Anda tinggal di
perumahan atau perkampungan padat penduduk ? Dalam radius sekian ratus meter
ada beberapa masjid atau mushalla yang memancarkan aktifitasnya seperti tadarus
melalui speaker dengan suara yang keras ? Tidakkah Anda terganggu dengan
suara yang keras tersebut ?
Kita tentu berharap dalam hal ini para Takmir Masjid di
Indonesia bersikap bijaksana dalam melaksanakan aktifitasnya khususnya
berkaitan dengan penggunaan pengeras suara atau speaker. Kami kutip
dibawah ini pendapat Prof. Dr. M.
Quraish Shihab, MA Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur'an tentang 'Mengaji
dengan Pengeras Suara'.
Pengeras suara merupakan alat yang bila digunakan pada
tempatnya akan merupakan sesuatu yang sangat baik dan membantu. Bila
disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, serta melahirkan citra yang kurang
baik, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar sumbang.
Suara mempunyai pengaruh bagi jiwa seseorang. Azan, doa
bersama, pembacaan Al Qur'an, dianjurkan dengan suara yang dapat menggugah
pendengarnya untuk memperkenankan panggilan Ilahi, bukan sebaliknya. Karena
itu, Al Qur'an menyetujui dan mengabadikan nasihat Luqman kepada anaknya,
antara lain, "Lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara
adalah suara keledai."
Dalam hal membaca ayat-ayat Al Qur'an, atau berdoa, Allah
memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam: Katakanlah,
"Berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada ar-Rahman. Dengan nama yang
mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik). Janganlah
mengeraskan suaramu dalam salat dan jangan pula merendahkannya, dan carilah
jalan tengah di antara keduanya (QS al-Isra' (17): 110).
Maka tentunya berdoa dan membaca Al Qur'an tidak harus
dengan pengeras suara. Akan tetapi, tentu saja, tidak ada salahnya kita
menggunakannya pada saat-saat tertentu selama tidak mengganggu,
khususnya mengganggu anak-anak, orang sakit, kaum Muslim yang bangun pagi untuk
berzikir dan tafakur
Dalam
kehidupan di masyarakat terwujudnya keharmonisan diantara penghuninya tentu
menjadi idaman kita semua. Kata kunci di bawah amat menarik untuk kita cermati
dan renungkan bersama.
Mungkin saja suara
speaker masjid dapat mengganggu misalnya saja volumenya terlalu keras.
Solusinya ? Dalam hal ini perlu kearifan dari para takmir masjid untuk mengatur
penggunaan speaker masjid, misalnya : hanya menggunakan speaker luar (pengeras suara yang dipasang di luar ruangan,
misalnya di menara) pada saat mengumandangkan adzan dengan 'volume medium',
sedangkan pada saat 'melantunkan puji-pujian', iqomat, shalat berjamaah,
dzikir, membaca shalawat, pengajian, tadarus,
dan khutbah menggunakan speaker dalam
(pengeras suara yang dipasang di dalam ruangan), kecuali jamaah dalam jumlah sangat
banyak atau ribuan orang.
Akan tetapi
(seharusnya) dia membaca Al-Qur'an untuk dirinya sendiri di masjid atau di
rumah tanpa harus membaca dengan pengeras suara, karena ini bisa menyulitkan
orang-orang dan perbuatan ini tidak dilakukan oleh orang terdahulu. Tidak
selayaknya orang-orang membaca dengan suara keras, serta menghalangi yang lain
untuk membaca Qur'an di masjid.
Suatu saat
Rasulullah keluar ke orang-orang, Beliau mendapati mereka sholat, suara-suara
bacaan Qur'an mereka tinggi, kemudian beliau bersabda : Sesungguhnya orang yang sholat itu berbisik kepada rabbnya, maka
hendaklah orang itu memperhatikan bisikannya kepada Allah, janganlah sebagian
kalian mengeraskan bacaannya atas bacaan sebagian lain.
Sebetulnya telah ada pedoman yang mengatur penggunaan
pengeras suara di masjid, yakni Instruksi Dirjen Bimas Islam No. Kep/D/101/78
tanggal 17 Juli 1978. Hanya saja sepertinya kurang disosialisasikan, sehingga
masih banyak pengurus masjid atau mushala yang tidak tahu. Isi dari peraturan
tersebut secara garis besar adalah bahwa penggunaan pengeras suara masjid atau
mushala hendaknya mempertimbangkan hal-hal demikian :
1. Pengeras suara/speaker hendaknya
dalam kondisi baik sehingga suara yang dihasilkannyapun enak didengar.
2. Hendaknya dipisahkan antara speaker
dalam dengan speaker luar.
3. Tujuan awal penggunaan speaker luar
hanyalah untuk mengumandangkan adzan. Shalat dan doa untuk keperluan jamaah (di
dalam masjid) tidak perlu dipancarkan keluar masjid.
4. Kegiatan membangunkan kaum Muslimin
paling awal 15 menit sebelum tiba waktu Subuh.
5. Rangkaian kegiatan Sholat Jum’at
seperti pengumuman, doa, dan khotbah menggunakan speaker dalam. Kecuali jika
jamaah hingga diluar masjid dan tidak lagi cukup hanya dengan speaker dalam.
6. Tadarusan pada bulan Ramadhan
menggunakan speaker dalam.
7. Takbir Idul Fitri dan Idul Adha
dapat dilakukan dengan speaker luar maupun dalam.
8. Ceramah atau tabligh akbar bisa
menggunakan speaker luar dan dalam.
9. Pengumuman kematian, musibah dan
bencana, dan kegiatan lain untuk kemaslahatan jamaah dapat menggunakan speaker
masjid.
-----------
Soal pengeras suara di masjid diatur dalam keputusan nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.
Berikut aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat.