BU Rahayu tampak bermuka kencang, istilahnya ngotot di hadapan orang-orang yang bertabayyun kepadanya, “Sumpah! Saya tidak bilang begitu, saya tidak seperti itu! Sumpah, Demi Tuhan!”, meluncurlah kalimat-kalimat lain yang bernada iba dan memohon agar ucapannya dipercaya. Bahkan menjual air mata palsu di hadapan manusia sekitarnya.
Padahal, sosok-sosok di sekitarnya adalah orang-orang yang juga menyayanginya dan mempercayai ‘pihak lawan’ dari bu Rahayu atas kasus di hadapan mereka, sehingga mereka hanya meminta agar kejujuran mengakui perbuatan dilakukan oleh beliau, mengakui kekhilafan secara tenang dan bermaafan pastilah berbuah ketenangan jiwa. Jikalau sampai kini malah retak sebuah hubungan kekeluargaan, Bu Rahayu harus banyak bercermin, ulahnya sendiri yang menyebabkan hal itu terjadi.
Begitu pun sikap Tara, saat merasa aibnya terkuak lebar gara-gara banyak lalai menunaikan tugas yang diemban, juga sikap tak sopan pada orang tua, maka dengan pongah dan sibuk bagaikan jumpa-pers kemana-mana ia membela diri di hadapan rekan-rekan, pacar, dan komunitas pergaulannya.
Begitu sigapnya ia bisa membalikkan fakta dengan memposisikan diri sebagai korban yang dizholimi dalam cerita versinya, padahal secara fakta, “si pihak berlawanan” adalah yang telah dizholimi Tara. Tali-tali kencang persaudaraan yang solid bisa langsung putus tercincang hanya gara-gara sudah kehilangan rasa malu sebagaimana sikap Tara tersebut.
Kenapa lisan, jemari dan perbuatan bisa bertolak-belakang dari kebenaran, padahal Allah ta’ala selalu mengawasi diri kita? Telah hilang rasa malu dari jiwa-jiwa kita ketika bisa membolak-balikkan yang benar menjadi salah, dan yang salah malah dibenarkan. Bahkan ketika sudah tersudut pun, bisa saja tetap mencari celah alasan demi pembenaran. Rasa malu kepada Allah ta’ala sudah terkalahkan, malah malu kepada manusia sekitar. Rasa takut kepadaNya bahkan telah hilang, malah lebih takut pada penjara dunia. Naudzubillahi minzaliik.
Sejalan dengan itu, Pak Bandit pun tak kalah hebohnya, di kantor dengan lincahnya mondar-mandir saja, ke café, kantin, atau browsing yang tidak ada urusan dengan pekerjaan saat itu. Setumpukan tugas diserahkan pada teman lainnya dalam satu team, si X, si Y, dan si Z.
Padahal teman-temannya yang baik hati itu selalu saling toleransi jika membantu pekerjaan kantor lainnya, terutama kalaulah salah satu teman memang punya urusan urgent lain, semisal ada anak atau istri yang sakit sehingga harus mondar-mandir ke rumah sakit, dsb. Namun Pak Bandit dengan cueknya malah ‘mengorbankan’ teman-temannya, tak jelas apa yang dia lakukan sementara yang lain memiliki kesibukan tugas yang luar biasa banyaknya. Kemudian saat laporan tugas kepada pak manajer, Pak Bandit malah mengatakan bahwa semua tugas yang dirampungkan adalah hasil pekerjaannya, lincah nian lidahnya ditambah senyum kebanggaan saat berbicara di ruang rapa.
Apalagi pada saat itu, teman lain satu teamnya sedang tidak ikut rapat dikarenakan telah mengatur jadwal pekerjaan lain yang harus cepat rampung, sungguh komplet sandiwara Pak Bandit, yang naik pangkat malah dirinya, pak manajer memujinya, aduhai… padahal yang memeras keringat dan air mata adalah teman-teman lainnya.
Tersindir dengan makna ayatNya nan indah, “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”(QS.Al-Baqarah:9).
Peristiwa sedemikian adalah amat sering kita temukan sehari-hari, di negeri manapun, di lokasi kantor atau perumahan, urusan dengan teman atau malah dengan saudara kandung. Bahkan beberapa hari ini, publik terbelalak kaget, langsung mendunia berita ‘heboh’ tentang tertipunya seorang Fulan, yang ternyata istrinya bukanlah wanita, yang disebut-sebut di media bernama Fransiska padahal nama aslinya sangat bagus, adalah Rahmat. Astaghfirrulloh…
Bahkan kemungkinan baru satu kasus itu yang ‘ketahuan’ di Indonesia, sementara pernikahan kaum homo memang sedang populer di negeri-negeri liberal saat ini. Selain malu dengan indahnya nama itu, seharusnya si empunya nama memiliki rasa malu sebagai seorang muslim, terbayang alangkah perih jiwa dan raga ibunda dan ayahnya, ketika mengetahui ananda yang sudah dikandung, dilahirkan, dibesarkan, eeeeh…. malah sim salabim berubah wujud di fotonya sebagai pengubah fitrahnya, bahkan dengan mudahnya tak hanya menipu kaum pria dan lingkungan teman dunia maya, dengan hebatnya menipu lembaga agama, institusi pemerintahan, dan penipuan terhadap sucinya untaian pernikahan! Naudzubillahi minzaliik…
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali ditemui manusia adalah jika engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR.Bukhari, shahih).
Rasa malu yang dimaksudkan adalah malu untuk berbuat yang bukan fitrah diri sebagai seorang insan, bahwa kita di muka bumi ini adalah ‘numpang’, serta meminjam segala apa yang telah diamanahkanNYA, alangkah bodoh dan kurang ajarnya pada Sang Pencipta, jika kita tidak malu berbuat pelanggaran di atas bumi kuasaNya ini. Rasa malu adalah cermin kebaikan, nan membuahkan kesucian jiwa, perkataan yang benar, ketepatan dalam memenuhi janji, serta kemuliaan atau harga diri yang tinggi. Allah ta’ala melimpahkan hidayahNya kepada kita untuk terus mendekap rasa malu dalam diri, malu untuk berbuat tercela, malu untuk melakukan hal yang dimurkaiNya, malu untuk segala penyalah-gunaan amanahNya.
Bahkan dalam redaksi hadits lain Imam Bukhari & Muslim, kita diingatkan bahwa rasa malu adalah salah satu cabang dari iman, dan jika Allah SWT hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu. Bermakna jika telah kita lihat rasa malu makin pudar dari keseharian sosok kita, keluarga dan lingkungan sekitar, (tarik nafas panjang, tanamkan semangat untuk segera mengubah prilaku ini), sebab jika makin parah dan rasa malu itu kian hilang, hancur leburlah negeri kita. Itu sangat mudah bagiNya, Sang Pemilik Semesta.
Mari kita ingat kembali, Koneksi anak-anak dengan dunia luar, televisi, handphone, internet serta pergaulan yang luas dengan teman-temannya. Efek buruk didapatkan ketika bagaimana cara berbicara, prilaku dan sikap-sikap yang terjadi di sekitarnya. Mungkin saja orang tua telah mengajak dan mencontohkan akhlaq yang baik sejak kecil, namun koneksi-koneksi ini bisa saja memiliki pengaruh yang lebih kuat tatkala perhatian kita pada anak-anak mulai meluntur.
Contohnya saja, tontonan untuk orang dewasa yang sering pula dilihat anak-anak, bicara kasar dan tertawa terbahak-bahak atau cara-cara menggoda lawan jenis sudah dianggap tontonan yang wajar. Bahkan rasa malu sengaja dihilangkan demi sebuah prestasi semu duniawi, anak-anak bisa jadi ‘malu’ karena bukan berbaju baru saat mengunjungi acara temannya, atau karena bukan memegang smart phone tercanggih, atau karena memiliki orang tua bergaji minim yang ‘hanya pekerja biasa’. Padahal seharusnya, rasa malu yang benar adalah ketika baju baru yang dipakai merupakan hasil rampokan, ketika smart phone bahkan mobil mewah yang digunakan adalah hasil membobol uang milik orang lain, atau karena semua yang menempel di badan ternyata hasil merampas harta rakyat sebagaimana para koruptor. Na’udzubillahi minzaliik…
BAGAIMANAKAH dengan kondisi putra-putri, teman-teman kita, di tanah air? Pernahkah kalian rasakan betapa nilai rasa malu telah diinjak-injak? Merinding… tatkala ada pernikahan dihiasi acara muda-mudi bergoyang dan mabuk-mabukan, mengabaikan waktu sholat, bahkan pengantin melahirkan anak di bulan berikutnya… dan hal ini sudah menjadi ‘biasa dimaklumi’ oleh masyarakat modern kini.
Para orang tua berlomba mengikut-sertakan anak-anaknya pada proyek unjuk popularitas, adu-bakat, pagelaran ‘berbunyi memunculkan prestasi’, namun sesungguhnya adalah cara-cara meruntuhkan harga diri, merobek rasa malu dari hati nan suci, supaya kian hancur generasi ummat ini. Polesan dan istilah-istilah beragam dipergunakan untuk membalut ragam program menjadi bernilai daya tarik yang tinggi serta ada kalanya ‘tampak islami’, padahal tetaplah intinya tontonan itu membuat kita lalai dan merugi, meruntuhkan pemahaman aqidah nan lurus, menimbulkan bertumpuknya lebih banyak ‘PR’ untuk kita pertanggung-jawabkan kelak.
Subhanalloh, faghfirlana… Malu kepada Allah SWT adalah dengan rasa malu yang sesungguhnya, malu saat mata kita yang super penting ini malah digunakan untuk melihat hal-hal yang dilarangNya, malu saat tubuh yang bagus ini malah diumbar demi nafsu dunia dengan mengutamakan nominal lembaran mata uang, malu saat telinga malah dipakai untuk mengupingi rahasia-rahasia saudara lain, malu jika lisan malah berbicara keburukan, ghibah, bahkan berani memfitnah saudara.
Malu di saat tidak menjaga amanah dan hidup serba palsu dengan urusan kebohongan disana-sini, malu ketika hidung dan pipi dicium-ciumkan pada sosok non mahram dengan beragam alasan pembelaan diri, malu ketika malah masih mengadakan acara-acara berikhtilat padahal sudah tau akan hukum-hukum syari’at. Malu ketika apa yang diperbuat adalah sandiwara dan rekayasa demi tujuan nafsu dunia, ketika cita-cita yang diimpikan telah menghalalkan segala cara dan melanggar rambu-rambuNya. Termasuk malu jika sulit mengeluarkan air mata tatkala bersujud padaNYA, malu karena sukar menerapkan taubat, malu karena terus-terusan keasyikan bermaksiat. Duhai Ilahi, kuatkanlah diri kami dalam menjaga rasa malu padaMu setiap masa.
Ya Allah, bimbinglah kami selalu, jauhkanlah penyakit itu dari kami, siramilah hati ini dengan cahaya hidayahMu selalu, dengan mendekap rasa malu dalam jiwa ini, malu jika kami menutup usia dalam keadaan berlumur dosa. Robbana dzolamna anfusana, wa illam taghfirlana watarhamna lanakunanna minal khasirin, Ya Alloh, wahai Tuhan kami, kami telah dzalim terhadap diri-diri kami dan apabila Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi. Allahumma ‘aamiin.
Wallohu ‘alam bisshowab.
@bidadari_azzam, Krakow 2011
*dikutip dari Catatan CintaNya di Krakow-seri 1, sebagian paragraf pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Poland dalam kajian sisters muslimah Polandia. Pernah tampil dalam website lama, dengan pembaca halaman artikel lebih dari lima ribu readers
*Penulis adalah ananda dari bapak H. Muhammad Holdoun Syamsuri TM Moorsid dan ibunda Hj. Sahla binti H. Majid, kelahiran Palembang 19 Juni 1983, blogger sejak 2007, mantan pelajar berprestasi Indonesia. Ia merupakan supporter setia suami saat bertugas menyelesaikan projek IT SAP di berbagai negara, pembimbing para muallaf dengan aktif sebagai koordinator muslimah di Islamic-Centre Krakow, Poland. Sarjana Ilmu Komunikasi, ibu tiga jagoan, sahabat pendidik dan pengamat TKI, peserta kelas Quran Hadits di Ampang Putra-KL. #PeduliKanker Saat ini aktif pula menjadi sukarelawan pengurusan jenazah muslimah.dll. Buku karyanya antara lain Catatan CintaNya di Krakow, Antologi “Indahnya Persahabatan” (2012), Sajak Mengeja Masa (Kumpulan Puisi)~2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar