BERBAGAI karunia Allah selalu menyertai/mengawal kehidupan kita baik dalam keadaan lapang dan sempit. Baik dalam keadaan patuh kepada-Nya maupun dalam kondisi berpaling dari ayat-ayat-Nya. Sesungguhnya Allah memberikan kepada kita nikmat yang luar biasa banyaknya dan karunia yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam al-Quran, Allah berfirman, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, pasti kamu tidak sanggup menghinggakannya.” ( QS. An-Nahl (16) : 18)
Di antara nikmat yang tidak terhitung itu adalah ni’matul wujud atau nikmat kehidupan. Bahwa kita dijadikan salah satu makhluk-Nya yang dimuliakan yang hidup di alam raya ini. Kehidupan ini memberikan kepada kita hak-hak yang luar biasa banyaknya setelah Allah swt memberikan eksistensi/keberadaan diri kita dalam kehidupan.
Karunia kedua, ni’matul insan, fakta bahwa kita adalah manusia yang ditetapkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan, keunggulan dalam struktur jasmani dan ruhani dibanding makhluk-makhluk lainnya.Sekiranya kita dikaruniai kehidupan tetapi tidak menjadi manusia, atau postur tubuh kita adalah manusia, tetapi suara kita bagaikan kera, bagaimanakah perasaan kita ?. Sebagaimana bangsa Bani Israil yang pernah dikutuk oleh Allah SWT. Yakni menjadi monyet yang hina. Sekalipun ada dua pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang berpendapat manusia beralih fungsi karakternya, dan ada yang berpendapat berubah postur tubuhnya.
Karunia ketiga, ni’matul ‘aql atau karunia akal. Allah swt memberi kepada kita kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk menjelaskan, kekuatan untuk memahami ayat-ayat-Nya yang tersurat dan tersirat, diantara ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis adalah fenomena di alam raya ini.
Lebih dari pada itu, ada karunia yang jauh lebih besar. Yakni, ni’matul hidayah ilal Islam, karunia petunjuk menjadi seorang muslim. Inilah nikmat yang paling mulia dan paling berharga. Dan ini tidak Allah berikan kepada semua manusia, melainkan hanya kepada kita. Sesungguhnya kenikmatan beragama hanya Aku berikan kepada hamba yang Aku pilih dari hamba-hamba-KU yang shalih (al Hadits). Karena itu nikmat ini haruslah kita syukuri. Inilah jalan satu-satunya yang Allah berikan kepada kita agar kita mendapat kebaikan/kemuliaan di dunia dan di akhirat.
“Jika kamu mensyukuri nikmat-Ku, pasti akan Aku tambah. Tapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, ketahuilah bahwa adzab-Ku pasti pedih .” (QS. Ibrahim (14) : 7)
Cara Menyukuri Nikmat
Mensyukuri nikmat hidayah Islam itu dengan beberapa cara. Pertama, syukuri nikmat ini dengan menumbuhkan perasaan bahwa kita bangga dan mulia dengan beragama Islam. Kita harus merasa bangga, percaya diri bahwa kita adalah orang Islam. Katakan kepada semua orang dengan penuh kebanggaan, ”Saya adalah orang Islam. Saya adalah umat tauhid. Saya adalah umat Al-Qur’an. Saya adalah umat Muhammad saw.”
Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
“Katakanlah, Hai Ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan suatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran (3) : 64).
“Maka tatkala ia merasakan keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia, Siapakah yang menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah ? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab : Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri.” (QS. Ali Imran (3) : 52).
Kita harus bangga bahwa kita adalah muslim. Karena faktanya bahwa Islam itu diturunkan sebagai misi dimana Muhammad saw sebagai Rasulnya, juga diturunkan ke muka bumi dengan tujuan menyebarkan kasih sayang. Karena itu kita haruslah bangga, karena kitalah yang dinanti-nanti/dirindukan oleh umat manusia. Kita rahmat bagi alam semesta ini. Kita bagaikan air yang dirindukan oleh orang yang haus dahaga. Kita adalah makanan yang sedang dimimpikan oleh orang yang lapar. Kita adalah thabib yang ditunggu-tunggu para pasien.
Fakta lain, kita harus bangga menjadi muslim, adalah bahwa kita mempunyai kitab suci. Al-Qur’an sendiri telah menjamin bahwa kitab ini tidak mungkin ternodai. Tidak satu huruf atau titik pun yang akan merubah kesucian al-Qur’an yang sudah pasti di pelihara oleh Allah. Karena itu kebenaran al-Qur’an akan tetap abadi. Al-Qur’an yang ada di Indonesia adalah al-Qur’an yang ada dan dibaca oleh saudara-saudara kita di muka bumi lain. Al-Qur’an yang dicetak di Indonesia, Arab Saudi, Mesir adalah al-Qur’an yang dicetak di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita mempunyai alasan yang sangat kuat bahwa kitalah pihak yang paling berhak menyampaikan kebenaran dari Allah kepada seluruh umat manusia.
Kita adalah rahmat untuk seluruh umat manusia. Rahmat bagi yang jauh dan dekat. Rahmat dalam keadaan damai dan keadaan perang. Rahmat untuk muslimin dan muslimat. Rahmat untuk manusia dan binatang. Rahmat untuk muslim dan non-muslim. Rahmat untuk lingkungan social kita. Al-Quran sendiri yang terdiri dari 114 surat, semuanya diawali dengan bismillahirrahmanirrahim kecuali surat at Taubah. Ini menunjukkan bahwa sifat yang menonjol, dan melekat pada diri Allah SWT adalah Ar Rahman dan Ar Rahim. Rahmat-Nya agung, Rahmat-Nya selalu mengalir, membasahi seluruh alam. Panutan kita Rasulullah saw dalam peri hidupnya memiliki sikap kasih sayang. Demikianlah Allah swt memuliakan kita dengan al-Qur’an dan Rasul-Nya.
Cobalah perhatikan, pernah dalam suatu pertempuran Rasulullah saw menyaksikan ada seorang perempuan yang ikut terbunuh. Lalu beliau mengatakan kepada para sahabatnya, ”Tidak mungkin perempuan ini ikut berperang sehingga ia tidak layak di bunuh.” Demikian rahmat Islam dalam peperangan. Rasulullah saw melarang umatnya untuk membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, para pendeta, merusak tempat ibadah, memotong pohon. Perang adalah perkara yang sangat dibenci dalam Islam meskipun perang itu sebagai kenyataan yang dipaksakan dalam kehidupan. Itulah sebabnya Islam menjelaskan bahwa kita adalah rahmat untuk manusia sekalipun kita berperang.
Tidak ada manusia yang mencintai perang. Tidak ada manusia yang senang dengan pertumpahan darah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw ada kesempatan untuk membunuh lawan-lawannya dalam peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), tapi itu tidak pernah dilakukan oleh beliau. Ketika seluruh orang Quraisy berkumpul di sekeliling masjidil Haram sebagai pihak yang kalah, Rasulullah saw bertanya kepada mereka, ”Apa yang kalian duga yang akan saya lakukan kepada kalian?” orang-orang Quraisy itu tertunduk dengan mengatakan, ”Kami menduga engkau pasti akan melakukan sesuatu yang baik bagi kami karena engkau adalah saudara kami yang mulia (akhun karim),” Kemudian Rasulullah saw mengatakan kepada mereka, ”idzhabu faantum thulaqa’. (laa yatsriba ‘alaikumul yaum) Hari ini tidak ada dendam. Hari ini kalian bebas semuanya. Pergilah semuanya, kalian bebas.”
Lihatlah bagaimana Rasulullah memperlihatkan kasih sayang, ketulusan dan kecintaannya. Bandingkan dengan karikatur yang digambarkan oleh orang-orang Denmark tentang Rasulullah dengan kartun yang menggambarkan Rasulullah dikelilingi perempuan sambil menghunus pedang. Itu sangat berlawanan (kontradiktif) dengan kemuliaan dan kasih sayang Rasulullah saw. Karena ternyata fakta sejarah menunjukkan Rasulullah saw justru mampu memunculkan rasa kasih sayang hingga dalam situasi beliau mampu melakukan apa saja terhadap musuh-musuhnya.
Bila kewajiban kita adalah mensyukuri nikmat Islam, maka kita harus bangga dengan Islam, dan itu artinya kita harus istiqamah dan konsisten serta konsekwen dengan ajaran Islam. Tidak cukup dengan kata-kata bahwa kita adalah muslim, tapi kita harus mengamalkan apa yang diajarkan oleh Islam. Islam harus mewarnai kehidupan kita, dalam cara berpikir, bersikap, merasa, dan dalam seluruh gaya hidup kita semuanya. Islam sebagai pengarah tunggal dalam segala aspek kehidupan kita. Aspek ideology, politik, social, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan keamanan. Jika kehidupan ini tidak ditemani oleh Islam akan membuat pemburunya kecewa dan akan terjadi penyesalan sepanjang hayat.
Jadi Islam adalah darah daging kita, sebagaimana slogan pada perang Uhud, “Dinuka lahmuka” (agamamu adalah darah dagingmu), jati diri kita. Disinilah rahasia kemuliaan, kejayaan dan kemenangan kita secara mikro dan makro.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, mereka itulah sebaik-baik makhluq (QS. Al Bayyinah (98 ):7) .[Shalih Hasyim, ditranskip dari pidato Ketua Persatuan Ulama Dunia Dr. Syeikh Yusuf Al Qaradhawi dalam lawatan akhir di Indonesia]
SETELAH kita mensyukuri nikmat Allah, bahwa kita sebagai Muslim, dengan mengamalkan ajaran Islam dengan penuh konsisten, saya ingin agar setiap Muslim menumbuhkan dan memiliki solidaritas dengan sesama Muslim yang lain.
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, tidak termasuk golongan mereka.” (al Hadits).
Bukan hanya untuk sesama Muslim yang berada di Indonesia tapi juga bagi seluruh saudara-saudara Muslim di seluruh muka bumi. Seorang Muslim tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri sehingga tidak peduli dengan kehidupan saudara-saudaranya kaum Muslimin yang lain. Tapi setiap Muslim ketika melakukan shalat, ia mengatakan, ”Iyyaka na’budu waiyyaka nastai’in..” (Kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mu lah kami meinta pertolongan..)
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT.” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Mengapa ayat al-Qur’an menggunakan lafazh “kami” dalam ayat tersebut, karena kita tidaklah sendiri melainkan kita adalah satu kelompok besar manusia, kita adalah satu umat. Kita adalah bagian dari seluruh umat Muslim dunia. Begitu juga Allah swt tidak menyeru dengan menggunakan lafazh “Yaa ayyyuhal mukmin, wahai orang beriman, melainkan dengan panggilan, “Yaa ayyuhal ladzina amanu, wahai orang-orang yang beriman, yakni dengan menggunakan lafadz jamak yang berarti banyak.
Oleh karena itu kaum Muslimin harus hidup bahu membahu. Jadilah engkau seperti kedua tangan, saling bergandengan (kun kalyadaini). Janganlah engkau seperti kedua telinga, berdekatan jarak tetapi tidak memiliki alasan untuk akrab, dekat dan erat (walaa takun kal udzunaini). Secara fisik saling berhimpitan, tetapi hatinya saling berselisih. Dekat di mata, jauh di hati. Yang kuat mengayomi yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin. Kita adalah umat yang satu, yang saling membantu. Ukhuwah adalah pelajaran Islam yang paling penting. Ukhuwahlah yang bisa membangkitkan dan menyatukan umat saat ini. Sebab meskipun kita memiliki jumlah umat yang besar dan jumlah harta yang banyak, sumber daya alam yang melimpah, sumber daya insan yang berkualitas, tetapi ketika kita menyaksikan ukhuwah itu hilang, maka kita menjadi kelompok paling lemah/hina di antara kelompok umat manusia.
Rasulullah saw mengilustrasikan seorang Muslim dengan Muslim lainnya ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan. Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw menjelaskan dengan merapatkan jari jemari dari dua tangannya sebagai visualisasi kedekatan, kekerabatan dan kekuatan satu sama lain dalam tubuh umat ini.
Bahkan dalam kesempatan yang lain, beliau mengatakan Muslim satu dengan Muslim yang lain ibarat satu tubuh, dimana jika satu organ tubuh sakit, maka yang lainnya akan merasakan sakit pula. Hanya dengan inilah umat Islam menjadi kuat di mata umat lainnya. Maka apa yang membuat saudara-saudara kita menangis di tempat lain, itu pun seharusnya membuat kita menangis di sini, meskipun kita tidak bersama dengan mereka. Bila saudara kita di belahan bumi lainnya mendapatkan kesenangan dan tertawa gembira, itu juga yang membuat kita tertawa bahagia di sini. Jauh dimata, dekat di hati.
Dalam sebuah syair disebutkan, ”Sesungguhnya musibah menyatukan kita,” Dan saat sekarang ini kita menyaksikan begitu berat kondisi saudara-saudara kita di berbagai belahan bumi Allah swt. Lihatlah bagaimana kondisi saudara-saudara kita di Palestina, Afghanistan, Iraq, Somalia, dan berbagai tempat lainnya. Umat Islam sekarang melewati fase krisis yang sangat berat, melebihi krisis yang pernah dilewatinya dalam sejarah. Begitu banyak jiwa melayang di sana, begitu banyak darah yang mengalir di negeri-negeri itu.
Di Palestina, mereka menyulut api fitnah untuk memecah barisan perlawanan kaum Muslimin terhadap penjajah Zionis Israel. Mereka ingin pecah perang saudara, antara sesama anak bangsa Palestina. Saya katakan, tidak boleh, haram, terlarang saling membunuh sesama saudara. Begitu juga di Iraq, api fitnah berkobar-kobar antara pengikut Sunni dan Syiah.
Padahal sebelumnya mereka bisa hidup berdampingan. Berulang kali dikaatakan dalam khutbah para ulama di dunia Islam, dilarang saling bunuh sesama umat Islam. Beliau katakan kepada saudara-saudara di Palestina, antara Hamas dan Fatah, bahwa mereka tidak boleh menumpahkan darah satu orang pun dari rakyat Palestina. Beliau juga katakan kepada saudara-saudara warga Syiah di Irak, karena merekalah yang lebih bertanggung jawab atas apa yang kini terjadi di sana. Itu karena mereka memiliki kekuatan yang lebih besar, memiliki referensi agama yang kuat, dimana bila mereka katakan, ”Hentikan pembunuhan atas Muslim Sunni…” maka pertumpahan darah pun bisa berhenti.
Saudara-saudara Muslim di Indonesia mempunyai kewajiban untuk memainkan peran lebih besar untuk mendinginkan api konflik di dunia Islam. Indonesia negeri Muslim terbesar di dunia. Indonesia tidak memiliki masalah dengan negara-negara Islam lainnya.
Maka, jika Indonesia memainkan perannya, itu akan lebih mudah didengar dan diikuti. Indonesia mempunyai kesempatan dan kekuatan untuk bertindak sebagai mediator/wasit dalam masalah konflik di berbagai negeri Islam.
Alangkah perlunya kita saat ini untuk mewujudkan peran strategis itu, sehingga kita bisa menyatukan langkah dan arah perjuangan serta cita-cita besar ke depan. Hanya dengan persatuan seperti ini lah kita bisa menjadi kuat dan berwibawa serta disegani sebagai sebuah umat. Dan hanya dengan persatuan inilah kita bisa mengembalikan izzul Islam wal Muslimin sebagaimana yang pernah diraih oleh para pendahulu kita yang shalih (salafush shalih). Wallahu Allahu a’lam bish Shawab. [Shalih Hasyim, ditranskip dari pidato Ketua Persatuan Ulama Dunia Dr. Syeikh Yusuf Al Qaradhawi dalam lawatan akhir di Indonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar