DALAM agama kita, ya betul agama Islam, zat yang haram atau metody yang diharamkan merupakan salah satu penyebab bencana besar dalam diri manusia, bila kita lihat dan analisis dari media media yang menayangkan kasus korupsi maka yang kita lihat mereka tidak akan jauh dari penjara, penyakit, keturunan nya menjadi jauh dari Alloh dan banyak lagi hal hal yang di akibatkan karna berhubungan dengan zat haram. Mengapa harta haram bisa melahirkan kecemasan, penyakit, dan akibat-akibat buruk lainnya? Apa yang terjadi di dalam tubuh ketika kita mengonsumsi barang haram? Seperti apa prosesnya? Ada sebuah ilustrasi yang layak dikemukakan.
Ketika seorang bapak memberikan uang kepada istrinya untuk dibelikan makanan bagi anak-anak mereka, sang istri tercinta dengan sigapnya berbelanja daging di pasar. Semua tampak biasa dan wajar-wajar saja. Akan tetapi, jika ternyata uang yang didapat bapak tadi bukan uang halal, jalan ceritanya akan panjang dan pasti tidak akan “happy ending”.
Apalagi sang ibu dalam cerita ini rupanya tengah berbadan dua. Cerita pun berlanjut. Setelah diusut, ternyata uang yang dibawa pulang bapak tadi adalah uang komisi yang tidak semestinya diterima. Bapak yang pegawai senior sebuah instansi itu tentu mengetahui dan dapat membedakan mana haknya dan mana yang bukan. Karena desakan hawa nafsu ingin tampil sebagai seorang kepala keluarga yang prestatif dan dapat menduduki kedudukan terhormat di hadapan istri dan keluarganya, uang itu dia terima.
Dengan senang hatikah? Tentu tidak. Dengan jantung berdebar, sampai-sampai ia sendiri merasa bahwa jantungnya bisa saja putus saat itu juga. Keringat dingin meleleh di sepanjang tulang punggungnya. Dadanya terasa sesak. Kemeja yang dikenakannya serasa melekat erat bak pakaian senam. Nafas tersenggal-senggal dan kepala terasa pening melayang. Itulah pertanda seluruh tubuhnya sepakat menolak berpartisipasi melakukan perbuatan dosa. Allah Swt berfirman :
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (Al-Qur’an) yang serupa lagi berulang-ulang. Bergetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka pada waktu mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar [39] : 23)
Sayangnya, ia tidak menuruti kata hati dan seluruh system tubuhnya untuk taat kepada Allah. Akibatnya, getaran rasa bersalah itu mengguncangkan system normalitas dan homeostatis alias keseimbangan internal dirinya. Hormon ketakutan yang diperankan skotofobin membuncah dan mendorong ketidakseimbangan hormonal lainnya. Metabolisme tubuh mengalami perubahan secara drastic. Para electron, proton, quark, lepton, boson, dan fermion yang tengah bertasbih dan bertawaf terganggu ritmenya. Akibatnya, mereka membangun sebuah keseimbangan baru sehingga sebagai efek kompensasi. Sebagian dari mereka menjadi liar karena kehilangan pegangan. Sunatullah yang termanifestasi berbagai aturan yang menjamin keteraturan yang bersifat sistemik tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Konsep larangan Pauli yang memisahkan antara electron dan arah spin yang sama dalam orbital Bohr yang berbeda tidak lagi dipatuhi. Para electron semuanya berloncatan dan bertingkah laku semaunya!
Uang yang notabene hanya sekedar kumpulan karbon bebentuk kertas dan sama sekali tidak berdosa apabila terpegang “tangan-tangan kacau” akan tertular dan menunjukkan sifat serupa. Kertas uang akan menjadi media penghantar multilevel dosa (MLD). Sang ibu yang kemudian berbelanja dan membeli setengah kilo daging sapi yang halal karena disembelih dengan menyebut nama Allah, akan terciprat efek dosa. Hal tersebut seperti molekul dalam gerakan Brown yang membentur sana-sini dan berzig-zag kian kemari mencipratkan tetesan dosa akibat dorongan panasnya energy kinetic rasa bersalah. Ketika daging sapi yang halal itu terpegang oleh ibu yang terkena efek gerak Brown dosa, akan berubah menjadi sekumpulan atom C, H, O, N, P, dan K yang resah dan gelisah. Bukankah hampir semua elemen di alam semesta bersifat dielektrik?
Ya, daging itu telah menjadi medium turunan ketiga dari sebuah dosa. Jangankan terpegang, dikantongi plastik saja dan plastik itu “dicengkiwing” hanya oleh satu ibu jari dan dua jari anak buahnya, sifat semi konduktornya tetap akan menjadi penghantar bagi proses multi level dosa.
Ketika daging itu disemur, lalu dimakan beramai-ramai, maka ketika sampai di lambung dan saluran pencernaan, amilase, gastrin, pepsin, tripsin, garam empedu dan juga lipase ogah-ogahan menjamunya karena mereka menganggapnya tidak dikenal.
Jadilah daging itu diolah seenaknya dan tentu semaunya juga! Blok pembangun yang semestinya kelak dapat menjadi bagian dari kesalehan dan kejeniusan otak seorang anak, gagal menjadi protein. Bahkan, banyak diantaranya menjadi gugus sterol alias lemak. Lemak ini akan terakumulasi menjadi hormon steroid dari anak ginjal yang mendorong terciptanya rasa cemas, gelisah, khawatir, dan ketakutan.
Coba bayangkan, hanya dari sekerat daging sapi yang semestinya halal, anak-anak dari keluarga muda itu akan tumbuh menjadi anak-anak pemarah, murung, gelisah dan ketakutan, tanpa mereka pernah mengetahui penyebabnya. Jika mereka dewasa dan menjadi pribadi berakhlak kurang mulia, siapakah yang bertanggung jawab dan terbebani oleh dosanya? Tentu bukan para downliner? Kitalah, para orangtua yang berperan sebagai up-line yang akan menuai badai bonus dosa. Na’udzubillahi mindzalik. [
Tidak ada komentar:
Posting Komentar