“…….. Jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
SABDA Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria ini tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja yang melayani orang banyak, bukan sekedar penguasa.
Ayat ini juga yang dirujuk dari pernyataan Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syar’iyah tentang kriteria pemimpin yang baik. Beliau menjelaskan, kriteria pemimpin itu secara singkat, ada dua yakni kuat (mampu) dan amanah.
وينبغي أن يعرف الأصلح في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة
”Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memilikidua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”
Kriteria Pertama: Kuat atau Profesional
Kriteria ini menyebutkan, kekuatatan dalam segala bentuknya. Bisa bermakna kuat secara fisik, dalam arti berbadan sehat dan mampu menjalani tugas-tugas sebagai pemimpin. Tidak memiliki kekurangan fisik, baik karena usia atau karena penyakit, yang bisa mengurangi peran dan tugasnya selaku pemimpin. Kekuatan atau kemampuan, juga berarti profesional dan memiliki kapasitas sebagai ruang lingkup kepemimpinannya. Kapasitas pemimpin ini seiring sejalan dengan kepemimpinan yang dijalani. Kapasitas pemimpin yang dimiliki seorang ketua RT sangat berbeda dengan kapasitas pemimpin yang harus dimiliki seorang lurah. Kapasitas lurah juga jauh berbeda dengan kapasitas seorang camat. Begitupun, kemampuan dan kapasitas seorang walikota, jauh berbeda dari kapasitas yang wajib dimiliki seorang pemimpin negara.
Itulah sebabnya, Al-Qur’an pun memberi penegasan kepada kita dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja bukan hanya karena dapat dipercaya (amin), tapi juga pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Kriteria “hafizh”dan “al-‘aliim” artinya mampu menjaga amanahnya dan memiliiki kapasitas dalam kepemimpinannya. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Sifat al-‘Alim di sini artinya sejalan dengan pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin, dan mengetahui secara baik ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”.
Termasuk dalam kriteria al-‘alim di sini adalah pemimpin harus mengerti tentang agamanya, atau setidaknya, lebih dekat dengan para ulama, sebagai pihak yang akan membantu dan menuntunnya dalam menjalani tugas kepemimpinan. Pemimpin yang tidak tahu agama, akan mudah disimpangkan orang yang ada di sekitarnya, untuk tidak mendukung situasi yang menumbuhsuburkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Padahal, seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat.
Kriteria kedua : Amanah atau Tidak Berkhianat
Amanah atau tidak berkhianat dan tidak menyimpang. Kriteria ini bisa dilakukan dengan melihat rekam jejak pemimpin. Pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Jadi kedudukan pemimpin adalah takliif, yang sifatnya pembebanan, tukan tasyriif atau sesuatu yang memuliakan. Selain sifat kuat dan mampu yang harus dimiliki pemimpin, ia juga harus menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Seseorang bisa dianggap gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat). Karena kepemimpinan itu memiliki nilai yang penting dalam struktur masyarakat, maka godaan kepemimpinan itu juga tentu lebih besar. Bisikan dan fitnah yang mengganggu seorang pemimpin, lebih tinggi dari bisikan dan godaan yang dialami orang biasa. Seorang pemimpin yang lemah bisa terjerumus pada sikap khianat, ketika ia lebih mementingkan pribadi atau meletakkan kepentingan kelompoknya, meski dengan meninggalkan dan mengorbankan amanah yang telah diberikan dari masyarakat yang percaya kepadanya.
Maka, figur pemimpin harus dilingkari oleh lingkungan orang-orang yang memang terbukti amanah dan mendukung kebaikan yang diperjuangkan untuk masyarakat. Betapapun baiknya seorang pemimpin, tapi bila ia dilingkari oleh orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dengan tegaknya nilai-nilai Islam di masyarakat serta menolak lahirnya kebijakan dan peraturan yang lebih menghidupkan Islam di berbagai lini, maka pemimpin itu pun akan terjerumus dengan informasi dan arahan orang sekelilingnya. Inilah sebenarnya esensi dari hadits Rasulullah SAW,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman.”HR. Abu Dawud no. 4833 Ahmad, Tirmidzi no. 2379 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Makna hadits ini adalah, jika seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Kalau ada orang yang gemar berkumpul dengan orang yang tidak suka melihat Islam bangkit, maka kira-kira itulah cermin pikirannya. Jika ada orang yang ada di pihak orang yang tidak ingin Islam ini terus tumbuh subur dan syariatnya sedikit demi sedikit terjawantah di masyarakat, maka seperti itulah pikiran orang itu. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, dekat dengan para ulama, meskipun orang tersebut pasti memiliki kekurangan, tapi setidaknya orang tersebut lebih mendekati pada kebenaran.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, tidak memiliki sifat khianat, dan kuat atau memiliki kapasitas sesuai ruang lingkup jabatannya.
Setiap kita harus menentukan pilihan pemimpin terbaik bagi bangsa ini. Mari kita simak kesimpulan dari Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah tentang kriteria pemimpin yang dikehendaki Al-Qur’an dan dijabarkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, memiliki panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), memiliki kesehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Semoga Allah SWT memberikan bangsa kita pemimpin yang lebih mendekat pada kriteria-kriteria itu. [Dikuitp dari Buletin El-Baraka, Edisi No 1 / 5 Juli Tahun 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar