INILAH.COM, Jakarta --Perang saudara yang kini berkecamuk di Suriah mengarah
pada perang sektarian antara kelompok mayoritas Islam Sunni dan Islam Shiah.
Kelompok oposisi yang mayoritas menganut Islam Sunni didukung oleh
negara-negara kaya minyak di Teluk Arab, Amerika Serikat dan sekutunya di
Eropa.
Sementara
kubu pemerintah Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad representasi dari kubu
Islam Shiah dari aliran Alawiyah, didukung oleh Iran, Rusia dan China.
Sebetulnya
peperangan ini sungguh merugikan umat Islam. Tokoh Shiah dan bekas Presiden
Iran Ayatollah Akbar Hashemi Rafsanjani dan pemikir terkemuka Sunni Yusuf
Al-Qadarawi “menekankan tak perlu sampai terjadi gontok-gontokan antara
penganut Sunni dan Shiah,” dan mesti “mewaspadai konspirasi kekuatan-kekuatan
hegemoni dan Zionsime yang memang bertujuan melemahkan Islam.”
Apa
sebetulnya perbedaan yang mewarnai Islam Sunni dan Shiah? Berikut penjelasan
yang dirangkum dari berbagai sumber:
Teologi
Lima
rukun Islam menjadi kewajiban setiap Muslim. Kewajiban itu meliputi;
mengucapkan kalimat sahadat, menjalankan salat lima waktu, berpuasa di bulan
Ramadan, mendermakan zakat dan berhaji ke Mekkah. Lima pilar ini sangat penting
bagi Muslim Sunni.
Lima
rukun Islam itu juga diterima kaum Shiah. Tapi kaum Shiah menganggap dua konsep
terpenting untuk mendefinisikan agama sebagai sebuah kesatuan, yakni Akar Agama
(usul al-din)
dan cabang-cabang agama (furu
al-din).
Pewaris Nabi Muhammad SAW
Kaum
Sunni meyakini bahwa Abu Bakar, ayah Aisha isteri Nabi Muhammad, adalah
pengganti sah dan bahwa metode memilih para pemimpin (shura) seperti yang
termaktub dalam Al Qur’an adalah berdasar musyawarh umat.
Sementara
kaum Shiah meyakini bahwa Muhammad boleh mewariskan kepemimpinannya kepada
keponakan dan menantunya Ali (ayah Hasan dan Hussein ibnu Ali, yang juga para
cucu Nabi) sesuai dengan perintah Allah untuk menjadi kalifah berikut
sepeninggal Muhammad. Ali menikah dengan Fatimah, puteri Muhammad.
Aisha,
isteri Nabi, mengusulkan ayahnya Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad. Dalam
Perang Jamal (656 M) di luar kota Basrah (sekarang masuk wilayah Irak), Aisah
berseberangan dengan menantunya tirinya Ali, karena Aisha menghendaki agar
pembunuh kalifah sebelumnya diadili.
Pasukan
Aisha kalah dan janda Nabi ini dihormati dan dikawal kembali ke Medinah. Kaum
Sunni meyakini empat kalifah sepeninggal Muhammad yang patut memimpin umat
Islam, adalahAbu Bakar (622-634), Umar ibnu al-Khattab (634-644), Usman ibnu
Affan (644-656) dan Ali ibnu Abi Talib (656-661).
Teologi
Shiah meredusir legitimasi tiga kalifah pertama dan meyakini Ali sebagai
kalifah yang paling layak menjadi orang mewarisi ajaran Muhammad. Dan para keturunan
Mohammad dari Fatimah (anak Nabi dari isteri Khaijah binti Khuwailid), menjadi
satu-satunya para pemimpin Islam yang sah (imam).
Keimaman
dalam Shia lebih mengemukakan fungsi Kenabian daripada Kekalifahan di kalangan
Sunni. Tidak seperti kaum Sunni, Shiah meyakini kualitas spiritual tidak hanya
diberikan kepada Nabi Muhammad,namun juga kepada Ali dan para imam lainnya.
Sementara
Shiah meyakini para imam jauh dari dosa dan kesalahan manusia (ma’sum), dan dapat
memahami serta menerjemahkan ajaran Islam yang tersembunyi. Dalam pengertian
ini,imam adalah wali kepercayaan yang mendapat sinar Nabi Muhammad (Nur Muhammad).
Imam Mahdi
Sementara
Shiah dan Sunni berbeda pendapat mengenai siapa sesungguhnya Imam Mahdi, tapi
banyak orang dari dua aliran besar Islam ini (khususnya kaum Sufi), meyakini
Imam Mahdi akan muncul pada akhirul zaman yang membawa keadilan dan
kesempurnaan di dalam masyarakat Islam.
Dalam
Shiah “simbol Imam Mahdi dikembangkan menjadi ide keagaman sentral dan kuat.
Shiah yakin Imam Mahdi sesungguhnya adalah Muhammad al-Mahdi, Imam ke-12 yang
kembali darikesirnaannya,
karena disembunyikan Allah sejak tahun 874 M.
Sebaliknya,
arus besar Sunni meyakini Imam Mahdi akan bernama Muhammad, yang bisa berasal
keturunan Mohammad, yang dapat menghidupkan kembali keyakinan datangnya Imam
Mahdi, tapi tidak perlu terkait dengan akhir zaman. Namun Al Qur’an tidak
merujuk adanya Imam Mahdi.
Hadis
Shiah
menerima beberapa hadis yang digunakan oleh kaum Sunni sebagai bagian sunnah
Rasulullahuntukberargumentasi. Sebagai tambahan, mereka menganggap perkataan
Ahlul Bait yang tidak berhubungan langsung dengan Muhammad,juga sebagai hadis.
Shiah
tidak mau menerima hadis-hadis kaum Sunni, kecuali hadis-hadis itu juga terekam
dalam sumber-sumber Shiah.
Namun,
beberapa kalangan Sunni dapat menerima hadis yang kurang disukai kaum Shiah.
Salah satu contoh: karena posisi Aisha terhadap Ali (menantu tiri), maka hadis
yang diriwayatkan oleh Aisha tidak mendapat otoritas seperti yang diriwayatkan
para sahabat lain.
Contoh
lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang dianggap kaum Shiah
sebagai musuh Ali. Argumen kaum Shiah, bahwa Abu Hurairah baru menjadi Muslim
empat tahun sebelum Muhammad meninggal. Meskipun dia mendampingi Muhammad hanya
selama empat tahun, tetapiia berhasil mengumpulkan hadis sepuluh kali lebih
banyak dari pada hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Abu Bakar atau Ali
masing-masing.
Penekanan
Aliran
utama Sunnisme mementingkan “shariah”, hukum suci. Sebaliknya, Shiah juga
mengikuti hukum Islam dengan “kehati-hatian” ketat, namun keyakinannya itu
ditambah dengan ijtihad, atau menggunakan pikiran dalam meneliti ajaran Al
Quran.
Shiahisme dan Sufisme
Shiahisme
dan Sufisme sama-sama menganut simbol yang sama: percaya pada makna Al Qur’an
yang dalam, status keutamaan para almarhum (wali dalam Sufi, imam dalam Shiah),
dan penghormatan yang tinggi kepada Ali serta keluarga Muhammad.
Praktik keagamaan
Salat
Dalam
salat, orang Shiah meletakkan keningnya saat sujud ke sebuah material yang
secara alamiah terbentuk, kebanyakan sebuah papan tanah liat (mohr), atau tanah (turbah) semasa zaman
Karbala, tempat Hussein ibnu Ali meninggal, atau kini bersujug dengankening di
atas sajadah.
Juga
ada kebiasaan semacam ini di kalangan Sunni, seperti bersujud di atas tanah,
atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah.
Orang
Shiah melakukan salat secara jamak: subuh sekali, sementara dhuhur dan asar
digabung dan magrib disatukan dengan Isha’. Jadi orang Shiah memang salat lima
kali namun dengan jeda yang sangat mepet antara dua waktu salat. Sementara
orang Sunni bersalat dengan jeda waktu paling tidak satu jam.
Kaum
Shiah dan pengikut mazhab Sunni Maliki menyedekapkan tangan mereka agak
menyamping, sementara kalangan Sunni menyilangkan kedua tangan (tangan kanan di
atas tangan kiri).
Nikah Mut’ah
Di
kalangan Shiah diperboleh melakukan nikah mut’ah, perkawinan sementara dengan
waktu terbatas – yang justru tidak diperbolehkan di komunitas Sunni atau kaum
Shiah Ismailia tau Shiah Zaidi. Pernikahan semacam ini dianggap tidak sah
karena seperti perzinahan.
Nikah
mut’ah tidak sama dengan pernikahan misyar atau pernikahan arfi, yang tidak
mengenal masa berlakunya dan diizinkan oleh beberapa kalangan Sunni.
Penikahan
Misyar berbeda dengan pernikahan konvensional Islam, karena lelaki dalam
pernikahan ini tak berkewajiban memberi nafkah kepada si wanita atas kehendak
si wanita sendiri. Sementara si laki-laki dapat menceraikan si wanita kapan pun
dia mau.
Jilbab dan pakaian
Wanita
Sunni maupun Shiah sama-sama mengenakan jilbab atau hijab. Wanita Shiah yang
taat secara tradisional mengenakan hijab berwarna hitam sama seperti para
wanita Sunni di Teluk Arab. Para pemimpin Shiah juga menggunakan jubah hitam.
Wanita
Shiah dan Sunni mengenakan hijab dengan cara berbeda. Beberapa pemuka Sunni
menekankan perlunya menutupi seluruh badan termasuk melindungi muka di public,
sementara ulama lain mengatakan muka tak perlu ditutup hijab.
Kaum
Shiah meyakini bahwa hijab harus menutupi lingkaran wajah hingga dagunya.
Sebagian wanita Shiah, seperti yang di Iran dan Irak, menggunakan tangan mereka
memegangi cadar hitam, agar menutupi wajahnya saat berada di muka umum seperti
orang Sunni.
(www.inilah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar