Oleh: Dedih Mulyadi
KETIKA di Mesir, Ustadz Sa’ad Abdul Ghani bercerita kepada saya, tentang seorang atheis yang meyakini teori Darwin. Orang atheis ini mengajak debat beliau.
“Seluruh manusia itu asalnya dari monyet,” kata sang atheis.
Sambil tersenyum Ust Sa’ad menjawab, “Iya,,, saya setuju! Tapi itu buat kamu saja. Kalau saya sih keturunan manusia, yaitu Nabi Adam.”
Seketika itu juga atheis tersebut pergi dan marah-marah, karena tidak bisa menjawab lagi.
Lain halnya dengan ulama besar Bagdad, Imam Hasan al-Bashri yang juga ditantang oleh seorang atheis untuk berdebat tentang keberadaan Tuhan. Karena kepercayaan diri yang besar, laki-laki tak percaya Tuhan itu mengajukan syarat bahwa yang kalah harus dipancung. Al-Bashri pun sepakat.
Waktu yang disepakati pun tiba. Di suatu tempat, masyarakat Bagdad berjubel untuk menyaksikan perdebatan teologis yang monumental itu.
Mereka ingin tahu bagaimana ”nasib” Tuhan ditentukan. Ketika Al-Bashri belum tiba, si atheis telah berada di atas mimbar dan langsung berkoar-koar bahwa Tuhan hanya rekayasa manusia. Ia menunjukkan argumentasi bahwa Tuhan tidak ada, dan mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan hanyalah orang-orang terbelakang yang gampang dibodohi halusinasi.
Menjelang Zuhur, Al-Bashri belum juga tiba. Hadirin mulai cemas.
Sementara itu, si atheis tampak gembira, seolah-olah kemenangan sudah digapainya. ”Lihatlah, imam kalian tidak datang. Ia tahu akan kalah, maka dia memilih tidak hadir untuk menghindari kematian. Akulah yang menang. Tuhan tidak ada. Ikutilah aku,” teriaknya.
Tiba-tiba Al-Bashri datang tergopoh-gopoh saat forum itu hendak disudahi dan kemenangan bagi si atheis sudah di pelupuk mata.
Dengan nada menyentak si atheis bertanya, ”Kenapa engkau datang terlambat? Engkau takut kalah dan takut dipenggal, bukan?”
”Maaf,” jawab Al-Bashri serius. ”Sebenarnya sejak pagi aku telah berusaha menuju tempat ini. Seperti engkau ketahui, untuk menuju ke sini, aku harus melintasi sungai Tigris. Namun tidak biasanya, di sungai itu tidak ada satu pun perahu melintas. Akhirnya aku shalat dan berdoa kepada Allah.
“Cukup lama aku berdoa, lalu aku melihat papan-papan bertebaran di sungai itu. Kemudian papan-papan itu menyusun satu sama lainnya menjadi sebuah perahu. Dengan perahu itulah aku melintasi sungai dan sampai di sini.”
Si atheis menyela, ”Ah, mustahil. Engkau dusta, engkau mengada-ada. Mana mungkin papan-papan itu tersusun menjadi perahu tanpa ada yang membuatnya?”
Hasan Al-Bashri menjawab, ”Ya, engkau benar. Itu mustahil. Mana mungkin papan-papan itu terbentuk perahu tanpa ada yang menyusunnya. Kalau begitu, mana mungkin jagat raya, alam semesta yang mahaluas ini berwujud, berjalan teratur dengan sendirinya, tanpa ada yang mencipta dan yang mengaturnya. Bagaimana mungkin darah, tulang, daging, kulit bisa terbentuk sendiri menjadi seperti dirimu?”
Si atheis terdiam, tidak berkutik. Argumentasinya kalah oleh ucapannya sendiri. Hadirin tertegun dan memuji kebesaran Allah, Subhanallah.
Tafakkaruu fil kholqi, walaa tafakkaru fil khooliq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar