
tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang
 yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin 
dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang 
mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai 
salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat 
hafizhahullah
 mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang 
menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat 
radhiyallahu ‘anhum.
 Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka 
pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga 
meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari 
tabi’in, 
tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. 
Mafhum-nya,
 mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai 
mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah 
subhanahu wa ta’ala.” (
Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir 
rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat
 ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada 
orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan 
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan 
bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan 
surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi
 mereka…” (
Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan 
As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (
Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah).
 Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang
 mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para 
sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan 
ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah 
orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang 
teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai 
bentuk peniruan mereka terhadap 
As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat 
Fathul Qadir dan 
Taisir Karimir Rahman, 
Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan 
“Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”
 di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam 
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir 
menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (
Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi 
rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini 
merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya 
barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia 
adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia 
telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak 
diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah 
merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak
 dan melampaui batas.” (lihat 
Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir 
rahimahullah
 memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul 
bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang
 yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang
 yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap
 orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang 
terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir 
mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum 
Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan 
hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka 
terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang 
yang telah diridhai oleh Allah?…” (
Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) 
Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan 
mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di 
permukaan bumi ini, 
radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah 
radhiyallahu’anhu mengatakan, 
“Rasulullah
 shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada 
kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. 
Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah 
ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah 
kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku 
wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan 
tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin 
kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup 
sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka 
berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan 
berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta 
jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena 
semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan 
Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-
takhrij Ad Durrah As Salafiyah
 menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan 
oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim 
(1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani 
dalam 
Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat 
Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz 
Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga 
Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian 
banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh
 dengan Sunnah Nabi dan Sunnah 
Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud 
Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali 
radhiyallahu’anhum (lihat 
Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan 
ijma’ (lihat 
Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya 
perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang 
teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan 
‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau 
rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata 
Sunnah beliau 
‘alaihish shalaatu was salaam
 adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, 
ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah 
(ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang 
difirmankan Allah ta’ala yang artinya, 
“Maka demi Tuhanmu, mereka 
pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam 
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa 
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan 
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah
 untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam 
kebid’ahan…” (
Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin 
rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau 
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan 
Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (
Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka 
mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan 
‘Ali 
radhiyallahu’anhum.” (lihat 
Ad Durrah As Salafiyah,
 hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan 
Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum 
berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua 
orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan
 kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak 
diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh 
oleh Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (
Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari 
Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (
Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan 
Sunnah (ajaran) 
Khulafa’ur Rasyidin
 maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali 
berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk 
bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari 
Limadza, hal. 73). Di dalam 
Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan 
Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari 
Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana 
dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan 
demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah 
Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat 
radhiyallahu ‘anhum
 terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan
 pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (
Limadza,
 hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat 
Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan 
mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam 
firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau 
dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj 
salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 
Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah 
menentang Sabda Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi 
lawan dari bid’ah.
 Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah 
fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan
 tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam
 istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik
 yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca 
Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga 
Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, 
al jama’ah
 berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para 
sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang 
meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara
 lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah
 bin Mas’ud 
radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, 
“Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat 
Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih,
 hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah 
jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh 
dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat 
radhiyallahu ta’ala ‘anhum.
 Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan 
akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka
 kecuali satu yaitu 
al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan 
bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan 
para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut 
ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 
rahimahullah mengatakan di dalam 
Majmu’ Fatawa
 (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan 
sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat 
Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, 
Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani 
rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku 
Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat 
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka 
dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan 
amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur 
ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur 
ibtida’
 (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan 
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu 
maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah
 kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’ (lihat 
Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, 
Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam 
Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani 
hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu 
orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas
 mereka, baik bid’ah 
i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah 
amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat 
Lau Kaana Khairan,
 hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau
 jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya 
seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya 
sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang 
dikatakan sebagai ahli bid’ah:
- Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
 
- Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
 
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata,
 “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli 
bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan 
dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan
 sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi 
manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap 
orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan 
buku 
Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin 
hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 
rahimahullah pernah ditanya: Siapakah 
yang dimaksud dengan  Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang 
disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang 
benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka 
bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As 
Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal 
praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, 
yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan 
apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka 
itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan 
bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan 
kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (
Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: 
Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), 
Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), 
Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), 
Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), 
Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan 
Al Firqah An Najiyah
 (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak 
kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal 
Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan 
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka 
bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu 
Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat 
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, 
Limadza hal. 36-38, 
Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan 
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
 karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para 
pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah 
Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca 
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
 karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At 
Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah
 memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca 
yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa 
Al Firqatun Najiyah adalah 
Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan 
Ahlul Hadits maka silakan baca buku 
Mereka Adalah Teroris
 cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan 
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan 
gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 
rahimahullah pernah ditanya: Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah 
beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia 
tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab 
As Sunnah bab 
Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di 
Kitabul Iman bab 
Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di 
Kitabul Fitan bab 
Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/
firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 
firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 
firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu 
firqah. 
Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan 
Al Firqah An Najiyah
 (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada 
di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat 
kelak. Inilah 
Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok 
yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga 
datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan 
ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga 
firqah ini, salah satunya berada di atas 
kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama 
berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima 
aliran utama 
ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap 
aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai 
total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang 
lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan 
karena bukan hanya 
firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang 
tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah 
kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah 
baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. 
Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan 
tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di 
akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih 
baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah 
disebutkan secara global oleh Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 
firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan 
bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam 
firqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa 
kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh 
aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau 
shallallahu ‘alaihi wa sallam
 mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung 
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama.
 Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (
Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang 
diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah;
 yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman 
salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau 
firqah
 yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami 
ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat 
penting untuk kita cermati. Beliau 
rahimahullah mengatakan, 
“Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling 
agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang 
hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah 
nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini 
adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi 
keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari
 terjebak di jalan orang yang dimurkai (
al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (
adh dhaalliin)
 yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia 
akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (
an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut 
shirathal mustaqim..” (
I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari 
Min Washaaya Salaf,
 hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan 
berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus 
adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan 
yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada 
hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para 
pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni 
mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang 
menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke 
dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi
 memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama 
yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas 
dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan 
pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada
 yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah 
mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih 
senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini 
sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran 
agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan 
manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun 
tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan 
mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik 
cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke 
jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani 
mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. 
Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi 
rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah 
mubtadi’
 (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij,
 Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga 
kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah 
sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita 
darinya.” (
Lum’atul I’tiqad, dinukil dari 
Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad
 hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini 
adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga 
menjelaskan 
firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan 
Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin 
rahimahullah
 menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau 
mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara 
cirinya adalah:
- Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai 
akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut 
urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
 
- Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. 
Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun 
kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
 
- Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
 
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah
 sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau 
dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:
- Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui
 batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga 
mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para
 Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh 
para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang 
sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada
 pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan 
mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta 
begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun 
V/Muharram 1427 hal. 49-53).
 
- Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah 
penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka 
dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab
 mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham 
Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak
 memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam
 masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang 
menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus 
diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat 
mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna 
imannya. Wallaahul musta’aan.
 
- Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
 karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah 
membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku
 dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. 
(Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun 
V/Muharram 1427 hal. 31-36).
 
- Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang 
berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa 
hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama 
sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan 
pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan 
para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. 
Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba
 bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama 
sesatnya.
 
- Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari 
iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. 
Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang
 imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan 
meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan 
dari madzhab Khawarij.
 
- Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin 
‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al 
Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di 
dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah 
baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi 
menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. 
Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka
 dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) 
sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini 
menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka 
menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip 
terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena
 Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah 
membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat 
yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
 
- Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin 
Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah 
dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri
 dari banyak sekte.
 
- Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin
 Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen 
tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian 
kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada 
masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita 
ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham 
Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau 
bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah
 perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki
 keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali
 tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, 
mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total 
dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati 
beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
 
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri 
hafizhahullah mengatakan, 
“Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah 
disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara 
firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam 
tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) 
dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar
 ber-
tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: 
Jama’ah Hijrah wa Takfir
 yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah 
menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan
 kepada penguasa, red), 
Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok 
Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) 
Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku 
Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary 
hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa 
Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat 
Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad,
 hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan 
bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku 
Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali 
hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan 
mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam 
sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa 
Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 
rahimahullah pernah ditanya, 
“Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?”
 Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah 
belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena 
sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada
 kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang 
mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya
 dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, 
“Dan
 janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa
 berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan 
bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, 
“Sesungguhnya
 orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi
 bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada 
mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum 
muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap 
mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau 
keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini 
disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat 
Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin 
rahimahullah.
 Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun 
di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan
 
hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“Kemudian
 mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah 
belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan 
apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan 
hizb-hizb
 ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak 
belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, 
“Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat 
Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 
rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk 
khuruj
 (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu 
tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya 
mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki 
bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk 
khuruj
 bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan 
bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang 
oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati
 mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan
 tercantum dalam 
Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari 
Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai 
jama’ah dan 
hizb
 semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota 
Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin 
Al Albani (
mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu 
Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan 
negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat 
terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan 
persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama
 muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik 
mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan 
bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai,  
merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk 
mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. 
Inilah salah satu keajaiban 
Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha 
‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada 
Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. 
Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya 
para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan 
baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan 
atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi 
shallallahu ‘alahi wa sallam
 telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan 
di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah 
Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau 
Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau 
Al Jama’ah atau 
Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, 
“Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari 
Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali 
kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, 
dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul 
dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan 
pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para
 ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman 
sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak
 dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke
 zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah 
dengan pemahaman Salaf. Ingat, jangan 
ta’ashshub (fanatik 
buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan 
bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan
 pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan
 cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau 
akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela 
seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau 
organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau 
apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan 
para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, 
berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah 
mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan 
firman-Nya yang artinya, 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang 
kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, 
penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, 
“Katakanlah: “Inilah jalan 
(agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada 
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk 
orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di 
rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya 
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang 
kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan 
mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu 
mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi 
kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, 
tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku
 memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju 
Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku 
memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. 
Bersama itu akupun memiliki [
hujjah yang nyata] dari ajaran 
agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada
 keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula 
[orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah 
sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan
 Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi 
tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan 
aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi 
aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (
Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. 
Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber 
dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, 
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon 
ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para 
pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan 
untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah 
subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat 
beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad 
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini 
secara utuh tanpa merubah content dan memenggal tulisan di dalamnya, 
serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan sumbernya (muslim.or.id). 
Jazaakumullahu khoiron…
***
Disusun oleh:
Departemen Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary Yogyakarta (2006)
Artikel 
www.muslim.or.id