(Catatan seorang kawan)
Punya masa depan yang cerah tentu jadi harapan semua orang. Bisa hidup mapan, karir tinggi, punya penghasilan yang cukup – pastinya semua orang mengamini. Dan untuk mewujudkan hal itu, setiap orang pun terpacu untuk berusaha dan memaksimalkan kemampuan dirinya.
Namun dalam perjalanan menggapai kesuksesan, seringkali muncul berbagai halangan. Kadang kita pun harus melewati momen jatuh bangun yang melelahkan. Bahkan saat kegigihan sedang ditempa, tak jarang banyak orang yang memandang sebelah mata. Meremehkan niat, kemampuan, dan impian-impian besar yang ingin diwujudkan segera. Tapi,
“Haruskah saya merasa tak terima? Tidakkah diremehkan malah membuat semangat saya berlipat-lipat kuatnya?”
Wajar jika saya sakit hati karena diremehkan. Toh tidak seorang pun mau dianggap lemah atau punya kemampuan yang pas-pasan.
Di dunia ini, tidak seorang pun manusia yang mau direndahkan dan diremehkan. Pada hakikatnya, manusia lebih suka dipuji atau dielu-elukan. Itulah alasan mengapa banyak orang yang akhirnya berusaha memaksimalkan kemampuan diri, salah satunya agar tidak diremehkan atau sekadar butuh pengakuan.
“Tugas kelompok biar aku aja yang ngerjain. Kayaknya aku lebih tahu tentang tema ini daripada kamu.”
Mendengar kalimat semacam itu misalnya, wajar jika saya merasa sakit hati. Saya dianggap tidak punya cukup kemampuan. Orang lain tidak percaya dengan apa yang mungkin sebenarnya bisa saya kerjakan. Padahal, sepatutnya saya diberi kesempatan. Menunjukkan apa yang saya bisa kerjakan, tidak lantas begitu saja diremehkan.
Tapi baiknya, dianggap remeh tidak membuat saya larut dalam emosi – menyimpan dendam atau bahkan merutuki kekurangan diri sendiri.
Setiap orang tentu punya cara yang berbeda untuk menghadapi situasi semacam ini. Ada yang mungkin sedih, marah, atau bahkan biasa saja ketika diremehkan oleh orang lain. Untungnya, saya merasa bisa menghadapi hal ini dengan cukup bijaksana. Tidak semata-mata marah, sedih, atau bersikap cuek tanpa keinginan untuk introspeksi diri. Ketika diremehkan oleh orang lain, saya justru segera melakukan refleksi.
“Kenapa sih saya diremehkan? Apa mungkin saya memang belum punya cukup kemampuan? Atau, orang yang merehkan saya sebenarnya hanya iri dan tidak senang?”
Pertanyaan-pertanyaan macam itu akan beberapa saat berputar-putar dalam kepala. Bukan hanya emosi, menyimpan dendam, atau justru merutuki diri – yang saya lakukan justru semata-mata ingin memperbaiki jika ada kekurangan yang saya miliki.
Dianggap tidak punya kemampuan berarti tamparan, yang justru membuat saya sadar lalu bangun untuk segera melakukan sesuatu.
Saya tidak mau menyimpan sakit hati yang terus-menerus. Seketika sakit hati wajar saja, tapi setelahnya saya harus bisa menetralkan rasa. Karena semakin lama menyimpan sakit hati, semakin saya akan menyakiti diri sendiri. Semakin saya menyimpan dendam, maka semakin saya tidak bisa maksimal mewujudkan masa depan.
Prinsip itulah yang akhirnya mendorong saya untuk sadar. Meskipun pandangan remeh dari orang lain itu ibarat tamparan, tamparan itu juga yang membuat saya bangun – bangun untuk segera melakukan sesuatu. Jika benar kemampuan yang saya miliki memang kurang, satu-satunya yang harus dilakukan adalah membuat perbaikan.
Pandangan miring orang lain juga menjadikan saya semakin terpacu. Meyakinkan diri bahwa tidak ada pilihan lain kecuali melangkah maju.
Selain menyadarkan saya untuk memperbaiki diri, diremehkan orang lain justru membuat saya terpacu. Bahwa dengan keterbatasan yang saya punya, saya tetap menyimpan keyakinan atas mimpi dan harapan-harapan saya. Dan dengan keterbatasan yang saya punya pula, saya mau terus gigih berusaha.
Tentu saja bukan semata-mata ingin membuat pembuktian. Bagaimana pun, mendapat pengakuan bukan hal utama yang ingin saya kejar. Lebih dari itu, kepuasan atas perjuangan diri sendiri justru yang paling saya inginkan. Saya mau sukses karena saya memang ingin. Saya mau berhasil karena memang saya mau.
“Dan ketika kekuatan itu munculnya dari dalam diri. Bukan hal yang mustahil untuk menggapai apa yang paling diingini.”
Maka, terima kasih untuk siapapun yang pernah meremehkan saya. Karena hari ini dan seterusnya, saya berjanji untuk jadi orang yang luar biasa.
Unik memang, karena diremehkan ternyata tidak melulu berakhir buruk bagi seseorang. Ada kalanya justru ‘pernah diremehkan’ membuat seseorang menjadi lebih kuat. Alih-alih terpuruk, ia malah bangkit dan semakin gigih untuk melakukan yang terbaik. Bukan sebagai pembuktian pada orang yang pernah meremhkan, tapi semata-mata demi tujuan awal – menggapai apa yang paling diinginkan.
Maka, saya berterima kasih untuk siapa saja yang dahulu pernah meremehkan saya. Terima kasih karena pernah menyakiti hati saya. Terima kasih pernah menyadarkan saya untuk bangkit dan melakukan perbaikan. terima kasih karena telah mamacu diri saya untuk mewujudkan apa yang paling saya impikan.
Mantap......artikelnya bagus ...ya memang begitu hidup yg hrs diLalui kita
BalasHapus...tidak enak terus atau susah terus
Mantap......artikelnya bagus ...ya memang begitu hidup yg hrs diLalui kita
BalasHapus...tidak enak terus atau susah terus