ANDAI ARISTOTELES TAHU KHILAFAH
Oleh: Choirul Anam
Sering dikatakan oleh banyak orang, jika tidak memilih demokrasi, berarti memilih monarki. Lalu dikatakan bahwa monarki akan membawa pada tirani. Kemudian, disimpulkan bahwa “kalau tidak demokrasi berarti tirani”. Oleh karena itu, sistem pemerintahan terbaik adalah demokrasi. Bahkan seandainya di dalam demokrasi terdapat kekurangan, demokrasi tetap lebih baik dibanding tirani.
Benarkah kalau tidak demokrasi berarti tirani? Untuk mengkaji hal ini kita perlu melacak para penggagas ide itu, yaitu para filusuf Yunani Kuno. Menurut Aristoteles sendiri sistem kekuasaan terbagi menjadi enam yaitu: monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi dan mobokrasi. Dengan mencermati klasifikasi jenis kekuasaan oleh Aristoteles ini, maka pernyataan bahwa “jika tidak demokrasi berarti tirani”, jelas bertentangan dengan maha gurunya sendiri. Sebab, selain tirani dan demokrasi, masih ada empat yang lain, yaitu monarki, aristokrasi, oligarki dan mobokrasi.
Selanjutnya masih menurut Aristoteles, jenis kekuasaan yang enam tadi dapat diringkas lagi menjadi tiga berdasarkan banyaknya orang yang memegang kekuasaan, yaitu apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan atau orang (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Kekuasaan di sini diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh.
Masih menurut Aristoteles, baik-buruknya kekuasaan itu tidak terletak pada jumlah pemagang kekuasaan, apakah kekuasaan itu mono, few atau many. Kekuasaan yang dipegang satu orang (mono) bisa baik, ini yang dinamakan monarki; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan tirani. Kekuasaan yang dipegang beberapa orang (few) bisa baik, ini yang dinamakan aristokrasi; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan oligarki. Kekuasaan yang dipegang banyak orang (many) bisa baik, ini yang dinamakan demokrasi; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan mobokrasi (anarki). Tentu saja yang dimaksud baik-buruk di sini, bukan dalam hakikatnya, tetapi baik-buruk menurut persepsi Aristoteles (manusia). Pembahasan baik-buruk dari aspek hakikatnya ini memerlukan pembahasan tersendiri.
Apakah dalam demokrasi, rakyat benar-benar berkuasa? Secara teori, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua jenis, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau. Namun menurut Rousseau, demokrasi langsung ini hanya mungkin dilaksanakan dalam masyarakat sederhana yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, jumlah rakyat harus sedikit, kedua pemilikan dan kesejehateraan harus sudah merata atau hampir merata, ketiga masyarakat harus homogen (sama) secara budaya, dan keempat masyarakat harus bermata pencaharian pertanian.
Dalam demokrasi langsung, secara teoritis, kedaulatan rakyat memang lebih nyata karena rakyat terjun secara langsung tanpa perwakilan. Semua warga negara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, apakah demokrasi langsung ini benar-benar ada? Tidak ada. Bahkan, pada masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan mustahilnya demokrasi langsung, maka demokrasi disulap menjadi demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap diasumsikan rakyat berdaulat. Ingat, diasumsikan. Sekali lagi, diasumsikan. Sebenarnya, rakyat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, pembuatan aturan dan UU. Yang membuat aturan adalah wakil rakyat.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat sebetulnya tidak terlibat dalam membuat UU dan aturan. Misalnya saja, dari hampir 240 juta jiwa warga negara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh sekitar 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Apakah 500 orang ini benar-benar mewakili rakyat? Secara teori memang harus begitu, tetapi jangan tanya praktiknya. Praktiknya, wakil rakyat justru mewakili para kapitalis atau mewakili dirinya sendiri atau partainya. Saat BBM dinaikkan, apakah itu wewakili suara rakyat??? Rakyat mana yang setuju BBM naik???
Dalam demokrasi, kekuasaan dan kepentingan menjadi tujuan. Karena itu kekuasaan dibagi-bagi. Oleh sebab itu, jika kekuatan-kekuatan politik berimbang, biasanya justru akan terjadi chaos (kekacauan), karena masing-masing kekuatan saling menyandra. Keadaan ini diungkapkan dengan pernyataan: bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Kondisi demokrasi yang seperti ini dinamakan dengan anarki atau mobokrasi. Anarki ini merupakan suatu bentuk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
Jadi, pernyataan bahwa jika tidak demokrasi berarti tirani, merupakan pernyataan yang tidak ada landasan teoritisnya. Penyataan bahwa demokrasi selalu membawa kebaikan, juga tidak ada pijakan teoritisnya.
***
Telah dibahas bahwa baik buruknya kekuasaan bukan ditentukan dari jumlah pihak yang berkuasa, apakah mono, few atau many. Tidak bisa diambil kesimpulan bahwa demokrasi selalu berdampak baik, baik secara teori atau praktik. Bisa jadi, kekuasaan mono itu baik atau sebaliknya. Bisa jadi kekuasaan many itu baik atau sebaliknya.
Bahkan menurut para pakar sendiri bahwa kekuasaan yang dipegang satu orang (mono) terkadang lebih baik dibanding banyak orang. Sebab, jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi karena cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Namun kekuasaan yang hanya dipegang satu orang, akan menjadi tirani karena disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa. Tetapi, saat kekuasaan di pegang oleh many juga tidak ada jaminan tidak disalahgunakan oleh banyak (many) orang yang berkuasa. Bukankah kita sering mendengar tirani mayoritas? Bukankah kita melihat dengan kepala sendiri, korupsi berjamaah oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam sistem demokrasi?
Sebetulnya baik buruknya suatu kekuasaan sangat ditentukan oleh faktor lain, yaitu paradigma pihak yang berkuasa dan juga paradigma rakyat yang membentuk sistem. Selama paradigmanya adalah bahwa aturan dibuat manusia, maka baik yang berkuasan mono, few atau many, kekuasaan akan cendrung disalahgunakan oleh pihak yang membuat aturan. Pembuat aturan akan membuat aturan yang mementingkan dirinya, kelompoknya dan kolega-koleganya. Selama paradigma kebahagiaan hanyalah terpenuhinya kebutuhan indrawi, maka baik yang berkuasan mono, few atau many, kekuasaan akan dijadikan sebagai alat untuk memuaskan nafsu serakahnya. Di sini tidak ada bedanya kekuasaan itu mono, few atau many,.
Lalu, bagaimana solusi atas masalah ini? Inilah yang membuat Aristoteles dan para filosof lainnya pusing tujuh keliling. Sebab, solusi atas masalah itu haruslah memenuhi tiga syarat:
Pertama, bahwa aturan itu harus dibuat oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal, karakter dasar manusia selalu mementingkan diri dan kelompoknya.
Kedua, pihak yang berkuasa harus memahami bahwa pertanggung-jawaban kekuasaannya harus lebih substantif, dibanding hanya pertanggung jawaban di hadapan manusia yang bisa dimanipulasi.
Ketiga, rakyat yang diatur harus memiliki pemahaman tentang aturan yang berlaku, sehingga mereka terlibat dalam memberikan kontrol kepada penguasa saat mereka mengalami penyimpangan.
Terus terang ketiga syarat ini tidak akan pernah ditemukan, kecuali hanya dalam Islam. Hanya Islam dengan sistem Khilafahnya yang akan memnuhi ketiga syarat di atas.
Pertama, dalam Khilafah, aturan datang dari Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta, yang tidak memiliki kepentingan apapun kecuali kebaikan umat-Nya.
Kedua, hanya dalam Islam, pihak yang berkuasa, siapapun dia, akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT, pada suatu hari manusia tidak akan bisa berdusta. Sikap inilah yang dinamakan taqwa. Apakah ada taqwa dalam sistem selain Islam?
Ketiga, hanya dalam Islam, rakyat memiliki pemahaman yang sama baiknya dengan para pemimpinnya. Sebab, al quran dan hadits bukan hanya dipegang oleh para penguasa, tetapi juga dipegang dan dikaji dengan teliti oleh semua rakyat. Dengan demikian, saat seorang penguasa menyimpang dari aturan Allah SWT, rakyat akan maju ke depan mengoreksi pemimpinnya yang menyimpang. Bahkan Rasulullah SAW. menyampaikan dalam hadits: “Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. (HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy).
Dalam praktiknya yang sangat panjang selama lebih dari 1000 tahun, sistem Khilafah telah membawa kepemimpinan yang adil, berkah dan membawa kesejahteraan rakyatnya. Sebagai manusia biasa, seorang Khalifah meskipun dipilih dari kalangan orang yang ber-taqwa, tetapi dalam perjalanan waktu mereka bisa menyimpang. Kita juga telah melihat bagaimana masyarakat Islam (terutama para ulama) tampil di garda terdepan untuk mengoreksi para penguasa yang menyimpang. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh para ulama itu terdokumentasi dengan sangat baik, di berbagai kitab para ulama yang datang setelah, diantaranya adalah kitab Al Islam Bainal Ulama Wal Hukkam, karya Syeikh Abdul Aziz Al Badry.
Dalam Islam telah dipisahkan dengan sangat jelas antara assiyadah (kedaulatan, pembuat undang-undang) dan assulthan (kekuasaan, pihak yang memilih Khalifah). Dalam Islam assiyadah berada di tangan Allah SWT. Hanya Allah SWT yang memilikinya. Sementara assulthan itu milik umat, artinya pemimpin dipilih oleh umat bir-ridlo wal ikhtiyar (dengan keridloan dan kebebasan). Inilah yang membedakan Khilafah dengan semua sistem pemerintahan di dunia lainnya.
Itulah Islam. Itulah sistem Khilafah.
Khilafah bukan demokrasi, namun juga bukan anarki. Khilafah bukan aristokrasi, namun juga bukan oligarki. Khilafah bukan monarki, namun juga bukan tirani. Khilafah adalah Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang datang dari Sang Pencipta alam semesta.
Saya tidak tahu bagaimana respon Aristoteles, seandainya dia mengetahui Islam dengan sistem Khilafahnya. Mungkin, dia akan menyatakan bahwa sistem inilah yang diidam-idamkannya.
Wallahu 'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar